“Orangtua tanpa sadar memperkuat siklus kecemasan dengan membantu anak menghindari hal yang ditakuti,” jelas Laura Linn Knight, seorang pendidik parenting, dilansir HuffPost.
8 Perilaku Orangtua yang Tanpa Sadar Bisa Bikin Anak Jadi Cemas

- Mendorong anak untuk menghindar
- Mengabaikan kecemasan diri sendiri
- Menghindari obrolan tentang perasaan
Sebagai orangtua, tentu ada harapan agar anak tumbuh jadi pribadi yang percaya diri, bahagia, dan berani menghadapi tantangan. Namun tanpa disadari, ada beberapa kebiasaan kecil yang justru bisa membuat anak merasa cemas. Bukan karena niat buruk, melainkan karena dorongan untuk melindungi atau mendorong mereka jadi lebih baik.
Sayangnya, cara yang dianggap tepat kadang malah menimbulkan dampak sebaliknya. Anak bisa jadi takut mencoba, ragu mengambil keputusan, atau merasa tidak cukup baik. Jika dibiarkan, kecemasan ini dapat terbawa hingga dewasa dan memengaruhi hubungan mereka dengan dunia sekitar. Nah, biar lebih paham, yuk simak perilaku orangtua yang tanpa sadar bisa bikin anak cemas.
1. Mendorong anak untuk menghindar

Banyak orangtua berpikir membantu anak menghindari hal yang menakutkan akan membuat mereka lebih tenang. Padahal, sikap ini justru membuat anak semakin sulit menghadapi rasa takut dan akhirnya membentuk kebiasaan menghindar. Semakin lama dibiarkan, anak bisa kehilangan rasa percaya diri.
Sebaliknya, anak perlu diarahkan agar punya keberanian menghadapi rasa takut dengan dukungan orangtua di belakangnya. Dengan begitu, mereka bisa belajar coping skill yang sehat.
2. Mengabaikan kecemasan diri sendiri

Anak-anak sangat peka dengan emosi orangtua mereka. Jika orangtua tampak gugup, cemas, atau panik, anak bisa menangkap sinyal itu dan merasa harus ikut takut. Lama-lama, mereka menganggap situasi yang sebenarnya aman justru berbahaya.
“Kita harus ingat, anak sangat memperhatikan bahasa tubuh dan kata-kata kita,” kata Dr. Khadijah Booth Watkins, psikolog dari Massachusetts General Hospital, dilansir HuffPost.
Dikutip Child Mind Institute, Jamie Howard, PhD, psikolog klinis, menjelaskan, anak ibarat spons yang mudah menyerap apa pun di sekitarnya. Mereka tidak hanya belajar dari apa yang kamu ucapkan, tetapi juga dari bagaimana sikap dan perilakumu sehari-hari. Itulah kenapa orangtua juga perlu mengelola kecemasan diri sendiri dan memberi contoh strategi menenangkan diri.
3. Menghindari obrolan tentang perasaan

Beberapa orangtua merasa canggung membicarakan perasaan dengan anaknya. Padahal, jika anak tidak diberi ruang untuk mengekspresikan emosi, mereka bisa bingung atau bahkan mengembangkan cerita sendiri yang menambah rasa cemas. Membuka percakapan emosional justru membantu anak memahami apa yang mereka alami.
Dilansir HuffPost, Ann Louise Lockhart, psikolog anak sekaligus parenting coach, menyarankan agar memberi ruang bagi anak untuk merasa khawatir, cemas, atau gugup. Orangtua bisa membantu dengan memberi nama pada emosi anak, lalu memvalidasi perasaan itu.
4. Terlalu hati-hati

Sering kali orangtua ingin melindungi anak dengan terus memberi peringatan. Namun, ucapan seperti “hati-hati nanti jatuh” yang diulang terlalu sering bisa menumbuhkan rasa ragu dan takut berlebihan. Anak jadi merasa dunia penuh bahaya yang harus diwaspadai.
Dilansir HuffPost, Jenny Yip, seorang Psikolog menekankan, lebih baik beri penjelasan rasional daripada pesan yang menakutkan. Misalnya, jelaskan kenapa melompat dari meja itu berbahaya, bukan sekadar melarang. Dengan begitu, anak belajar memahami risiko sekaligus percaya diri dalam mengambil keputusan.
5. Memuji hasil, bukan usaha

Anak yang hanya dipuji saat berhasil cenderung merasa takut mengecewakan orangtuanya. Mereka jadi cemas ketika gagal atau tidak jadi yang terbaik, padahal usaha mereka juga layak diapresiasi. Tekanan untuk selalu berhasil justru membuat anak kehilangan rasa aman.
Keneisha Sinclair McBride, seorang psikolog, dilansir HuffPost, menjelaskan bahwa penting untuk memuji usaha dan mengingatkan anak bila mereka tetap berharga, dicintai, dan penting apa pun hasilnya. Dengan menekankan proses, anak belajar bahwa gagal itu bagian normal dari hidup. Hasilnya, mereka tumbuh lebih tahan banting dan percaya diri.
6. Terlalu banyak pertanyaan yang mengarahkan

Orangtua kadang ingin memastikan anak siap menghadapi situasi baru dengan mengajukan banyak pertanyaan. Tapi, pertanyaan yang mengarahkan justru bisa menanamkan kecemasan yang sebelumnya tidak ada. Misalnya, bertanya “Kamu gugup ya karena gak ada temanmu di sana?”, bisa membuat anak jadi benar-benar gugup.
Lebih baik tanyakan apa yang mereka rasakan tanpa sugesti negatif. Orangtua bisa berkata, “Kamu akan ke perkemahan sendirian bulan depan, kira-kira apa yang bisa bikin itu lebih menyenangkan?”. Dengan begitu, fokusnya ada pada solusi, bukan rasa cemas.
7. Pola asuh otoriter

Pola asuh otoriter yang penuh aturan kaku dan hukuman keras sering membuat anak merasa tidak aman. Mereka takut melakukan kesalahan karena konsekuensinya selalu berlebihan. Alhasil, anak tumbuh dengan kecemasan berlebihan dan obsesi menjadi sempurna.
Menurut Ann Louise, anak di rumah otoriter sering merasa tidak aman membuat kesalahan karena pengasuh mereka bereaksi berlebihan. Kondisi ini membuat banyak anak jadi perfeksionis demi menghindari hukuman atau mengejar label “anak baik”. Padahal, ruang untuk salah justru penting agar anak bisa berkembang.
8. Memberi pesan yang membingungkan

Anak akan bingung jika orangtua mengatakan satu hal, tapi menekankan hal lain yang bertolak belakang. Misalnya, menyuruh anak menikmati masa kecil tapi di saat yang sama menekan mereka untuk belajar ujian nonstop. Pesan campur aduk seperti ini bisa menumbuhkan rasa tidak pasti.
Dalam konteks ini, Jenny Yip menyarankan agar orangtua konsisten dengan maksud ucapannya. Katakan dengan jelas bahwa belajar memang penting, tapi keseimbangan waktu juga dibutuhkan. Dengan begitu, anak merasa punya kendali atas perjalanannya sendiri tanpa terbebani tuntutan yang membingungkan.
Pada akhirnya, orangtua tidak selalu harus sempurna dalam mendidik anak. Yang penting adalah kesadaran untuk terus belajar, mengoreksi diri, dan mencoba jadi teladan yang baik. Ingat, anak tidak butuh orangtua yang tanpa cela, tapi orangtua yang mau hadir, mendengar, dan mendukung tanpa syarat.