Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apa Itu Fight Language? Istilah Selain Love Language di dalam Hubungan

Ilustrasi pasangan duduk saling membelakangi (pexels.com/cottonbro studio)
Ilustrasi pasangan duduk saling membelakangi (pexels.com/cottonbro studio)
Intinya sih...
  • Istilah love language adalah cara untuk mengekspresikan rasa cinta dan kasih sayang kepada pasangan.
  • Fight language merupakan cara setiap orang merespons konflik dalam hubungan asmara dengan ekspresi masing-masing.
  • Ada lima jenis fight language: Pemicu, Penguat, Negosiator, Penganalisis, dan Pemadam.

Mungkin kamu sudah familier dengan istilah physical touch, words of affirmation, quality time, giving gift, dan acts of service. Dalam suatu hubungan asmara, istilah tersebut merupakan bahasa cinta atau yang dikenal dengan sebutan love language.

Bahasa cinta ini digunakan sebagai cara untuk mengekspresikan rasa cinta dan kasih sayang kepada pasangannya. Namun, tahukan kamu di mana ekspresi love language dalam hubungan romansa, di situ ada ekspresi yang berlawanan dari bahasa cinta ini.

Istilah tersebut disebut sebagai fight language. Lantas, apa makna fight language serta pengaruhnya dalam suatau hubungan asmara? Yuk, pelajari di sini!

1. Apa itu fight language?

Ilustrasi pasangan beradu argumen (pexels.com/ANTONI SHKRABA production)
Ilustrasi pasangan beradu argumen (pexels.com/ANTONI SHKRABA production)

Fight language jika diartikan secara harfiah berarti bahasa pertengkaran. Preferensi komunikasi pada setiap hubungan asmara tidak hanya terbatas pada cara memberi dan menerima cinta. Dalam hubungan tersebut, tentu pasangan seringkali dihadapkan dengan konflik. 

Konflik atau pertengkaran cenderung diwujudkan melalui ekspresi emosi. Setiap orang menunjukkan emosinya dengan cara yang berbeda-beda, tergantung banyak faktor. Inilah yang disebut dengan fight language, yaitu bagaimana cara setiap orang merespons di setiap konflik yang terjadi dalam hubungan asmara dengan ekspresinya masing-masing. 

"Ketika kita mencoba menenangkan seseorang yang marah, kecenderungan alami adalah menganggap mereka menghadapi emosi itu seperti kita. Pola ini terbentuk berdasarkan cara kita melihat, mendengar, merasakan, dan berpikir," jelas David Feinstein, seorang psikolog klinis yang dilansir Mindvalley.

Kemarahan sendiri bersifat “vulkanik”, sehingga hal ini dapat menjadi penyakit. Hal ini disampaikan oleh Martin Teicher, profesor psikiatri asosiasi di Harvard Medical School di McLean, dikutip dari Mindvalley.

"Ekspresi emosi negatif, mentah, dan intens secara terbuka sulit disaksikan oleh banyak orang dan dapat meninggalkan luka,” ungkapnya.

2. Tipe fight language

Ilustrasi pasangan bertengkar (pexels.com/Timur Weber)
Ilustrasi pasangan bertengkar (pexels.com/Timur Weber)

Penulis Lena Morgan telah mengusulkan kategori-kategori yang ia sebut sebagai fight language, yang dijelaskan dalam bukunya dengan judul yang sama. Dilansir HuffPost, ia menyebutkan lima jenis fight language, yakni:

  • The Ignitor (Pemicu): Bereaksi dengan amarah dan ingin merasa dilindungi.
  • The Amplifier (Penguat): Bereaksi secara emosional dan ingin merasa dipahami.
  • The Negotiator (Negosiator): Bereaksi berdasarkan koneksi dan membutuhkan jaminan atas koneksi tersebut.
  • The Analyzer (Penganalisis): Bereaksi secara logis dan ingin alasan mereka dipahami.
  • The Extinguisher (Pemadam): Bereaksi dengan melepaskan diri dan ingin melarikan diri ke tempat yang aman.

3. Contoh respons dari setiap tipe fight language

Ilustrasi pasangan bertengkar (pexels.com/Keira Burton)
Ilustrasi pasangan bertengkar (pexels.com/Keira Burton)

Berikut penjelasan dan contoh respons dari kelima tipe fight language yang hampir universal tersebut, menurut Lena Morgan, dilansir HuffPost. Sesuai dengan namanya, The Ignitor atau si Pemicu merupakan tipe yang 'eksplosif' jika dihadapkan dengan konflik. Apabila The Ignitor diberitahu bahwa mereka salah dalam melakukan sesuai hal, mereka kemungkinan akan 'meledak'.

“Jika seseorang berkata kepada mereka, ‘Kamu tidak melakukan ini dengan benar’ atau ‘Kamu selalu salah melakukannya’, maka mereka akan bereaksi dengan marah dan eksplosif karena mereka merasa telah berusaha dan diberitahu bahwa itu tidak cukup baik,” jelas Morgan.

Sementara, The Amplifier atau si Penguat lebih mementingkan perasaan daripada logika. Contoh merespons konfliknya seperti; 'Ini tidak perlu masuk akal. Saya tahu apa yang saya rasakan. Saya ingin kamu mengakui perasaan saya'. The Amplifier juga mungkin mengatakan bahwa mereka telah mencoba, tetapi merasa tidak dihargai dan disalahpahami.

Sebaliknya, The Analyzer atau si Penganalisis akan merespons konflik dengan berdasarkan rasionalitas. Contohnya; 'Fakta lebih penting daripada perasaan. Saya tidak peduli bagaimana perasaanmu tentang hal ini. Apa kebenarannya?'. Jadi, The Analyzer merasa seluruh konflik harus memiliki dasar atau berdasarkan fakta-fakta.

Adapun The Negotiator atau si Negosiator akan memberikan opsi-opsi terkait tentang suatu konflik yang sedan dihadapi. Setelah itu, mereka akan berkata; 'Saya hanya mencoba membantu', atau 'Saya hanya mencoba memperbaiki keadaan.'

Terakhir, The Extinguisher atau si Pemadam mungkin tidak berkata apa-apa sama sekali atau hanya berkata, 'Baiklah, terserah,' dengan harapan menghindari konflik sepenuhnya.

4. Tujuan memahami fight language

Ilustrasi kedekatan pasangan (pexels.com/Emma Bauso )
Ilustrasi kedekatan pasangan (pexels.com/Emma Bauso )

Layaknya love language, dengan memahami fight language dan mempelajari bahasa pasangan dapat menjadi langkah yang kuat untuk membantu hubungan berkembang. Memahami fight language pasangan berfungsi sebagai jalan untuk resolusi konflik, sehingga memberikan wawasan tentang cara masing-masing individu menghadapi perbedaan pendapat. 

"Tujuan mengenali gaya bertengkar bukan untuk menyoroti kekurangan pasangan atau memaksa salah satu pihak mengubah cara mereka, melainkan untuk meningkatkan kesadaran terhadap konflik yang muncul dalam hubungan," kata Jay Shetty seorang Life Coach, dilansir HuffPost. 

Fight language dapat menentukan sikap dan arah emosional kita selama perdebatan, serta memengaruhi cara pasangan memproses konflik, mengelola emosi, dan berinteraksi dalam diskusi dengan pasangan. Ketidaktahuan akan fight language ini dapat menyebabkan kesalahpahaman yang berulang, konflik yang tidak terselesaikan, jarak emosional, dan pada akhirnya, keretakan hubungan.

Jadi, apakah kamu sudah mengerti apa itu istilah fight languageMemahami pasangan memang bukan hal yang mudah, namun perlu dipelajari demi hubungan yang lebih dewasa, bertahan lama dan berkualitas. Kira-kira kamu termasuk tipe yang mana, nih?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Aliya F. Izetti
EditorAliya F. Izetti
Follow Us