Kemen PPPA: Kawin Tangkap di Sumba Tengah Bentuk Kekerasan Seksual

Jakarta, IDN Times - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. Salah satunya adalah praktik kawin tangkap yang mengatasnamakan budaya.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Ratna Susianawati, mengapresiasi peluncuran Kesepakatan Bersama Tokoh Adat Sumba Tengah untuk Menghentikan Praktik Budaya Kawin Tangkap.
“Kemen PPPA menyampaikan apresiasi atas komitmen Sumba Tengah dalam menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, khususnya kawin tangkap,” kata Ratna dalam keterangannya, Senin (13/5/2024).
"Kesepakatan ini menjadi bukti keseriusan seluruh pihak mulai dari pemerintah daerah, lembaga masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan masyarakat dalam menyudahi perkawinan paksa yang mengatasnamakan budaya," sambungnya.
1. Kawin paksa adalah tindak pindana kekerasan seksual

Ratna menyampaikan, upaya Kemen PPPA melindungi perempuan dan anak dari kekerasan, adalah dengan disahkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022, tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Dalam Undang-Undang ini tertuang bahwa perkawinan paksa merupakan salah satu bentuk tindak pidana kekerasan seksual.
“Kesepakatan bersama ini merupakan tindak lanjut yang positif dari penandatanganan MoU pada 2020 antara empat bupati di Provinsi Sumba, yang turut dihadiri oleh Menteri PPPA. Hal ini harus kita kawal bersama agar seluruh pihak bisa terlibat dalam mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan, terutama praktik kawin tangkap yang masih marak,” kata Ratna.
2. Dorongan pembentukan UPTD PPA

Ratna juga mendorong dibentuknya Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak (UPTD PPA) di tingkat provinsi dan kabupaten, sesuai dengan mandat UU TPKS.
Dengan dibentuknya UPTD PPA, diharapkan korban kekerasan bisa mendapatkan pelayanan yang cepat, tepat dan komprehensif sesuai dengan kebutuhannya.
3. Perkawinan yang dimulai dengan kekerasan tak akan sehat

Sementara, Ketua Komisioner Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menyampaikan perkawinan yang dimulai dengan kekerasan akan memberikan dampak tidak sehat bagi kelangsungan rumah tangga.
Oleh karena itu, upaya transformasi budaya dan transformasi pemikiran yang dilaksanakan di Sumba Tengah, patut diapresiasi dan terus didukung seluruh pihak.
“Komnas Perempuan telah melakukan analisis terkait kawin tangkap. Nantinya, melalui konsultasi bersama kami akan menerbitkan rekomendasi umum terkait cara penanganan kawin tangkap, dan pemaksaan perkawinan yang bisa menjadi rujukan bagi aparat penegak hukum (APH) dan para pendamping," kata dia.
"Harapannya, permasalahan kawin tangkap ini tidak berlanjut di masa mendatang, karena memberikan trauma spesifik kepada perempuan korban, maupun pada laki-laki yang yang turut membangun rumah tangga, serta memengaruhi kehidupan di jangka panjang,” tegas Andy.