6 Tips Beralih dari Fast Living ke Slow Living, Melambat Bukan Malas

Fast living dengan slow living merupakan dua hal yang berkebalikan. Dalam fast living, hidup seakan-akan terus berlari. Segala sesuatunya dilakukan dengan serba cepat, tergesa-gesa, dan kesibukan sehari-hari amat tinggi. Sementara slow living merupakan cara hidup yang lebih lambat.
Slow living lebih menekankan pada hidup yang bermakna dan baik untuk kesehatan fisik, mental, maupun finansial. Slow living sebenarnya juga bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan setiap orang. Hidup serba cepat seperti dalam fast living sangat melelahkan serta merusak keseimbangan.
Untukmu yang selama ini terjebak dalam kehidupan serba cepat, mungkin sekarang adalah waktu yang tepat buat mulai melambatkan ritme hidupmu. Kalau tidak, kamu kehilangan kesempatan buat menikmati hidup. Tahu-tahu dirimu sudah makin tua, merasa amat lelah, dan gagal merasakan keindahan hidup. Apa pun pekerjaanmu dan di mana pun kamu tinggal saat ini, enam tips berikut membantumu beralih dari fast living ke slow living.
1. Membatasi waktu kerja

Slow living bukan gaya hidup bermalas-malasan yang mengesampingkan pekerjaan. Semua orang dewasa perlu bekerja guna mencukupi kebutuhannya. Akan tetapi, hidup bukan hanya tentang pekerjaan. Senang bekerja merupakan hal yang baik. Namun, waktu yang dihabiskan setiap harinya untuk bekerja perlu dibatasi.
Biar tubuh dan pikiranmu tidak terlalu lelah. Juga supaya kamu mampu bekerja sampai tahun-tahun mendatang dengan perasaan yang positif. Bekerjalah dengan rajin dan bersungguh-sungguh, tetapi beri batas waktu. Misalnya, kamu hanya akan bekerja dari pagi hingga sore hari.
Kalaupun perlu lembur, maksimal hingga jam 20.00 atau 21.00 agar jam 22.00 dirimu sudah dapat terlelap sampai pagi. Pembatasan waktu kerja begini penting biar setiap malam kamu masih merasakan istirahat yang berkualitas. Bukan dari hari ke hari rasanya dirimu mau menarik napas saja susah saking mesti kerja melulu.
2. Mencukupkan pendapatan

Slow living juga berkaitan dengan pengelolaan pendapatan. Apabila penghasilan tidak diatur dengan baik, uang sebanyak apa pun dapat terus terasa gak cukup buat hidup. Akibatnya, kamu merasa harus menambah pekerjaan bahkan sampai lebih dari satu demi mencari uang sebanyak mungkin.
Padahal, hidup layak dengan uang yang lebih sedikit dari itu sebenarnya bisa-bisa saja. Dirimu tidak perlu menghabiskan seluruh waktu dan energi buat bekerja. Walau agar pendapatan yang diperoleh cukup ada biaya gaya hidup yang perlu dipangkas, hasilnya akan impas. Kamu tetap merasakan kebahagiaan bahkan melampaui saat gaya hidupmu masih tinggi.
Bahagiamu tidak lagi hanya berasal dari uang seolah-olah makin banyak materi yang dimiliki menjamin kebahagiaan. Kamu berbahagia lantaran tubuh serta pikiranmu telah jauh lebih rileks daripada sebelumnya. Dirimu sadar akan selalu butuh uang dan bekerja buat mencarinya, tetapi menolak diperbudak olehnya. Kamu tahu betul kapan saatnya mencari tambahan penghasilan atau mencukupnya diri dengan uang yang ada.
3. Tidak berpikir waktu adalah uang

Waktu adalah segalanya, bukan hanya uang. Kalau waktu sebatas dimaknai sebagai uang, kamu akan menukar jam tidur dan semua urusan lain yang gak ada uangnya dengan bekerja sepanjang waktu. Membantu orang lain bahkan saudara sendiri pun sampai enggan karena dirimu berpikir kehilangan waktu berarti kehilangan potensi uang.
Waktu tidak melulu soal uang sehingga mesti dibagi-bagi secara proporsional. Waktu untuk bekerja, beristirahat, bersosialisasi, sampai kamu tak melakukan apa-apa juga ada jatahnya. Bila semua itu diberi tempat dalam hidupmu, tidak berarti dirimu menjadi gak punya uang, kan? Uang akan tetap datang selama kamu bekerja dengan cukup.
Bukan dirimu menghabiskan seluruh waktu buat mencari uang. Waktu berfungsi untuk memastikan setiap aspek dalam hidupmu ada porsinya. 24 jam dalam sehari bukan waktu yang sebentar. Waktu sebanyak itu lebih dari cukup buat dibagi-bagi sesuai kebutuhan dalam hidupmu. Di samping waktu ialah segalanya, waktu juga keseimbangan. Seperti piring yang dapat mewadahi nasi, sayur, dan lauk masing-masing dalam porsi yang seimbang.
4. Percaya usaha, doa, dan waktu yang tepat hasilkan pencapaian terbaik

Artinya, berusaha sungguh-sungguh tidak sama dengan kamu memaksakan segala keinginan harus terwujud saat ini. Ingat peribahasa tak akan lari gunung dikejar, hilang kabut tampaklah ia. Maknanya, apa yang pantas didapatkan akan tetap diperoleh meski waktunya belum tentu sekarang sehingga kamu tidak perlu tergesa-gesa. Pun baru memetik hasil usaha serta doamu beberapa waktu mendatang bukanlah sesuatu yang buruk.
Itu tidak membuatmu terlambat atau kalah dari orang lain yang mendapatkannya lebih awal. Waktu yang tepat untuk kalian memperoleh sesuatu gak sama. Bahkan seandainya kamu dan dia melakukan usaha dan berdoa sama persis. Bersabarlah menunggu waktu yang tepat bagimu. Jangan panik dengan waktu orang lain.
Memang terkadang dirimu perlu melakukan evaluasi setelah melihat temanmu terlebih dahulu mencapai impiannya. Boleh jadi ada strategimu yang kurang efektif dan efisien. Akan tetapi, sambil kamu melakukan perbaikan harus terus mengingat tentang waktu terbaik masing-masing. Setelah usaha maksimal serta berdoa, yakinlah keinginanmu akan tercapai pada saatnya nanti.
5. Menyeimbangkan kontak dengan manusia dan alam

Kamu butuh bersosialisasi di samping bekerja. Artinya, hubungan yang dibangun di antara dirimu dengan orang lain jangan sebatas tentang pekerjaan. Jadilah saudara, teman, serta tetangga yang cukup menyenangkan. Terhubung dengan sesama manusia secara lebih mendalam akan menyadarkanmu bahwa hidup ini dapat lebih dinikmati jika ada saatnya kalian bercakap-cakap santai.
Mengobrol di luar topik pekerjaan membantu melambatkan laju kehidupanmu yang sudah terlalu cepat. Kamu akan menemukan banyak perspektif dan cara orang lain menjalani hidupnya yang bisa menginspirasimu. Selain itu, dirimu juga perlu berkontak dengan alam lebih sering daripada selama ini.
Berada di tengah-tengah manusia memang meluaskan pengetahuanmu. Namun, kamu pun butuh kedamaian yang hanya bisa diberikan alam. Alam tidak pernah tergesa-gesa. Segalanya berjalan secara teratur, perlahan-lahan, dan tenang. Malam tidak mendahului siang serta tanaman tumbuh tak dalam semalam. Alam mengajarkanmu untuk tidak mencemaskan kecepatan.
6. Pindah ke lingkungan yang tidak terlalu terburu-buru

Jika kamu sudah mencoba lima langkah di atas tetapi tetap saja kesulitan melambatkan hidup, mungkin faktor lingkungan berpengaruh sangat besar. Dirimu berada di lingkungan yang kurang mendukung untuk menerapkan slow living. Seperti kamu tinggal di kota besar dan bekerja di kantor yang mau tak mau membuatmu seperti harus terus berlari.
Dirimu ingin melambatkan diri, tetapi tidak ada kesempatan untuk itu. Kamu gagal dalam dua hal sekaligus. Yaitu, gagal mempraktikkan slow living sekaligus tidak kuat lagi buat mengikuti gaya hidup serba terburu-buru. Jika kamu memaksakan diri untuk terus di sana, fisik serta psikismu bakal hancur.
Kalau keadaanmu telah seburuk ini, solusinya hanyalah pindah ke pekerjaan lain yang sedikit lebih santai. Jika ini juga tak berhasil karena semua bidang kerja di kota besar memaksa karyawan buat selalu tergesa-gesa, pikirkan untuk pindah kota. Begitu pula bila pekerjaan yang lebih santai di kota besar tak memberimu cukup uang buat hidup layak. Tinggal di kota kecil mungkin lebih sesuai untukmu.
Risiko menjalani hidup dengan fast living ialah tingginya tingkat stres dan kelelahan. Jangan ragu buat memulai slow living tanpa berarti menurunkan produktivitasmu. Justru kehidupan serba cepat yang akhirnya bakal merusak produktivitas. Jika hidupmu menjadi lebih seimbang dengan menerapkan slow living, baik produktivitas maupun kesehatan jasmani serta rohanimu akan terjaga.