Komnas: Dengan Putusan MK, Polisi Tak Perlu Ragu Proses Kasus Hak Asuh

- Komnas Perempuan mengapresiasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 140/PUU-XXI/2023 tentang hak pengasuhan anak pada pasangan bercerai.
- Putusan ini memberikan kejelasan tafsir pada Pasal 330 Ayat (1) KUHP, sehingga kepolisian tidak perlu lagi ragu dalam menindak kasus perampasan hak asuh anak.
Jakarta, IDN Times - Komnas Perempuan mengapresiasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 140/PUU-XXI/2023 soal hak pengasuhan anak pada pasangan bercerai. MK memutuskan bahwa frasa "barang siapa" dalam Pasal 330 Ayat (1) KUHP mencakup ayah dan ibu yang mengambil anak secara ilegal, meski bertentangan dengan penetapan pengadilan terkait hak asuh.
Selama ini hak atas pengasuhan anak membuat perempuan menjadi rentan sebagai korban penundaan keadilan atau delay in justice. Polisi dianggap ragu dalam menindaklanjuti laporan dengan alasan bahwa pelaku adalah ayah dari anak itu. Polisi juga kerap merasa kasus perampasan hak asuh anak adalah urusan domestik atau rumah tanggga.
"Akibatnya, kepolisian cenderung lambat dalam penanganan kasus," kata Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani dalam keterangannya, dikutip Rabu (2/10/2024).
1. Penyikapan segera dari DitPPA-PPO

Maka dengan adanya putusan kejelasan tafsir pada pasal 330 ayat 1 KUHP kepolisian harusnya kini tidak perlu lagi ragu dalam memproses segera kasus perampasan hak asuh anak dengan mengacu pada putusan MK tersebut.
"Penyikapan segera dari kasus serupa ini juga perlu menjadi bagian dari kerja Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak dan Pidana Perdagangan Orang (DitPPA-PPO) yang baru saja dibentuk. Pada konteks perkawinan campuran, DitPPA-PPO juga penting melakukan upaya kerja sama dan koordinasi antarnegara mengingat kemungkinan pemindahan anak terjadi hingga ke luar negara," kata dia.
2. Polisi sebelumnya ragu menindaklanjuti laporan

Putusan ini menghapuskan multitafsir yang kerap membuat kepolisian ragu menindak laporan perempuan terkait perebutan hak asuh anak oleh mantan suami.
"Sebelumnya, sebagaimana dikeluhkan pemohon, sejumlah pihak kepolisian ragu-ragu menindaklanjuti laporan dari pihak perempuan yang menghadapi perampasan hak asuh anak oleh mantan suami dengan alasan bahwa pelaku yang dilaporkan adalah ayah dari anak yang dibawa pergi itu," kata dia.
3. Data kasus kekerasan dari mantan suami terkait hak asuh anak
Komnas Perempuan mencatat, dari 2019 hingga 2023, sepertiga dari 309 kasus kekerasan oleh mantan suami terkait hak asuh anak. Dicatatkan dari 93 kasus itu terjadi 364 tindak kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami; sepertiganya atau 126 tindakan kekerasan terkait langsung perebutan pengasuhan anak. Sebanyak 44 kasus terjadi meski pengadilan telah menetapkan hak asuh kepada ibu.
Dalam rentang 2019-2023, Komnas Perempuan mencatat 222 kasus kekerasan terhadap istri (KTI) yang juga terkait dengan perebutan anak dari 3079 total kasus KTI.
4. Ada anak disembunyikan sang ayah

Komnas Perempuan menjelaskan ada kasus di mana anak diambil dengan cara paksa atau dirayu agar mau ikut ayahnya. Namun, setelah itu akses komunikasi dioutus dan tak lagi boleh bertemu dengan ibu mereka. Ada juga kasus di mana anak dilarikan atau disembunyikan hingga tak terlacak keberadaanya selama bertahun-tahun.
"Perebutan hak asuh anak juga ditemukan dalam kasus ketika proses perceraian masih berlangsung. Sejumlah suami dengan sengaja menyembunyikan atau memutus hubungan anak dengan ibunya. Tindakan ini dilakukan untuk menyandera pihak istri agar tidak jadi menggugat cerai, atau dimaksudkan untuk memberikan penderitaan kepada pihak istri yang berkepanjangan," kata Andy.