DPR: Jangan Sampai Amnesti karena Lapas Over Kapasitas

Jakarta, IDN Times – Anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi PKB, Mafirion mengingatkan, jangan sampai pemberian amnesti oleh pemerintah didasarkan pada alasan over kapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas).
Sedianya, ada sebanyak 44 ribu narapidana yang diusulkan akan diberikan amnesti, namun setelah diverifikasi amnesti hanya diberikan untuk 19 ribu narapidana.
“Karena lapas over capacity kan karena ada keputusan-keputusan kita yang tidak punya korelasi yang tepat atau tidak selaras dengan UU yang ada,” kata Mafirion, di Gedung DPR RI, Senin (17/2/2025).
1. Pengguna narkoba di bawah 1 gram cukup direhab

Lebih jauh, Mafirion turut meminta agar pemberian amnesti yang berulang di masa mendatang. Dia lantas mengatakan, kasus penyalahgunaan narkotika dalam jumlah kecil sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Dia menjelaskan, terdapat pasal dalam UU ini yang mengatur bahwa pengguna narkoba di bawah satu gram cukup direhabilitasi, bukan dipenjara.
“Karena memang misalnya narkoba yang dibawah 1 gram, maksimal 1 gram. Itu kan memang Undang-Undang 35 tahun 2009 memang mengatur. Mereka harus direhabilitasi, sehingga ini harus benar-benar dijalankan,” kata Mafirion.
Mafirion turut menyoroti pentingnya evaluasi peraturan perundang-undangan yang berpotensi memunculkan kebutuhan pemberian amnesti di masa mendatang.
Dia mencontohkan, kasus penghinaan terhadap presiden dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Padahal para narapidana kasus tersebut saat ini telah diberi amnesti.
“Misalnya penghinaan Presiden. Kan ini kita diberi amnesti, jangan sampai itu nanti terulang lagi. Di UU ITE perubahan ke-2 tahun 2024 itu kan masih ada. Sehingga soal amnesti ini, pemerintah harus juga melakukan evaluasi terhadap UU yang ada,” kata dia.
2. Penerima amnesti kasus makar harus spesifik

Selain itu, dia juga menyinggung amnesti untuk kasus makar. Dia pun mendorong agar pemerintah menjelaskan secara spesifik siapa penerima amnestinya, terutama dalam kasus makar bersenjata dan tidak bersenjata.
"Soal makar ini, spesifiknya seperti apa? Misalnya yang bersenjata seperti yang diminta teman-teman dari Papua. Kan ada yang bersenjata tidak diberi, yang diberi amnesti yang tidak bersenjata. Itu bagaimana sih verifikasinya?" tutur dia.
Mafirion lantas mengingatkan bahwa UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru juga masih mengatur mengenai makar.
Karena itu, dia menekankan, bila aturan ini tak dievaluasi, maka kasus serupa akan terus berulang dan kembali berujung pada pemberian amnesti.
“Kan masih ada mengatur soal makar. Nanti jangan tangkap lagi, nanti kita amnesti lagi. Amnesti itu kan memang putusan politik yang diminta persetujuan kepada DPR,” ungkap dia.
Namun, dia menekankan meskipun pemberian amnesti ini bersifat politikz maka jangan sampai setiap tahunnya membuat keputusan yang sama.
“Tetapi walaupun dia putusan politik, kan tidak mungkin setiap tahun kita membuat putusan politik yang memang UU mengatur orang itu,” kata dia.
3. Harus ada kepastian hukum

Terkahir, dia berharap pemerintah dapat memastikan aturan hukum yang ada supaya benar-benar dijalankan, sehingga tidak perlu lagi mengambil kebijakan serupa berulang-ulang.
"Sehingga untuk kasus kali ini, untuk amnesti kali ini cukup sekali ini saja. Nggak boleh terulang di masa yang akan datang. Karena aturan-aturan yang ada memang sudah mengatur hal-hal seperti itu," kata Mafirion.
Ia juga meminta pemerinta supaya pemerintah dapat mengantisipasi terkait pemberian amnesti yang berulang di masa mendatang.
Kebijakan amnesti tak boleh terus-menerus diambil, terutama jika sudah ada aturan hukum yang telah mengatur mekanisme penyelesaian kasusnya.
"Keputusan tentang amnesti ini tidak boleh terulang. Jadi, tahun-tahun yang akan datang jangan kasih amnesti lagi," kata dia.