"Selain untuk menjaga anak-anak, mendidik anaknya, mereka juga menjaga stabilitas ekonomi keluarga dan belum lagi dikasih tugas yang cukup berat. Mereka kekurangan air," ungkap Reza. Pemandangan saat itu membuatnya meneteskan air mata dan membayangkan bagaimana jika hal ini terjadi pada ibunya sendiri.
Kisah Perawat Reza dan Mukjizat SAUS di Desa Ban, Bali

Bali merupakan kota yang identik dengan surga tropis yang tak pernah kering dari kemewahan, tawa turis, hingga gemerlap pesta abadi. Di balik ramainya cerita tentang keindahan alam dan sawah hijau yang bagai tak bertepi, siapa sangka ada sebuah ironi yang datang dari puluhan kilometer dari pantai-pantai terkenal itu. Mereka yang hidup di Desa Ban, Karangasem, setiap hari harus menapaki lereng gersang, bahkan menantang terik, demi seember air penyambung hidup.
Melihat ketimpangan ini, hati seorang perawat muda menolak diam. Bukan dengan seragam, apalagi jarum suntik, ia bertekad untuk mengalirkan mata air kehidupan di tanah yang seolah tak terlihat itu. Mari, kita simak inspirasinya!
1. Mengingatkan akan sosok ibu menjadi tonggak Reza membantu warga Desa Ban

Ia adalah Reza Riyady Pragita, sosok penerima SATU Indonesia Awards 2022 tingkat provinsi di bidang kesehatan dari PT Astra International. Penghargaan ini tak didapat dengan mudah atau melalui kesenangan. Bahkan, perlu jalan panjang buatnya bersama warga Desa Ban untuk bisa mewujudkan air bersih.
Dalam bincang bersama IDN Times Community pada momen Workshop Menulis Online dan Bincang Inspiratif Astra 2025 pada Rabu (8/10/2025) lalu, Reza mengatakan bahwa semua programnya berawal dari kesenangannya melihat orang lain tersenyum. Namun, titik awal ia mendirikan balitersenyum.id, justru karena hatinya pilu saat melihat barisan ibu-ibu yang secara bergantian menimba air dan mengisinya dalam jeriken-jeriken besar.
Dari situ, ia juga mendapat banyak cerita bagaimana kemudian jeriken-jeriken ini akan diangkut sampai ke rumah masing-masing yang jaraknya berkilo-kilometer. Saking sulitnya air, masyarakat di sana pun tak bisa mandi sehari dua kali. Bahkan, 3 hari sekali pun tak tentu.
"Mereka itu tahu caranya cuci tangan. Mereka itu sering mendapat edukasi soal cuci tangan dan gosok gigi yang benar. Mereka bukan gak mau, bukan gak mau tahu, tapi mereka gak punya akses untuk air bersih," tutur Reza.
2. Berbagai kesulitan dihadapi, tapi Reza yakin bahwa Tuhan punya jalan

Proses mewujudkan air yang layak untuk warga Desa Ban tak melulu mulus. Reza mengaku bahwa ia melewati banyak kesulitan, termasuk komitmen dari diri sendiri.
"Kadang saya berpikir, ngapain, sih, saya melakukan hal itu? Itu bukan keluarga saya. Aduh, capek banget, ya, kayak gini, dalam batin saya. Bahkan, saya sempat down karena yang bantu saya, kan, banyak ada influencer. Sempat dibantu oleh bupati saya, Bupati Klungkung, sedangkan Desa Ban ini bukan di Klungkung. Bahkan, saya sempat lewat jalur politik, tapi gak berhasil," ucapnya.
Dari situ, banyak pikiran buruk dan ketakutan yang menguasai Reza. Takut ditipu hingga merasa proyeknya bukan sesuatu yang diharapkan terus menghantui. Awalnya, uang yang diterima pun hanya mentok pada angka Rp2 jutaan. Untungnya, ia memilih tak patah dan tetap mencoba.
"Tapi, memang Tuhan itu memberi jalan-Nya. Kalau bisa saya bilang, apa yang kita kerjakan dari hati akan menyentuh hati lainnya," kata Reza kemudian.
3. Tak janjikan "surga", Reza pilih mengajak warga mencari solusi bersama

Desa Ban, Karangasem, terletak di kaki Gunung Agung. Jaraknya dari Kota Denpasar adalah 66 km atau kurang lebih 2 jam berkendara. Meski berkesan dekat, kondisi kedua daerah ini cukup berbeda.
Secara geografis, desa tersebut ada di perbukitan yang kering dengan akses air hanya lewat air hujan. Mungkin kisah ini akan sulit dipercaya mengingat gambaran tentang Bali yang begitu eloknya, sedangkan di sisi lain yang dirasakan warga Desa Ban cukup pelik. Apabila harus membeli satu drum air, mereka perlu merogoh kocek sampai Rp100 ribu. Terlebih, mereka tak bisa terus mengandalkan bantuan donasi dari pemerintah atau swasta yang datangnya entah kapan.
Memegang filosofi keperawatan "light in the darkness", Reza akhirnya memutuskan untuk mendekatkan air kepada masyarakat Desa Ban. Ia memulai dengan mengumpulkan warga, membicarakan permasalahan, dan mencari solusi bersama. Dari sinilah, terbentuk program Sumber Air untuk Sesama (SAUS).
Menyadari besarnya dana yang dibutuhkan dan terbatasnya finansial pribadi, Reza yang saat itu berprofesi sebagai tenaga perawat honorer lantas memutar otak untuk mewujudkan program tersebut. "Saya menyuruh teman-teman saya, siapa pun. Saya chat. Ini, lho, kalau mau membantu. Share minimal karena kita gak pernah tahu siapa yang kemudian bisa bantu," ungkap Reza.
Benar saja, dari satu unggahan ke unggahan lainnya, bantuan donasi semakin besar yang akhirnya bisa mewujudkan penampungan air untuk warga Desa Ban pada Januari 2020. Ia tak cuma membangun penampungan air. Sisa donasi yang terkumpul diberikan kepada masyarakat setempat lewat pembagian sembako sebagai wujud perayaan.
Kecintaan Reza pada profesi sebagai perawat ternyata tak hanya mengantarkannya bermanfaat bagi dunia medis dan kehidupan pasien. Namun, ini juga dirasakan oleh warga Desa Ban, yang awalnya orang asing baginya. Tekadnya membuktikan bahwa peran seorang perawat tak terbatas pada panggilan tugas, tapi juga soal panggilan hati. Ini bukan soal program atau kampanye biasa tentang air, melainkan juga pesan kesadaran. Mau sesibuk apa pun dengan profesi yang kita geluti, dasar hidup sebagai manusia ialah kebermanfaatan dan menjadi cahaya bagi sesama.


















