Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Ciri Toxic Positivity yang Diam-diam Merusak Kesehatan Mentalmu

ilustrasi curhat ke teman
ilustrasi curhat ke teman (freepik.com/freepik)
Intinya sih...
  • Memaksa diri untuk selalu bahagia, menumpuk perasaan yang belum diselesaikan dan bisa menyebabkan stres emosional.
  • Menganggap emosi negatif sebagai hal yang salah, mengabaikan koneksi dengan diri sendiri dan menolak untuk memahami kebutuhan diri.
  • Memberi nasihat positif tanpa mendengarkan dulu, menyakiti orang lain dan kurang memberikan dukungan sejati.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pernahkah kamu merasa harus tetap tersenyum saat hati sedang hancur? Banyak orang mengira berpikir positif selalu jadi solusi terbaik untuk semua masalah. Padahal, kalau dilakukan berlebihan, sikap ini justru bisa berubah jadi toxic positivity yang berbahaya bagi kesehatan mental.

Menekan emosi negatif agar terlihat kuat atau bahagia bukan tanda kedewasaan emosional. Justru, itu bisa membuat kamu kehilangan kemampuan untuk memproses perasaan dengan sehat. Yuk, kenali lima ciri toxic positivity yang tanpa sadar bisa merusak usahamu dalam mengelola emosi!

1. Memaksa diri untuk selalu bahagia

ilustrasi mengobrol dengan teman
ilustrasi mengobrol dengan teman (freepik.com/freepik)

Kamu mungkin sering mendengar kalimat seperti “jangan sedih, semua akan baik-baik saja”. Meskipun terdengar positif, ucapan seperti ini bisa menekan ruang bagi emosi sedih yang sebenarnya wajar dirasakan. Jika kamu terus memaksa diri untuk selalu bahagia, kamu justru menumpuk perasaan yang belum sempat diselesaikan.

Dalam jangka panjang, ini bisa menyebabkan stres emosional yang lebih berat. Emosi negatif bukan tanda kelemahan, tapi bagian alami dari manusia. Belajar menerima rasa sedih atau kecewa adalah langkah penting menuju kesehatan mental yang lebih stabil.

2. Menganggap emosi negatif sebagai hal yang salah

ilustrasi berbicara dengan teman
ilustrasi berbicara dengan teman (freepik.com/freepik)

Banyak orang merasa bersalah ketika marah, kecewa, atau takut. Mereka menganggap emosi itu buruk dan harus segera dihilangkan. Padahal, perasaan tersebut adalah sinyal alami dari tubuh yang memberi tahu bahwa ada sesuatu yang perlu diperhatikan.

Mengabaikan emosi negatif bisa membuat kamu kehilangan koneksi dengan diri sendiri. Ketika kamu menolak untuk merasa sedih, kamu juga menolak kesempatan untuk memahami apa yang sebenarnya kamu butuhkan. Validasi emosi negatif adalah bentuk kasih sayang terhadap diri sendiri yang sering terlupakan.

3. Memberi nasihat positif tanpa mendengarkan dulu

ilustrasi mendengarkan teman bercerita
ilustrasi mendengarkan teman bercerita (freepik.com/freepik)

Kalimat seperti “lihat sisi baiknya aja” atau “bersyukur, dong!” sering digunakan dengan niat baik, tapi justru bisa menyakiti orang lain. Saat seseorang sedang berjuang, mereka butuh didengarkan, bukan disuruh cepat pulih. Ini adalah salah satu bentuk toxic positivity yang paling sering terjadi dalam percakapan sehari-hari.

Empati sejati datang dari kemampuan untuk hadir dan mendengarkan tanpa menghakimi. Kamu gak harus selalu memberi solusi atau kata penyemangat yang manis. Kadang, cukup dengan berkata “aku mengerti kamu lagi capek” sudah lebih menenangkan daripada ribuan kalimat positif kosong.

4. Menolak membicarakan hal-hal negatif

ilustrasi mengobrol dengan teman
ilustrasi mengobrol dengan teman (freepik.com/freepik)

Beberapa orang memilih menghindar setiap kali topik percakapan mulai menyentuh hal yang menyedihkan. Mereka takut dianggap pesimis jika membicarakan rasa kecewa, kegagalan, atau kesedihan. Padahal, menghindari topik seperti itu bukan berarti kamu kuat, itu justru tanda kamu belum siap menghadapi realitas emosi.

Membicarakan hal negatif bukan berarti kamu sedang menebar aura buruk. Justru, itu bisa jadi proses penyembuhan karena kamu memberi ruang bagi emosi untuk keluar dengan sehat. Dengan begitu, kamu gak menumpuk beban perasaan yang bisa meledak di kemudian hari.

5. Menghakimi orang yang sedang terpuruk

ilustrasi bertengkar dengan teman
ilustrasi bertengkar dengan teman (pexels.com/Liza Summer)

Ciri lain toxic positivity adalah ketika seseorang meremehkan kesedihan orang lain dengan kalimat seperti “kamu kurang bersyukur aja” atau “banyak orang yang lebih susah dari kamu”. Alih-alih memberi dukungan, kalimat ini justru membuat orang yang sedang terpuruk merasa bersalah atas emosinya sendiri. Padahal, setiap orang punya kapasitas berbeda dalam menghadapi masalah.

Sikap seperti ini sering kali muncul karena ketidaknyamanan terhadap emosi negatif. Tapi ingat, membiarkan orang lain merasa sedih bukan berarti kamu lemah, justru itu tanda empati yang matang. Mulailah belajar menerima bahwa gak semua hal harus diselesaikan dengan kebahagiaan palsu.

Berpikir positif memang penting, tapi bukan berarti kamu harus menolak semua bentuk kesedihan. Emosi negatif adalah bagian dari proses penyembuhan dan pertumbuhan diri yang sehat. Yuk, belajar menyeimbangkan pikiran positif dengan kejujuran emosi agar kesehatan mentalmu benar-benar terjaga!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Agsa Tian
EditorAgsa Tian
Follow Us

Latest in Life

See More

6 Cara Mengaplikasikan Buku Self Growth ke dalam Kehidupan Sehari-hari

11 Nov 2025, 23:15 WIBLife