Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mendidik Anak Jadi Pemimpin Berempati, Hindari Sikap Bossy dan Otoriter

ilustrasi anak membaca buku bersama orang tua (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi anak membaca buku bersama orang tua (pexels.com/cottonbro studio)
Intinya sih...
  • Membangun empati pada anak
    • Edukasi empati melalui gestur tubuh dan ekspresi wajah
    • Ajarkan anak untuk memposisikan diri pada situasi orang lain
    • Orangtua sebagai role model dalam menunjukkan sikap empati
    • Pola asuh yang cenderung menghasilkan anak dengan kepribadian pemberontak dan pemarah
      • Emosi anak dipengaruhi oleh karakter dan lingkungan
      • Orangtua berperan besar dalam pembentukan karakter dasar anak
      • Anak perlu ruang untuk mengenali emosinya dan belajar meregulasi emosi
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Saat ini kita mungkin dapat melihat sosok pemimpin yang kurang berempati. Fokus dengan kepentingan pribadi, enggan mendengarkan dan berdialog, serta abai pada kebutuhan atau pun perasaan orang lain. Tanpa sadar, karakter semacam ini tak lepas dari cara orangtua mendidiknya di rumah.

Empati menjadi value yang sangat esensial dalam diri seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang dominan memerintah tanpa memiliki kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan, pikiran, atau pengalaman orang lain, dapat mengambil keputusan tanpa keberpihakan.

Ketika seseorang memimpin dengan empati yang rendah, maka ia cenderung menekan, mengkritik, dan membebani orang lain. Sebaliknya, seorang pemimpin yang mengedepankan empati akan lebih mengapresiasi kontribusi anggotanya, mempedulikan satu sama lain, dan berupaya membahas kesulitan bersama untuk membangun strategi. Sebagai orangtua, kira-kira sikap kepemimpinan seperti apakah yang akan kamu wariskan kepada anak-anak?

1. Membangun empati pada anak

ilustrasi anak berperan sebagai dokter (pexels.com/Yan Krukau)
ilustrasi anak berperan sebagai dokter (pexels.com/Yan Krukau)

Praktisi keluarga dan hubungan, Tasha Seiter, Ph.D., mengatakan bila empati dapat diajarkan dan terus ditingkatkan. "Mengajarkan empati merupakan proses yang disengaja dengan cara menyesuaikan diri terhadap emosi orang lain," jelas Tasha dalam Psychology Today. Mengajarkan empati dapat dengan isyarat non verbal, misalnya gestur tubuh dan ekspresi wajah.

Secara kognitif, orangtua juga perlu mengajarkan anak untuk memposisikan dirinya pada situasi atau kondisi yang dialami orang lain. Misalnya ketika orang lain mengalami kesulitan, orangtua dapat menanyakan, "Apa yang kamu pikirkan saat melihat situasi ini?" atau "Bagaimana perasaanmu terkait kondisi tersebut?".

Selain itu, orangtua dapat memberikan contoh kepada anak untuk mengelola emosinya. Ketika anak melakukan kesalahan, kemudian muncul emosi yang penuh pergolakan dan membuat orangtua kesal, alih-alih marah, cobalah untuk memberi jeda waktu sejenak. Berikan waktu untuk untuk anak memproses apa yang tengah dialaminya, kemudian tanyakan alasan di balik perilaku tersebut. Sampaikan jika perilaku tersebut keliru serta katakan mengapa hal tersebut tidak sepatutnya dilakukan.

Tasha menegaskan, cara paling efektif untuk mengajarkan anak empati adalah dengan menunjukkan sikap empati itu sendiri. Orangtua berperan sebagai role model, ia membicarakan berbagai emosi dengan anak agar si kecil dapat mengidentifikasinya. Orangtua juga berupaya memahami perasaan anak, mengizinkan ia mengalami perasaan tertentu, tanpa menghakimi.

Hal yang paling penting adalah orangtua menunjukkan rasa kasih sayang kepada anak demi menanamkan cinta dalam diri mereka. Rasa cinta yang utuh dan pemahaman akan konsep kasih sayang yang baik akan mendorong anak untuk membagikannya kepada orang lain. Inilah dasar karakter yang akan menjadikan seorang anak pemimpin yang berempati.

2. Pola asuh yang cenderung menghasilkan anak dengan kepribadian pemberontak dan pemarah

ilustrasi anak dan orang tua bermain layang-layang (pexels.com/PNW Production)
ilustrasi anak dan orang tua bermain layang-layang (pexels.com/PNW Production)

Psikolog bernama Putri Sari menyebut, emosi seorang anak dipengaruhi oleh 2 hal, yakni karakter anak tersebut dan lingkungannya, termasuk pola asuh orangtua serta budaya yang berlaku. Menurutnya, tak bisa dipastikan bahwa anak yang dibesarkan dengan pola asuh tertentu akan tumbuh menjadi sosok tertentu, begitu pula dengan pola asuh dan keluaran karakter pada anak.

"Tapi yang perlu orang dewasa pahami adalah penting untuk memberikan dirinya dan anak ruang untuk mengenali emosi masing-masing. Karena setelah kenal dengan emosi diri baru bisa melangkah untuk belajar meregulasi emosi," ujar Putri menegaskan pentingnya orangtua memahami emosi.

Ia juga menekankan, secara umum orangtua memiliki peran besar dalam pembentukan karakter dasar anak. Akan tetapi, dalam perjalannya, buah hati dapat mengalami banyak hal, termasuk pengaruh dari lingkungan. Faktor eksternal inilah yang turut mempengaruhi keterampilan meregulasi emosi pada si kecil.

"Bagaimana anak diperlakukan tentu akan menjadi landasan dasar bagaimana anak nanti memperlakukan diri dan oranglain. Misal, anak yang dari kecil merasa didengarkan dan dihargai, maka ia akan tahu bagaimana cara mendengarkan dan menghargai orang lain dan memiliki keinginan juga untuk mendengarkan dan menghargai orang lain," imbuhnya.

Misalnya ketika anak merasa didengarkan, dihargai, maka ia akan tahu bagaimana cara mendengarkan dan menghargai orang lain. Oleh karenanya, orangtua yang pandai meregulasi emosi akan mampu menentukan bagaimana ia menunjukkan suatu emosi kepada buah hatinya.

3. Langkah praktikal untuk menghadapi anak yang bossy

ilustrasi anak mengetuk pintu (pexels.com/RDNE Stock project)
ilustrasi anak mengetuk pintu (pexels.com/RDNE Stock project)

Pengajar psikologi, Dona Matthews, Ph.D., menjabarkan langkah-langkah yang lebih praktikal untuk mendidik anak. Dilansir Psychology Today, metode ini dapat diterapkan jika orangtua melihat kecenderungan sikap bossy atau gaya kepemimpinan yang kurang berempati.

  1. Ketika anak-anak menunjukkan sikap bossy, otoriter, atau suka mengatur, alih-alih berpikir bahwa itu tindakan yang kurang baik, orangtua dapat memahami bahwa si kecil tengah menunjukkan sikap perfeksionis. Ia ingin melakukan segalanya dengan baik, sehingga suka mengatur. Maka orangtua dapat memberi pemahaman dan arahan
  2. Orangtua juga harus menghargai anak, misalnya ketika ia memberikan ide, cobalah dengar dan pertimbangkan dengan baik. Tindakan ini akan mengajarkan anak untuk mempertimbangkan kepentingan orang lain sebelum mengambil alih posisi kepemimpinan.
  3. Memberi saran dan contoh sikap kepemimpinan yang baik. Misalnya melalui buku, film, atau media lain. Orangtua memiliki peran yang besar dalam hal pengawasan dan pengarahan karakter anak.

Langkah-langkah di atas diharapkan dapat bermanfaat untuk mendidik anak menjadi sosok yang lebih berempati, terlebih ketika memimpin. Hal terbaik adalah memberi contoh kepada anak, sehingga si kecil tak merasa digurui.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Muhammad Tarmizi Murdianto
EditorMuhammad Tarmizi Murdianto
Follow Us

Latest in Life

See More

6 Cara Agar Anak Punya Rasa Penasaran Tinggi dan Suka Belajar

07 Sep 2025, 14:03 WIBLife