BGN Wajibkan SPPG Masak dengan Air Galon untuk Cegah Keracunan Makanan

- Penyelesaian keracunan massal bukan dengan penggunaan air galon
- Perpres mengenai tata kelola MBG terus mengalami perubahan
- SPPG yang melanggar Perpres bisa ditutup
Jakarta, IDN Times - Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Nanik S. Deyang mengatakan, pihaknya sudah mewajibkan tiap Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) menggunakan air galon untuk memasak dan sanitasi. Kebijakan itu dibuat lantaran melihat sejumlah kasus keracunan massal terus berulang di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Hal itu dipicu sanitasi yang buruk.
"Persoalan kita memang dipicu sanitasi yang buruk. Misalnya kejadian di Bandung Barat. Kenapa sih, kok bolak-balik terjadi (keracunan massal) di Bandung Barat? Ternyata berdasarkan hasil laboratorium Kementerian Kesehatan, 72 persen berasal dari air," ujar Nanik ketika berbincang di Jakarta Pusat, Kamis (23/10/2025).
"Kenapa bisa terjadi (kualitas air buruk)? Karena pembuangan sampah berkumpul di Bandung Barat. Jadi, sanitasi dan air sebagainya (tercemar). Maka, sekarang kami wajibkan (SPPG) untuk memakai air galon sampai mereka dipastikan memiliki fasilitas untuk memfilter air, menggunakan teknologi ultra violet yang dapat menghasilkan kualitas air yang sama dengan air mineral," imbuhnya.
Ia berharap, dengan aturan baru tersebut bisa mengurangi peristiwa keracunan massal. Di acara itu, Nanik juga menyebut setiap SPPG baru memasak makanan untuk Makan Bergizi Gratis (MBG) di atas jam 00.00 WIB. Dengan begitu, makanan yang dimasak bisa tetap terjaga kesegarannya.
"Ini akan dimasukan ke dalam Perpres mengenai tata kelola, bahwa tidak boleh memasak makanan di bawah jam 00.00," tutur dia.
1. Cara penyelesaian keracunan massal bukan dengan penggunaan air galon

Sementara, dalam sudut pandang ahli gizi, dr. Tan Shot Yen, yang harus diperbaiki bukan soal penggunaan air galon, melainkan tata kelola MBG. Sebab, permasalahan yang ditemukan di lapangan mulai dari nasi berlendir hingga ditemukan belatung.
"Hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan air galon. Itu semua bisa dicegah dari pemilihan bahan baku, cara masak bahkan ada ayam yang belum matang, ayam yang kalau dibelah, bagian tengahnya belum matang. Jadi, ini gak ada urusannya dengan air galon atau pun penyediaan sendok di menu MBG," kata dr. Tan ketika dihubungi, Jumat (24/10/2025).
Sebab, anak ketika menggunakan tangan untuk mengonsumsi MBG tidak berdampak apapun. Ia pun menyayangkan program MBG tidak didahului dengan adanya simulasi atau pilot project.
"Di negara kita terbalik. Sudah ada kejadian baru bikin ribut nih, untuk buat sertifikasi, pelatihan. Jadi, ini memang tata kelolanya kacau balau. HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point)-nya dibenerin, sertifikasinya gak diburu-buru supaya SPPG-nya menjadi halal, sehingga kita menjalankan sesuai aturan yang berlaku," tutur dia.
2. Perpres mengenai tata kelola MBG terus mengalami perubahan

Lebih lanjut, Nanik mengatakan, salah satu penyebab lamanya peraturan presiden mengenai tata kelola MBG disusun dan diteken Prabowo lantaran terus mengalami penyesuaian. Salah satu poin yang sempat dimasukan adalah soal guru yang diberi insentif karena membantu membagikan MBG ke para siswa.
"Perpres ini terus mengalami perubahan. Kenapa ada perubahan? Dulu kan misalnya sudah mau keluar (Perpres) sejak beberapa waktu lalu, tiba-tiba ada usulan guru jangan hanya ditugaskan untuk membagikan (MBG) tetapi juga menerima MBG. Lalu, dengan adanya case-case (keracunan), maka mendesak untuk dilakukan perubahan tata kelola. Contohnya, dulu tata kelola dimasukan ke dalam juknis (petunjuk teknis), sekarang dimasukan ke dalam perpres," ujar Nanik ketika menjawab pertanyaan IDN Times pada Kamis kemarin.
Dengan demikian, sekarang ada dua jenis perpres, yaitu yang mengatur tata kelola MBG dan organisasi. Itu sebabnya terus terjadi berbagai perubahan
3. SPPG yang melanggar Perpres bisa ditutup

Nanik juga menjelaskan, dengan adanya perpres mengenai tata kelola MBG maka memiliki daya mengikat lebih kuat. Bahkan, bila ada Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tidak mengikuti tata kelola yang tertulis di dalam perpres, bisa disanksi untuk ditutup.
"Paling enggak (SPPG) bisa diperingatkan atau diskors. Sekarang 112 dapur yang ditutup. Ada beberapa yang memenuhi syarat, dibolehkan kembali beroperasi. Tapi, itu semua dengan syarat harus meneken kontrak atau perjanjian, bila kembali berulang akan ditutup permanen," kata Nanik.
Ia mengatakan, kebijakan itu menandakan BGN mampu bersikap tegas kepada SPPG yang tersebar di seluruh Indonesia. Ketika ditanya berapa jumlah kasus keracunan massal yang sudah terdata, Nanik enggan mengungkapkannya. Ia mengatakan, pihak yang berwenang menyampaikan angka keracunan akibat MBG adalah Kementerian Kesehatan. Sebab, Kemenkes mendapatkan data langsung dari fasilitas kesehatan.


















