5 Asumsi yang Membuat Kamu Rentan Merasa Sakit Hati Mendalam

Sikap rentan merasa sakit hati dengan lebih dalam biasanya muncul saat kita memiliki sensitivitas emosional yang tinggi. Salah satu tanda dari hal tersebut yakni kita biasanya cenderung bergantung pada penerimaan dan penilaian dari aspek eksernal. Sehingga kita cenderung mengabaikan kebutuhan diri sendiri.
Segala tindakan yang kita lakukan datangnya dari pola pikir yang dibangun. Sehingga penting bagi bagi kita untuk membiasakan diri berpikir positif, alih-alih mempercayai asumsi pribadi yang tak berdasar. Pasalnya, beberapa asumsi seperti berikut dapat membuat kita rentan merasa sakit hati dengan lebih dalam apabila tidak segera diatasi.
1. Berasumsi merasa sering diabaikan orang lain

Asumsi yang kerap mengganggu kita yakni pola pikir yang menganggap bahwa kita merasa sering diabaikan orang lain. Misalnya ketika teman, keluarga, atau orang di sekitar tidak segera merespons ucapan kita, kita cenderung berpikir bahwa mereka tidak peduli. Padahal, boleh jadi mereka sedang sibuk atau ada urusan lain yang lebih utama.
Asumsi demikian sejatinya hanya akan merenggut kepercayaan diri kita secara perlahan. Sehingga sudah semestinya perasaan terabaikan itu tidak boleh dipelihara dalam jangka waktu panjang. Menghadapi situasi demikian kita perlu menghadirkan kekuatan pikiran positif supaya tidak mudah sakit hati.
2. Berasumsi bahwa pendapat orang lain cenderung terdengar lebih benar

Berasumsi bahwa pendapat orang lain cenderung terdengar benar kerap muncul lantaran kita meragukan penilaian diri sendiri. Asumsi demikian hadir lantaran kurangnya rasa percaya diri atau perasaan takut berbuat kesalahan. Imbasnya, kita akan cenderung mengadopsi pendapat orang lain tanpa mempertimbangkannya secara lebih kritis.
Sejatinya asumsi demikian hanya akan membuat kita rentan mengalami sakit hati mendalam. Pasalnya, kita akan kehilangan identitas diri yang membuat kita lebih mudah diatur oleh orang lain. Sebelum hal tersebut terjadi, pastikan bahwa kita belajar menyeimbangkan pendapat orang lain dengan refleksi pribadi serta memberi ruang pada diri sendiri untuk mempertimbangkan kondisi dengan objektif.
3. Berasumsi bahwa kritik adalah hal yang menjatuhkan

Berasumsi bahwa kritik adalah hal yang menjatuhkan cenderung membuat kita lebih mudah merasa sakit hati dan rentan secara emosional. Pasalnya kritik dianggap seperti serangan terhadap harga diri, sehingga kita merasa tidak cukup baik atau tidak dihargai. Asumsi tersebut membuat kita sulit melihat kritik sebagai bentuk umpan balik yang bersifat konstruktif.
Alih-alih memanfaatkannya untuk berkembang, justru kita cenderung merasa diserang dan terjebak dalam rasa terluka. Apabila asumsi demikian terus dibiarkan, hal itu dapat menghalangi kesempatan bagi kita untuk belajar dan tumbuh menjadi lebih baik. Maka belajarlah untuk tidak terlalu fokus pada rasa sakitnya, melainkan pada potensi pembelajaran dari kritik tersebut.
4. Berasumsi bahwa penolakan merupakan segalanya

Berasumsi bahwa penolakan merupakan segalanya membuat kita rentan merasa sakit hati lantaran kita melihatnya sebagai cerminan diri secara menyeluruh. Ketika ditolak, kita menganggap bahwa tidak cukup baik atau tidak cukup layak. Dengan asumsi tersebut, kita kerap menginternalisasikan penolakan sebagai bentuk kegagalan yang bersifat tetap.
Asumsi demikian tentu keliru dan tidak boleh dipelihara terus-menerus. Sudah saatnya kita mendobrak rasa takut dan kecemasan dalam diri terhadap sebuah penolakan. Bahwa penolakan sejatinya hanyalah bagian dari proses hidup yang dapat memberikan pelajaran dan kesempatan kepada kita untuk tumbuh lebih baik.
5. Berasumsi bahwa masalah menjadi hal yang menakutkan

Sejatinya masalah bukanlah hal yang menakutkan. Asumsi demikian tercipta lantaran kita yang tak berani menghadapi masalah dengan tindakan secara nyata. Kita cenderung hanya memikirkannya saja hingga mengalami overthinking. Apabila asumsi demikian terus dipelihara, maka kita akan rentan mengalami sakit hati mendalam apabila dihadapkan dengan fakta bahwa persoalan hidup sejatinya akan terus datang secara bergantian.
Sejatinya rentan bukanlah sebuah kelemahan, melainkan menjadi tanda kekuatan bahwa kita terbuka dan jujur secara emosional. Hal yang perlu diperhatikan yakni bagaimana cara kita mengelola setiap perasaan yang kerap menjadi asumsi tersebut dengan tepat supaya tidak terperangkap dalam luka emosional yang berlarut-larut. Sudah semestinya kita berusaha membangun batasan yang kuat dan mengembangkan rasa percaya diri.
Dalam proses membangun kepercayaan diri, penting bagi kita untuk mengenali dan menerima diri sendiri secara utuh. Kemudian, berlatih memberikan afirmasi positif kepada diri secara rutin dan menghindari self-talk negatif. Dengan begitu, perlahan tapi pasti, asumsi-asumsi yang tak berdasar segera berganti dengan kekuatan yang mampu membuat kita tumbuh jadi lebih baik.