Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

4 Alasan Silent Treatment Bisa Jadi Bentuk Kekerasan Emosional

Ilustrasi berpisah (Pexels.com/RDNE Stock project)

Dalam hubungan, gak semua masalah datang dari pertengkaran besar atau kata-kata kasar. Justru kadang, hal yang terlihat “kalem” seperti diam bisa jadi senjata paling tajam buat menyakiti pasangan. Yap, tindakan yang sering disebut dengan silent treatment ini sering dianggap wajar atau bahkan dianggap sebagai cara “menenangkan diri” saat emosi lagi tinggi. Tapi kalau sudah terlalu sering dipakai dan jadi pola dalam hubungan, ini bisa jadi tanda kekerasan emosional, lho.

Apalagi kalau diamnya bukan cuma sehari dua hari, tapi benar-benar membuat pasangan merasa diabaikan, diacuhkan, dan gak dianggap. Rasanya kayak berteriak dalam ruangan kosong, gak ada yang dengar, gak ada yang peduli. Biar kamu makin paham kenapa silent treatment gak bisa dianggap sepele, yuk simak beberapa alasannya berikut ini.

1. Membuat pasangan merasa tidak berharga

Ilustrasi sedang sedih (Pexels.com/cottonbro studio)

Saat seseorang memilih diam dan benar-benar mengabaikan pasangannya, hal itu bisa membuat si pasangan merasa tidak penting. Bayangin aja, kamu habis bertengkar lalu pasanganmu memilih gak bicara sama sekali, bahkan gak menanggapi sapaan atau pertanyaan sederhana. Lama-lama kamu akan mulai bertanya-tanya, “Apa aku sepenting itu buat dia?”, “Apa aku pantas diperlakukan kayak gini?” Perasaan gak dihargai ini bisa menggerogoti harga diri dan bikin seseorang merasa kecil. 

Ini bukan lagi soal menenangkan diri, tapi udah masuk ke ranah menyakiti secara emosional. Karena diamnya bukan buat cari solusi, tapi buat menghukum secara halus. Dan kalau ini jadi kebiasaan, efeknya bisa sangat merusak mental.

2. Menimbulkan ketakutan dan kecemasan berlebihan

Ilustrasi stres (pexels.com/ MART PRODUCTION)

Silent treatment sering bikin seseorang jadi overthinking dan cemas berlebihan. Apalagi kalau gak tahu apa kesalahannya dan tiba-tiba aja “dijatuhi” hukuman berupa didiemin. Otak langsung mutar seribu kali, mikir segala kemungkinan, bahkan kadang merasa bersalah atas hal yang sebenarnya gak dia lakukan. Ini bisa memicu rasa takut kehilangan, takut dibenci, atau bahkan trauma dalam menjalin hubungan. 

Diam yang berlarut-larut bisa membuat seseorang hidup dalam tekanan terus-menerus. Akibatnya, bukan cuma hubungan yang renggang, tapi kesehatan mental juga ikut kena. Jadi kalau ada yang bilang silent treatment itu cara dewasa menghadapi konflik, kamu perlu pertanyakan ulang.

3. Menghentikan komunikasi yang sehat dalam hubungan

Ilustrasi sedang bertengkar (Pexels.com/Timur Weber)

Komunikasi adalah kunci dari hubungan yang sehat. Tapi kalau setiap ada masalah, salah satu pihak malah memilih bungkam total, hubungan jadi kehilangan jalur komunikasi yang seharusnya jadi solusi. Masalah gak akan pernah benar-benar selesai kalau gak dibicarakan. Malah bisa numpuk dan jadi bom waktu. 

Silent treatment ini membuat pasangan enggan terbuka, karena takut bakal “di-diemin” lagi. Akhirnya, hubungan jadi dipenuhi asumsi dan prasangka yang belum tentu benar. Padahal, bukannya nyari siapa yang salah, yang paling penting itu gimana menyelesaikan masalahnya bareng-bareng. Tapi kalau komunikasi aja ditutup rapat, gimana bisa jalan?

4. Bisa jadi bentuk manipulasi yang halus

Ilustrasi sedang khawatir (Pexels.com/Alex Green)

Kadang, silent treatment dipakai bukan cuma karena emosi, tapi sebagai alat untuk mengontrol. Misalnya, seseorang sengaja mendiamkan pasangannya sampai si pasangan menyerah, minta maaf, atau ngalah, meskipun bukan dia yang salah. Ini bentuk manipulasi yang halus tapi berbahaya. 

Tujuannya biar yang satu merasa punya “kendali” atas hubungan. Kalau dibiarkan, pola seperti ini bisa bikin hubungan jadi gak setara. Satu pihak terus-terusan merasa harus mengalah, sementara yang satu lagi terbiasa pakai diam untuk menang. Manipulasi kayak gini bikin hubungan jadi toxic, karena bukan dibangun dari rasa pengertian, tapi dari permainan kuasa yang gak sehat.

Silent treatment itu bukan solusi, apalagi kalau tujuannya buat menghukum atau mengontrol pasangan. Diam memang bisa jadi pilihan saat emosi masih panas, tapi harus ada batasnya. Setelah tenang, harusnya komunikasi tetap dijalankan supaya masalah bisa diselesaikan dengan sehat. Kalau dibiarkan jadi kebiasaan, silent treatment bisa berubah jadi bentuk kekerasan emosional yang sulit disadari, tapi sangat berdampak. Jadi, yuk sama-sama belajar buat saling bicara, saling dengarin, dan saling ngerti, karena hubungan yang sehat dibangun dari komunikasi yang baik!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Agsa Tian
EditorAgsa Tian
Follow Us