Akses Obat Rendah, Menkes Minta Sederhanakan Perizinan

- Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin: rendahnya akses obat di Indonesia perlu penanganan komprehensif
- Pemerintah komitmen transformasi sistem kesehatan dengan memastikan ketersediaan obat, meningkatkan akses obat inovatif, dan harga terjangkau
- Pemerintah dorong produksi obat dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan impor, memperkuat sektor kesehatan, dan mendukung pengembangan ekonomi nasional
Jakarta, IDN Times - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan rendahnya akses obat di Indonesia menjadi permasalahan serius yang membutuhkan penanganan komprehensif. Pada acara IPMG Stakeholders Forum 2024 di Jakarta, Kamis (12/12/2024), Menkes menegaskan perlunya penyederhanaan proses perizinan uji klinik dan registrasi obat untuk meningkatkan aksesibilitas pengobatan.
Pemerintah berkomitmen melakukan transformasi sistem kesehatan melalui tiga langkah strategis, yakni memastikan ketersediaan obat, meningkatkan akses obat inovatif, dan menjamin harga obat yang terjangkau bagi masyarakat.
1. Dorong produksi dalam negeri

Pemerintah mendorong peningkatan produksi obat dan alat kesehatan secara mandiri untuk mengurangi ketergantungan impor. "Kita sukses melakukan fraksionasi plasma darah dan harapannya mulai tahun 2026 kita mulai produksi Albumin di Indonesia," ujar Budi Gunadi Sadikin.
Langkah ini tidak hanya memperkuat sektor kesehatan, tetapi juga mendukung pengembangan ekonomi nasional. Dengan memproduksi obat dalam negeri, Indonesia dapat meningkatkan ketahanan farmasi dan mengurangi risiko kekurangan obat selama krisis kesehatan.
2. Penyederhanaan proses perizinan

Menkes mengakui rendahnya akses obat di Indonesia disebabkan oleh proses perizinan yang kompleks dan berbelit-belit. "Akses obat kita masih rendah. Pastikan kita harus menyederhanakan proses perizinan uji klinik dan registrasi obat, jangan terlalu lama, jangan terlalu birokratis," tegasnya, dikutip dari siaran tertulis Kemenkes.
Untuk mempercepat proses, pemerintah telah menginisiasi Health Technology Assessment (HTA) Satu Pintu Satu Standar. Pendekatan ini memungkinkan stakeholder untuk melakukan kajian mandiri dan mengajukan hasil penilaian kepada Komite Penilaian Teknologi Kesehatan.
3. Menjamin keterjangkauan harga

Harga obat di Indonesia tercatat jauh lebih mahal dibandingkan negara tetangga. Menurut Budi Gunadi, perbedaan harga obat dapat mencapai 1,5 hingga 5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan Malaysia.
"Pajak bukan isu utama dari tingginya harga obat, tapi biaya marketing dan distribusi yang mahal. Untuk mengatasinya, pemerintah akan membuat sistem yang lebih baik guna mengatasi persoalan ini," jelasnya.
4. Kolaborasi lintas sektor

Menkes menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, industri farmasi, penyedia layanan kesehatan, dan tenaga kesehatan. "Kami membutuhkan dukungan anda. Tujuan kami jelas, yakni bisa memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan biaya yang terjangkau untuk masyarakat terutama dalam hal ketersediaan obat-obatan," kata dia.
Harapannya, melalui upaya komprehensif ini, sistem kesehatan Indonesia dapat menjadi lebih inklusif, responsif, dan mampu memberikan akses pengobatan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat.