Anggota DPR Sentil Pemerintah yang Lepas Tangan soal Kenaikan UKT

Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi X DPR, Ledia Hanifa, mengkritik respons yang disampaikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) ketika banyak keluhan soal kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terjadi serentak di banyak universitas negeri.
Ledia menilai, respons pejabat Kemendikbud yang menyebut pendidikan di universitas termasuk tertiary education tidak nyambung.
Sebab, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) berada di bawah naungan negara sehingga negara harus siap dan mau mengawasi implementasi regulasi penentuan nilai harga satuan biaya operasional di PTN.
"Masyarakat terutama orangtua dan mahasiswa sedang mengeluhkan biaya UKT yang naik berlipat-lipat jadi mahal. Tapi, pemerintah malah berkelit kalau kuliah itu tertiary education, yang artinya pilihan pribadi untuk lanjut ke jenjang lebih tinggi. Itu kan menganggap pendidikan tinggi bukan prioritas pemerintah. Reaksi ini menurut saya sangat sembrono, tidak solutif dan ibarat Jaka Sembung naik ojek, gak nyambung, jek!" ujar Ledia di dalam keterangan tertulis pada Selasa (21/5/2024).
Ia menambahkan, reaksi dari pejabat Kemendikbud itu menimbulkan kekhawatiran lantaran pendidikan tinggi dianggap bukan prioritas pemerintah, maka kenaikan UKT diserahkan sepenuhnya kepada pihak kampus. Pemerintah seolah tidak mau peduli.
“Seolah-olah terserah saja mau semahal apa. Terserah mahasiswa sanggup lanjut kuliah atau drop out karena semua itu adalah pilihan," tutur perempuan politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
1. SSOBPT harus dikendalikan dan diawasi oleh pemerintah

Lebih lanjut, Ledia mengingatkan penentuan Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) seharusnya ditentukan dan dikontrol oleh pemerintah. Bila langkah itu tidak dilakukan, maka biaya pendidikan tinggi di Tanah Air akan melambung tinggi.
"Ujung-ujungnya pendidikan tinggi semakin sulit dijangkau, khususnya bagi masyarakat dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah. Cita-cita mendulang Generasi Emas 2045 pun bisa hanya tinggal mimpi," kata politisi dari Dapil Jawa Barat I itu.
Ia menambahkan, PTN merupakan investasi negara terhadap tumbuh kembang masa depan generasi bangsa. PTN bukan bisnis bagi negara.
Oleh karena itu, negara harus hadir dalam memberikan kemudahan akses pendidikan untuk mencerdaskan bangsa. Bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan pasar.
"Untuk mendapat manfaat bonus demografi dan memanen SDM unggul Indonesia Emas 2045, maka prioritas kita tentulah bagaimana generasi muda mendapatkan pendidikan dengan kualitas terbaik, pelayanan terbaik, dan dengan alokasi yang terbaik," kata dia.
2. Perguruan tinggi bisa berdayakan badan usaha lain untuk kurangi beban operasional

Ledia pun memberikan saran kepada PTN untuk memberdayakan badan usaha lain. Tujuannya agar beban operasional tidak sepenuhnya ditanggung oleh mahasiswa.
"Kedua, negara tetap perlu hadir dengan membuat regulasi yang membantu PTN bisa tetap mandiri tetapi sekaligus mendorong terbukanya akses ke pendidikan yang terjangkau," kata Ledia.
Sementara, dalam pandangan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Peraturan Mendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 yang diteken oleh Nadiem Makarim menjadi biang kerok biaya UKT mengalami kenaikan yang signifikan dalam waktu serentak. Sebab, di situ Satuan Standar Biaya Operasional Perguruan Tinggi (SSBOPT) ditentukan oleh pemerintah.
Koordinator JPPI, Ubaid Matraji, menuntut pemerintah mengembalikan pendidikan termasuk pendidikan tinggi masuk ke kebutuhan publik. JPPI, kata Ubaid, menolak segala bentuk komersialisasi di perguruan tinggi khususnya di Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH).
3. Kenaikan UKT di kampus negeri sampai 500 persen

Sementara, mahasiswa berusaha mencari solusi agar kebijakan kenaikan UKT dibatalkan oleh pihak rektorat. Salah satunya dengan mengadakan audiensi bersama Komisi X DPR. Presiden BEM Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Maulana Ihsanul Huda di dalam audiensi tersebut mengatakan kenaikan UKT di kampusnya menembus angka 500 persen. Ia mengambil contoh fakultas tempatnya menuntut ilmu di Fakultas Peternakan.
"UKT di Fakultas Peternakan yang sebelumnya Rp2,5 juta menjadi Rp14 juta. Itu untuk tingkatan paling tinggi. Bagaimana kami tidak marah dengan hasil seperti itu?" ujar Maulana dikutip dari YouTube Komisi X DPR pada Minggu kemarin.
Ia mengaku, pihak mahasiswa Unsoed sudah melakukan audiensi dengan pihak rektorat. Namun hasilnya belum memuaskan mahasiswa. Tidak ada pergantian kebijakan yang signifikan.
"UKT di fakultas peternakan hanya turun Rp81 ribu. Itu benar-benar menjadi keresahan kami. Hal semacam ini juga terjadi di banyak kampus, mulai dari Universitas Mataram, Universitas Bengkulu, UNS, Universitas Diponegoro, UIN Jakarta, hingga Universitas Brawijaya. Ini serentak (pemberlakuan UKT) di Indonesia," tutur dia.
Para mahasiswa pun mempertanyakan alasan di balik kenaikan serentak UKT. Pihak rektorat mengacu kepada Permendikbud nomor 2 tahun 2024 dan dilanjutkan dengan Kepmen nomor 54 tahun 2024.
"Peraturan itu mengatur tentang SSBOPT," katanya.