Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apa itu Performative Male? Istilah yang Lagi Ngetren di Media Sosial

ilustrasi seorang pria menenteng totebag (freepik.com/atlascompany)
ilustrasi seorang pria menenteng totebag (freepik.com/atlascompany)
Intinya sih...
  • Pria performatif bukan tentang kejujuran emosional, melainkan tampilan di depan umum.
  • Media sosial memperkuat tren performative male dengan konten berestetika artsy dan ironi.
  • Fenomena performative male ajakan untuk lebih jujur terhadap motivasi di balik usaha yang ditampilkan di ruang publik.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Performative Male atau pria performatif adalah istilah kekinian yang belakangan ramai dibicarakan di media sosial. Buat kamu yang belum familiar, performative male merujuk pada pria yang sengaja menampilkan sisi feminin. Bukan karena itu bagian dari dirinya, tapi karena ingin terlihat menarik di mata perempuan. Di titik ini, sisi feminin yang dimaksud bukan sekadar soal gaya berpakaian, tapi lebih pada upaya untuk tampak sensitif, lembut, dan “berwawasan”, meski tak selalu sesuai dengan jati dirinya.

Ciri-ciri yang sering diasosiasikan dengan performative male yakni membaca buku feminis, mendengarkan lagu mellow atau indie, rutin melakukan “healing”, minum matcha, memakai tote bag, hingga paham soal zodiak. Semua ini bukan masalah jika dilakukan dengan tulus. Namun, yang menjadi sorotan adalah ketika semua hal tersebut dilakukan hanya demi membangun citra agar terlihat berbeda, progresif, dan layak mendapatkan validasi dari perempuan. Lalu, sebenarnya apa makna di balik tren ini? Simak penjelasannya agar kamu tidak salah paham!

1. Bukan soal jadi lembut, tapi soal "tampil" lembut

ilustrasi seorang pria mendengarkan musik dan minum seteguk matcha (freepik.com/freepik)
ilustrasi seorang pria mendengarkan musik dan minum seteguk matcha (freepik.com/freepik)

Tidak ada yang salah dengan pria yang ekspresif, emosional, atau menyukai hal-hal yang kerap dikaitkan dengan sisi feminin. Justru, menjadi pria yang terbuka terhadap emosi, nyaman dengan kerentanannya, dan mampu menunjukkan empati adalah hal yang sangat dibutuhkan terutama dalam dunia yang selama ini dibungkam oleh maskulinitas toksik. Melansir Stuff, generasi Z menunjukkan perkembangan positif dimana semakin banyak pria yang tak lagi merasa perlu untuk selalu tampil kuat atau menekan perasaannya.

Mereka mulai membaca literatur feminis, berdiskusi tentang kesehatan mental, dan mengekspresikan diri melalui seni. Ini adalah bentuk kemajuan sosial yang patut diapresiasi karena memperluas definisi maskulinitas dan membuka ruang bagi keragaman ekspresi pria. Namun, fenomena performative male justru menghadirkan cerita yang berbeda. Ini bukan tentang kejujuran emosional atau ketulusan dalam gaya hidup, melainkan lebih kepada membentuk kesan bahwa dirinya adalah pria yang sensitif dan intelektual demi mendapat validasi eksternal. Kata kuncinya adalah “di depan umum.”

Contohnya, minum matcha bukan karena benar-benar suka rasanya, membawa buku feminis bukan untuk benar-benar dipahami, dan mendengarkan musik emosional seperti Clairo bukan karena menyentuh jiwa, melainkan karena semua itu dianggap menarik di mata perempuan masa kini. Kadang, mereka juga membawa boneka lucu seperti Labubu sebagai properti estetik, atau menggunakan earphone berkabel sembari memutar lagu-lagu dari Phoebe Bridgers dan Beabadoobee bukan sebagai bentuk ekspresi, tapi sebagai bagian dari tampilan yang “dipertontonkan”.

2. Media sosial menjadi katalis besar dari penyebaran arketipe performative male

ilustrasi akun tiktok (unsplash.com/@collabstr)
ilustrasi akun tiktok (unsplash.com/@collabstr)

Fenomena performative male tidak akan menyebar seluas ini tanpa peran besar media sosial. Platform seperti TikTok dan Instagram menjadi panggung bagi para pria Gen Z untuk menampilkan versi diri mereka yang paling “berkarakter”. Mereka paham betul bahwa algoritma menyukai konten berestetika artsy, gaya hidup yang terlihat mindful, serta selera musik yang terkesan alternatif. Maka muncullah video-video penuh simbol seperti matcha latte di tangan, buku feminis di atas meja, tote bag bergambar band underground, dan outfit yang tampak seperti hasil kurasi dari Pinterest.

Tak berhenti sampai di situ, media sosial juga menyediakan ruang ironi yang justru memperkuat tren ini. Mulai dari konten “performative male sighting” hingga parodi kontes performative male, semua ikut mendorong popularitas arketipe ini. Ada yang ikut-ikutan demi tampil relevan, ada pula yang menertawakan sambil diam-diam ikut membentuk citra serupa. Pada akhirnya, media sosial bukan hanya tempat untuk mengekspresikan diri, tapi juga menjadi mesin pengganda sehingga menciptakan siklus di mana penampilan menjadi lebih penting daripada keaslian. Apa yang dulu disebut sebagai ekspresi otentik, kini bisa saja hanyalah strategi untuk tampil menonjol.

3. Apakah kamu termasuk performative male? Coba jawab pertanyaan berikut!

ilustrasi pria pakai totebag (freepik.com/KamranAydinov)
ilustrasi pria pakai totebag (freepik.com/KamranAydinov)

Kalau kamu sudah membaca sejauh ini dan mulai merasa sedikit tidak nyaman, mungkin itu pertanda bahwa kamu perlu sejenak merenung. Fenomena performative male bukanlah tuduhan, melainkan ajakan untuk lebih jujur terhadap motivasi di balik usaha-usaha yang kita tampilkan di ruang publik. Coba tanyakan pada dirimu sendiri. Apakah kamu pernah mengubah selera musik atau pilihan bacaan hanya agar terlihat menarik di mata perempuan? Atau mungkin pernah membawa buku feminis ke kafe, tapi tak pernah benar-benar membacanya sampai tuntas?

Lanjutkan refleksi itu dengan pertanyaan-pertanyaan lain. Misalnya, apakah kamu minum matcha karena benar-benar menyukainya atau hanya karena sedang tren? Apakah kamu merasa harus terlihat artsy dan intelek demi mendapat perhatian? Jika kamu menjawab “ya” pada satu atau dua pertanyaan ini, mungkin kamu sedang berada dalam arketipe performative male.

Menjadi pria yang sensitif, terbuka, dan berpikiran progresif tentu merupakan hal yang baik. Dunia memang membutuhkan lebih banyak laki-laki yang bisa melampaui standar maskulinitas lama, serta membangun relasi yang lebih empatik dan jujur. Namun, semua nilai positif itu akan kehilangan maknanya jika hanya dijalankan sebagai pertunjukan. Alih-alih memperjuangkan kesetaraan atau kepekaan, yang muncul justru hanyalah versi palsu dari itu semua.

Menjadi diri sendiri mungkin tidak akan selalu mendatangkan banyak likes atau sorotan. Tapi ketulusan selalu lebih tahan lama dibanding persona yang dibangun demi tren. Jadi, kalau kamu memang suka minum matcha, mendengarkan lagu Clairo, dan membaca literatur feminis, silakan lanjutkan. Cuma kalau semua itu hanya kamu adopsi demi terlihat menarik, siapa sebenarnya yang sedang kamu coba yakinkan?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Merry Wulan
EditorMerry Wulan
Follow Us