Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Bentuk Pelarian Emosional yang Gak Disadari Merusak Diri Sendiri

ilustrasi makan berlebihan (freepik.com/studioredcup)
ilustrasi makan berlebihan (freepik.com/studioredcup)

Saat emosi udah memuncak dan hati rasanya sesak, banyak orang secara otomatis mencari pelarian. Bukan karena lemah, tapi karena emosi yang numpuk terlalu lama bisa jadi berat banget buat ditahan sendiri. Sayangnya, pelarian yang diambil kadang gak disadari justru jadi jebakan yang makin bikin kesehatan mental terganggu. Apa yang awalnya terasa kayak solusi, ternyata cuma penunda masalah yang ujung-ujungnya makin memperkeruh keadaan.

Bentuk pelarian emosional ini sering nyamar jadi kebiasaan sehari-hari. Karena gak tampak ekstrim, orang jadi ngerasa semuanya masih baik-baik aja. Padahal, makin dibiarkan, makin kuat efeknya terhadap kepercayaan diri, hubungan sosial, bahkan produktivitas hidup. Yuk, coba kenali beberapa bentuk pelarian emosional yang kelihatannya biasa, tapi ternyata bisa merusak diri sendiri pelan-pelan.

1.Makan berlebihan saat lagi stres

ilustrasi makan berlebihan (freepik.com/studioredcup)
ilustrasi makan berlebihan (freepik.com/studioredcup)

Ngemil atau makan besar saat hati lagi semrawut itu sering dianggap wajar. Rasanya kayak makanan bisa jadi pelukan hangat yang nolong buat nenangin hati. Tapi kalau kebiasaan ini terus berulang setiap kali stres muncul, itu udah masuk ke ranah emotional eating. Makanan bukan lagi kebutuhan tubuh, tapi jadi pelampiasan emosi yang gak sehat.

Masalahnya, makin sering makan saat emosi gak stabil, makin susah buat membedakan rasa lapar fisik dan lapar emosional. Akibatnya, berat badan bisa naik tanpa kontrol, muncul rasa bersalah, dan kepercayaan diri makin merosot. Efek jangka panjangnya gak cuma soal penampilan, tapi juga bisa ganggu metabolisme tubuh dan kesehatan mental secara keseluruhan.

2.Sibuk berlebihan biar gak sempat ngerasa

ilustrasi ketiduran saat bekerja (unsplash.com/Mykyta Kravčenko)

Ada orang yang memilih menenggelamkan diri dalam kerjaan, tugas, atau kegiatan nonstop biar gak sempat mikir atau ngerasa sedih. Di permukaan, terlihat produktif dan aktif, tapi di dalam hati sebenarnya sedang berusaha kabur dari rasa sakit. Sibuk jadi tameng buat nutupin luka batin yang belum selesai disembuhin.

Masalahnya, pelarian lewat kesibukan ini bikin orang lupa buat istirahat dan mengenali apa yang sebenarnya dirasain. Emosi yang ditekan terus-menerus bisa meledak sewaktu-waktu dalam bentuk burnout, kelelahan ekstrem, atau ledakan emosi. Produktivitas semu ini akhirnya gak bikin bahagia, malah makin jauh dari rasa tenang yang sebenarnya dicari.

3.Scrolling media sosial tanpa henti

ilustrasi bermedia sosial (unsplash.com/Berke Citak)

Satu lagi bentuk pelarian yang makin marak seperti tenggelam di dunia media sosial. Scroll tanpa tujuan jelas seringnya dilakukan pas lagi suntuk, gelisah, atau sedih. Awalnya cuma niat cari hiburan, tapi lama-lama jadi candu yang bikin susah lepas. Rasanya nyaman karena bisa kabur sejenak dari kenyataan yang bikin sesak.

Tapi scrolling berlebihan itu kayak minum air laut, makin dikonsumsi, makin haus. Waktu dan energi kebuang percuma, pikiran makin penuh sama perbandingan sosial, dan hati jadi makin kosong. Yang awalnya niat buat nyari ketenangan, justru dapetnya overthinking dan rasa gak cukup secara diam-diam.

4.Terlalu bergantung sama validasi orang lain

ilustrasi kelelahan (freepik.com/freepik)

Sering merasa gak tenang sebelum dapet pujian atau pengakuan dari orang lain bisa jadi pertanda pelarian emosional. Rasa berharga jadi tergantung pada respon dan perhatian orang luar. Validasi eksternal ini terasa menyenangkan, tapi sangat rapuh dan mudah bikin goyah saat gak didapatkan.

Pelarian ini berbahaya karena bikin seseorang kehilangan koneksi sama nilai-nilai dirinya sendiri. Terlalu fokus nyenengin orang lain, sampai lupa nyenengin diri sendiri. Kalau terus dibiarkan, bisa tumbuh jadi krisis identitas atau kecemasan sosial yang bikin makin jauh dari rasa aman dalam diri.

5.Belanja impulsif buat nenangin diri

ilustrasi belanja impulsif (unsplash.com/Julia Андрэй)

Siapa yang gak pernah ngerasa lebih baik setelah check out belanjaan? Sesekali, oke-oke aja. Tapi kalau tiap kali stres atau kecewa langsung buka e-commerce dan beli barang tanpa mikir, itu udah jadi bentuk escapism yang merugikan. Belanja jadi cara cepat buat dapat rasa senang, tapi efeknya cuma sementara.

Setelah rasa senangnya hilang, yang tertinggal malah tagihan, penyesalan, dan ruang yang makin penuh sama barang yang mungkin gak dibutuhin. Kebiasaan ini bisa menguras keuangan dan nambah beban mental karena rasa bersalah muncul belakangan. Alih-alih menyelesaikan masalah emosional, belanja impulsif malah nambah masalah baru.

Setiap orang pasti pernah merasa butuh pelarian saat emosi lagi kacau. Tapi penting banget buat sadar, apakah pelarian itu beneran membantu atau cuma nutupin luka sementara. Daripada terus kabur, lebih sehat buat belajar berdamai sama emosi, meskipun prosesnya gak instan.

Ngadepin emosi butuh keberanian, tapi itu satu-satunya jalan menuju pemulihan yang sesungguhnya. Gak apa-apa pelan-pelan, yang penting jujur sama diri sendiri dan mau berubah sedikit demi sedikit.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Agsa Tian
EditorAgsa Tian
Follow Us