Warga Jaga Warga, Kolaborasi Perawat dan Desa di Bali Lawan Kekeringan

Bali selama ini dikenal dengan sawah hijau dan laut birunya. Sebuah "permata" berharga bagi destinasi wisata di Indonesia yang terkenal keindahannya hingga mancanegara. Sayangnya, tak banyak yang tahu bahwa di ujung timur pulau itu, ada desa tandus yang menderita krisis air bersih. Di Desa Ban, Karangasem, air bersih adalah sebuah kemewahan yang tak selalu bisa dimiliki para warganya.
Setiap hari, ibu-ibu harus menempuh jarak berkilo-kilometer dengan membawa jeriken kosong. Mereka menapaki jalanan berpasir dan berbatu demi mendapatkan air bersih untuk keluarga karena sumbernya yang jauh dari tempat tinggal.
Pemandangan ini mengetuk hati seorang perawat muda bernama Reza Riyady Pragita. Ia akhirnya bertekad untuk menggerakkan warga Desa Ban ke arah yang lebih baik, yaitu dengan mendekatkan sumber air bersih. Tujuannya mulia, untuk mengalirkan sumber kehidupan ke tanah kering tersebut bersama-sama.
Perjuangan Reza menghadirkan air bersih bahkan diakui secara nasional. Berkat program yang dilakukannya ini, ia menjadi salah satu penerima SATU Indonesia Awards bidang Kesehatan pada 2022.
1. Reza Riyady, seorang perawat asal Bali yang jadi "cahaya di tengah kegelapan" dengan alirkan air bersih di Desa Ban

Reza Riyady Pragita, seorang perawat asal Klungkung, Bali, memutuskan untuk mengabdi kepada masyarakat. Hal ini bermula saat dirinya berlibur ke area Bali Timur. Di sana, ia menemukan Desa Ban, Karangasem yang memiliki pemandangan berbeda dari Pulau Dewata yang dikenal indah dan ramai turis.
Ia merasa terharu dan ingat akan ibunya ketika melihat perjuangan para perempuan dari Desa Ban yang harus berjalan kaki setidaknya 5 kilometer, hanya demi mendapat air bersih. Terlebih lagi, medan yang ditempuh tidaklah mudah. Jalanan tanpa aspal penuh debu itu harus mereka lalui sambil membawa gerobak berisi jeriken-jeriken air.
“Pada saat itu, jujur, saat saya foto pakai kamera, saya menangis. Saya membayangkan, gimana kalau ibu saya yang harus melakukan hal itu. Saya kagum banget dengan para perempuan Bali. Sebenarnya yang mendasari proyek saya ini, karena mereka itu hebat banget," kata Reza saat membagikan kisah inspiratifnya melalui Workshop Menulis Online dan Bincang Inspiratif Astra 2025 bersama IDN Times pada Selasa (21/10/2025).
Bagi Reza, menjadi perawat adalah soal menghadirkan harapan, bahkan di tempat yang tampak mustahil sekalipun. Ia berpegang pada filosofi “The Light in the Darkness”, yaitu cahaya yang tetap menyala di tengah kegelapan. Siapa yang sangka, prinsip itu kemudian ia bawa hingga ke masyarakat.
Ia akhirnya mencanangkan sebuah gerakan bernama Bali Tersenyum ID dengan program yang ia sebut sebagai Sumber Air untuk Sesama (SAUS). Yang membuatnya semakin menarik, Reza tak mau hanya "memberi", ia ingin mengajak warga setempat untuk bergerak bersamanya.
2. Dengan prinsip Community As Partner, Reza ingin warga bergerak bersamanya untuk menumpas kekeringan ini

Ketika pertama kali datang ke Desa Ban pada 2019, Reza tidak langsung membawa rencana proyek yang siap jalan. Ia justru memulai dengan duduk bersama warga. Ia mendengarkan cerita, keluhan, dan harapan mereka tentang hidup di tengah kekeringan.
Dari hasil musyawarah itu, warga sendiri yang menyampaikan kebutuhan paling mendesak. Mereka tidak butuh rumah baru maupun bantuan uang, yang paling mendesak adalah air bersih yang bisa mereka jangkau setiap hari.
"Kita berangkat jam 07.00, terus kita baru pulang jam 18.00 sore untuk kegiatan ini. Jadi setelah saya research, saya berpikir apa yang bisa saya bantu? Daripada saya bikin bedah rumah, biayanya juga mahal, kayaknya ada satu hal yang bisa lebih menyentuh banyak insan di situ. Kita ingin mendekatkan sumber air, di mana kita menggunakan pendekatan CAP, yaitu Community As Partner," tutur Reza.
Apa yang dimaksud dengan Community As Partner? Pendekatan ini menempatkan masyarakat sebagai mitra dalam menemukan solusi, bukan sebagai penerima bantuan semata. Menurut Reza, pendekatan ini menuntut kehadiran yang sejajar. Sebagai penggerak, ia memfasilitasi diskusi, mengajukan pertanyaan, dan menawarkan solusi. Namun, nantinya ia memberikan ruang bagi warga untuk menentukan langkah mereka sendiri. Hal ini seperti prinsip yang ada di bidang keperawatan.
Reza melanjutkan, "Masyarakat itu bukan objek asuhan keperawatan kita, tapi merekalah yang akan menyelesaikan masalahnya sendiri."
Dengan metode Community As Partner, Reza berharap, rasa memiliki tumbuh secara alami di antara warga. Mereka tidak lagi menunggu arahan dari luar, tapi bergerak bersama demi kebutuhan bersama. Seperti kata Reza, "Kami sebenarnya pengin memandirikan masyarakat desa."
3. Kebaikan tidak datang dari atas, tapi melalui kolaborasi di level akar rumput

Meski gerakan ini berawal dari semangat memberi manfaat, Reza menyadari bahwa kebaikan tidak selalu datang dari "atas". Selama mendampingi warga Desa Ban, ia melihat bahwa peran pemerintah daerah masih terbatas.
Bantuan yang ada biasanya berupa kiriman air bersih oleh BPBD atau PMI saat musim kemarau. Sayangnya, tindakan ini tidak diringi dengan solusi jangka panjang untuk memastikan ketersediaan air di desa. Reza bahkan menegaskan, pihak yang paling berperan justru masyarakat sendiri bersama kepala desa dan kelian adat (sosok yang dituakan di desa), yang berjuang mencari cara agar air tetap mengalir.
Ia mengaku, “Peran pemerintah pada saat pendampingan saya sebenarnya tidak banyak. Yang punya peran itu adalah pihak desanya. Selama saya dampingi sampai 2023, yang memang getol itu kepala desanya, lalu kelian adatnya. Mereka yang benar-benar membantu program kami."
Reza menilai kekuatan terbesar justru ada pada kolaborasi di tingkat akar rumput. Warga yang saling menjaga, bergerak, dan menopang. Hal ini terlihat saat Reza memulai programnya dengan penggalangan dana melalui platform Kitabisa.
"Gerakan pertama yang akhirnya kami lakukan adalah membuat page di Kitabisa.com pada saat itu. Di Instagram, saya meminta teman saya dan siapa pun, tanpa rasa malu untuk membantu. Share-lah minimal," jelasnya. "Saya masih ingat banget, pada saat itu, ada influencer yang tidak saya kenal juga ikut membantu."
4. Setelah hadir donatur tak terduga di tengah masa kritis, bak penampungan air untuk Desa Ban bisa terwujud

Perjalanan mengalirkan air bersih di Desa Ban bukan tanpa rintangan. Tantangan terbesar datang dari hal yang tak kasat mata, yaitu keterbatasan dana dan perasaan down yang sempat membuat Reza nyaris berhenti. Donasi yang awalnya dibuka melalui platform Kitabisa sempat terhenti di angka Rp2,8 juta padahal tenggat waktu penyaluran dana sudah sangat mepet.
"Saya waktu itu nangis, bingung, karena saya sudah janji. Sampai saya berdoa seperti ini, 'Ya Allah, bila program ini baik, lancarkanlah. Bila program ini gak baik, maka bantu hamba untuk legowo'. Mungkin terlihat ambisius banget pada saat itu karena kita udah terlanjur bikin programnya. Kalau misal cuma jadi omong-omong doang, bakal gimana?" tuturnya sambil mengingat momen tersebut.
Niat mulia Reza seolah dijawab oleh alam semesta. Secara tak terduga, seorang donatur dari Medan menghubunginya dan menyalurkan bantuan yang cukup besar, yaitu Rp30 juta. Dari situ, Reza kembali percaya bahwa niat baik tak pernah berjalan sendiri.
Laki-laki tersebut bercerita sambil berkaca-kaca, "Saya benar-benar amazed saat itu. Saya juga cari nama yayasan yang transfer itu di Google, tapi gak ketemu. Tetapi dananya itu ada dan benar-benar Rp30 juta. Saat itu saya seperti dapat mukjizat."
Ketika dana sudah ada di tangan, yang dilakukan Reza adalah menghubungi kelian adat untuk mulai membangun bak penampungan air atau cubang. Saat itu, ia tak ikut terjun langsung, tapi menggerakkan warga desa agar mereka terlibat langsung seperti prinsip Community As Partner.
Warga digerakkan untuk membangun bak penampungan air tersebut. Dengan semangat gotong royong demi sumber air bersih yang lebih dekat, semuanya dikerjakan oleh warga setempat. Hal ini juga membuat rasa kepemilikan dan rasa ingin menjaga cubang itu semakin besar.
"Jadi, bak penampungan air itu yang buat masyarakat sendiri," katanya melanjutkan. "Ternyata benar, apa yang dikerjakan dari hati akan mengena ke hati lainnya."
5. Air yang dulunya langka akhirnya mengalir, Desa Ban jadi lebih sehat dan mandiri

Usaha Reza dan warga Desa Ban terbayarkan penuh. Air bersih akhirnya bisa mengalir di area yang dulunya kekeringan tersebut. Bahkan Reza hadir dan menyaksikan sendiri betapa air yang bening dan segar yang dulunya langka, mengalir untuk pertama kalinya.
Reza menceritakan, "Saat itu, saya merasakan sendiri air itu keluar. Merasakan betapa segarnya air itu."
Bak penampungan air yang dibangun dari program SAUS ini pun membawa banyak perubahan di Desa Ban. Salah satunya dari aspek kesehatan, bidang yang digeluti sang penggerak, Reza Riyady.
Menurutnya, sebelum ada program SAUS, ia sering menerima pasien akibat diare dari Desa Ban. Mereka mengalaminya karena dehidrasi berat lantaran air di desanya kotor dan tidak bisa diminum. Namun setelah air bersih mengalir di desa itu, kasus dehidrasi berat menurun drastis.
Warga setempat menyambut upaya Reza dan timnya dengan rasa terima kasih yang tulus. Ia masih mengingat jelas momen ketika sepasang kakek-nenek datang menemuinya hanya untuk mengucapkan terima kasih. Dengan bahasa Bali halus, mereka berkata, “Makasih banyak, ya. Saya tidak tahu siapa kamu, tapi terima kasih sudah membantu.”
Ucapan sederhana itu membekas dalam ingatan Reza. Di tengah perjuangan panjang melawan kekeringan, sapaan penuh rasa itu menjadi pengingat bahwa kebaikan sekecil apa pun bisa berarti besar bagi orang lain.
Berkat inisiatifnya dalam menjalankan semangat "warga jaga warga", Reza Riyady pun meraih prestasi bergengsi, yaitu SATU Indonesia Awards tingkat provinsi dari Astra untuk bidang Kesehatan pada tahun 2022. Penghargaan ini membuka lebih banyak koneksi dan kesempatan untuk kolaborasi baginya. Dengan semangat yang sama, Reza berharap program Sumber Air untuk Sesama (SAUS) dan Bali Tersenyum ID dapat diterapkan di daerah-daerah lain yang juga menghadapi krisis air bersih.
"Mari kita bergerak, mulai dari hal yang kecil saja. Karena prinsip dalam hidup saya itu, hiduplah seperti pohon. Hidup untuk menghidupi," pungkas Reza Riyady Pragita.



















