Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-07-01 at 09.04.42.jpeg
Ilustrasi Polisi (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Intinya sih...

  • Standar ganda dalam penegakan hukum

  • ICW minta KPK usut dugaan pemerasan

  • Sanksi etik berpotensi menjadi mekanisme normalisasi korupsi

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) melaporkan 43 polisi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan pemerasan.

Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW, Wana Alamsyah menjelaskan, 43 polisi itu diduga terlibat dalam empat kasus pemerasan dalam rentang waktu 2022–2025. Mereka terdiri dari 14 orang berpangkat Bintara dan 29 orang lainnya berpangkat perwira.

“Seluruh kasus tersebut telah disidangkan di Komisi Kode Etik Profesi Polri (KKEP) dengan rincian 37 orang didemosi dan enam orang lainnya dipecat. Ironisnya, tidak ada satupun yang dikenakan tindak pidana pemerasan,” ujar Wana di KPK, Selasa (23/12/2025).

1. Standar ganda dalam penegakan hukum

Ilustrasi Polisi (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Wana menjelaskan, penghentian penanganan perkara pada sanksi etik menunjukkan absennya akuntabilitas pidana. Selain itu, hal ini dinilai menciptakan standar ganda dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi yang terduga pelakunya berasal dari institusi penegak hukum.

Secara yuridis kata dia, perbuatan pemerasan oleh polisi memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, terkait penyalahgunaan kekuasaan untuk memaksa seseorang memberikan sesuatu atau melakukan pembayaran merupakan kejahatan korupsi.

“Dengan demikian, tidak terdapat dasar hukum apa pun untuk membatasi pertanggungjawaban pelaku hanya pada ranah etik internal institusi,” ujarnya.

2. ICW minta KPK usut dugaan pemerasan

Ilustrasi Polisi (IDN Times/Ilman Nafi'an)

KPK kata Wana, seharusnya bertindak aktif untuk mengusut APH yang melakukan Tipikor. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1)  huruf a Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, secara tegas memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum.

Oleh karena itu menurutnya, pembiaran terhadap perkara pemerasan oleh anggota kepolisian merupakan bentuk pengingkaran mandat hukum yang secara langsung melekat pada KPK.

“Hingga saat ini, meskipun perbuatan korupsi tersebut telah terbukti secara hukum melalui mekanisme etik, KPK belum menunjukkan political will untuk menindaklanjuti perkara-perkara tersebut ke ranah pidana,” ujarnya.

3. Sanksi etik berpotensi menjadi mekanisme normalisasi korupsi

ilustrasi Polisi (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Wana menilai, sikap pasif ini memperkuat impunitas struktural dan menegaskan adanya perlakuan pilih kasih dalam penegakan hukum, di mana aparat kepolisian seolah berada dalam posisi kebal hukum dibandingkan warga sipil yang dengan mudah diproses dan dipidana atas perbuatan serupa.

Kondisi tersebut semakin problematis ketika aparat kepolisian yang terbukti melakukan pemerasan tidak hanya luput dari jerat pidana, tetapi justru memperoleh perlindungan institusional, bahkan promosi jabatan.

“Salah satu contohnya adalah RI, yang setelah terlibat dalam perkara pemerasan, justru mendapat promosi. Praktik ini menunjukkan bahwa sanksi etik tidak hanya gagal memberikan efek jera, tetapi juga berpotensi menjadi mekanisme normalisasi korupsi di tubuh aparat penegak hukum,” tutur Wana.

ICW menegaskan  mengadili aparat kepolisian yang terlibat korupsi bukanlah bentuk konflik antar institusi melainkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) KPK dalam melaksanakan mandat undang-undang. KPK tidak memiliki alasan hukum maupun moral untuk menghindari penindakan terhadap aparat penegak hukum yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

“Dengan demikian, kegagalan KPK menindaklanjuti perkara pemerasan oleh aparat kepolisian bukan hanya persoalan teknis, melainkan bentuk pengabaian mandat hukum,” lanjutnya.

Editorial Team