Gugatan UU Kesehatan di MK, Menkes Singgung Dominasi IDI

- Menteri Kesehatan menjelaskan gugatan terkait Pasal 311 UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi.
- Pasal tersebut dianggap menimbulkan kekacauan hukum dan bertentangan dengan UUD 1945 oleh para pemohon, namun Menkes menyatakan bahwa pasal ini merupakan peneguhan prinsip konstitusional.
- Pemerintah meyakini pasal ini dibuat untuk menghindari dominasi kelembagaan serta meminimalisir adanya pengawasan dan keseimbangan dalam organisasi profesi tenaga medis dan kesehatan.
Jakarta, IDN Times - Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin menjelaskan soal Pasal 311 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang merupakan salah satu klaster yang digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal tersebut disampaikan Budi saat menjelaskan dalil yang disampaikan Pemohon dalam sidang lanjutan perkara nomor 182/PUU-XXII/2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (3/6/2024). Adapun sidang digelar dengan agenda mendengarkan keterangan presiden dan pihak terkait.
Budi pun membacakan dalil pemohon yang menilai kata "dapat" dan frasa "organisasi profesi" dalam ketentuan pasal 311 ayat 1 UU Kesehatan menimbulkan kekacauan. Pemohon beranggapan, aturan itu seakan membebaskan tenaga medis atau tenaga kesehatan dapat membentuk organisasi profesi, tanpa batasan pasien rigid dan kualifikasi yang jelas menurut hukum.
Pemohon menilai aturan tersebut menimbulkan kekacauan hukum, merendahkan mutu, menimbulkan ketidakpastian yang bertentangan dengan pasal 28d ayat 1 UUD 1945. Dengan adanya aturan ini, organisasi profesi tenaga medis dan kesehatan akan menjamur, tidak hanya Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
1. Sesuai amanah UUD 1945

Budi mengatakan, pasal 311 ayat 1 UU Nomor 17/2023 yang berbunyi tenaga medis dan tenaga kesehatan dapat membentuk organisasi profesi, merupakan peneguhan prinsip konstitusional Pasal 28e Ayat 3 UUD 1945, di mana pemerintah menjamin hak setiap warga negara untuk berserikat dan berkumpul.
"Norma ini bukan bentuk kelemahan terhadap organisasi profesi melainkan justru merupakan pengakuan konstitusional atas hak berserikat dalam merana keprofesian yang dilandaskan pada prinsip otonomi serta kebebasan individu dalam membentuk dan memilih wadah keilmuan secara terbuka," ujar dia.
2. Antisipasi adanya eksklusivitas

Ia pun menyinggung, Indonesia sebagai negara hukum demokratis, kebebasan berserikat tidak tunduk pada negara. Tapi, berdiri atas dasar kehendak bebas yang sejalan dengan subjek hukum.
Hal tersebut sejalan dengan sistem hukum kesehatan nasional yang mengedepankan inklusif, bukan eksklusif.
"Dalam negara hukum demokratis kebebasan berserikat tidak tunduk pada perintah atau keharusan dari negara tetapi berdiri atas dasar kehendak bebas. Subjek hukum norma ini juga menempatkan organisasi profesi selaras dengan sistem hukum kesehatan nasional yang bersifat inklusif dan bukan eksklusif," tuturnya.
3. Mencegah dominasi

Oleh karena itu, pemerintah meyakini pasal 311 ayat 1 UU Nomor 17/2023 dibuat untuk menghindari pendekatan yang menempatkan organisasi profesi sebagai satu-satunya wadah tunggal yang wajib diikuti dan berpotensi menimbulkan dominasi kelembagaan.
Menurut Budi, wadah tunggal ini justru menghalangi keberagaman pandangan serta meminimalisir adanya pengawasan dan keseimbangan.
"Oleh karena itu pengaturan ini dengan tepat menghindari pendekatan yang menempatkan organisasi profesi sebagai satu-satunya wadah tunggal yang wajib diikuti yang pada masa lalu berpotensi menimbulkan dominasi kelembagaan yang menghalangi keberagaman pandangan, mengabaikan ketidakpuasan anggota, tidak adanya check and balances, dan bias representasi dari setiap profesi," tutur dia.
Sebelumnya, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) yang diwakili Ketua Umum Adib Khumaidi dan Sekretaris Jenderal Ulul Albab bersama 52 perorangan lainnya yang berstatus sebagai dokter, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dosen, karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), polisi, TNI, pelajar/mahasiswa, pensiunan, serta ibu rumah tangga menjadi Pemohon pengujian materi UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Para Pemohon ini menguji materi setidaknya 24 pasal dalam UU Kesehatan yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
“Objek permohonan yang diuji dalam perkara permohonan ini ada 24 (pasal) pokok permohonan,” ujar kuasa hukum para pemohon, Muhammad Joni dalam sidang pendahuluan Perkara Nomor 182/PUU-XXII/2024 pada Selasa (31/12/2024) lalu.
Pasal yang diuji para Pemohon ke Mahkamah Konstitusi (MK) di antaranya Pasal 311 ayat (1), Pasal 268 ayat (1), Pasal 268 ayat (2), Pasal 1 Angka 25, Pasal 269, Pasal 270, Pasal 272 ayat (1), Pasal 272 ayat (3), Pasal 304 ayat (2), Pasal 306 ayat (1), Pasal 307, Pasal 310, Pasal 220 ayat (2), Pasal 258 ayat (2), Pasal 260 ayat (2), Pasal 261 huruf b, Pasal 264 ayat (1), Pasal 264 ayat (5), Pasal 273 ayat (1), Pasal 287 ayat (4), Pasal 291 ayat (2), Pasal 421 ayat (1), Pasal 442, dan Pasal 454 huruf c.
Salah satu klaster yang dipermasalahkan para pemohon ialah ketiadaan norma yang hanya menerima dan mengakui eksistensi organisasi profesi dokter dalam wadah tunggal, yakni Ikatan Dokter Indonesia untuk profesi dokter dan Persatuan Dokter Gigi untuk dokter gigi.
Menurut para Pemohon, Pasal 311 ayat (1) UU Kesehatan harus dimaknai bukan organisasi kemasyarakatan (ormas), sehingga tidak beralasan membentuk organisasi profesi secara bebas tanpa dibatasi dan dimaknai sebagai satu organisasi profesi atau wadah tunggal, yaitu Ikatan Dokter Indonesia sebagai rumah besar profesi dokter yang konstitusional. Pasal ini berbunyi, “Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dapat membentuk organisasi profesi”.
Pasal 311 ayat (1) UU Kesehatan memungkinkan adanya klaim organisasi profesi yang dibentuk sembrono dan tidak valid yang mengakibatkan timbulnya kerugian konstitusional seperti ancaman bagi mutu dan kompetensi tenaga medis, kekacauan penggunaan nomenklatur organisasi profesi, kekacauan sistem hukum dengan kepastian hukum yang adil, melemahkan negara dan pemerintah dalam memenuhi tanggung jawab konstitusional Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Selain itu, juga dinilai melemahkan kaum dokter dan dokter gigi sebagai angkatan tenaga medis yang merupakan komponen strategis bangsa dan negara.
Dalam petitumnya, para pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan kata "dapat" pada pasal 311 ayat 1 UU Kesehatan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, pemohon juga mendorong frasa “membentuk organisasi profesi” adalah tidak konstitusional.
Mereka mendorong agar Pasal 311 ayat 1 UU Kesehatan diubah sehingga menjadi: “Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan membentuk organisasi profesi untuk dokter adalah Ikatan Dokter Indonesia dan organisasi profesi untuk dokter gigi adalah Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia.”