Komnas Perempuan: Pembangunan Abaikan Keselamatan Perempuan Adat

- Perempuan adat menanggung beban ganda
- Kasus konflik agraria dan tata ruang terjadi di berbagai wilayah
- Tumpang tindih regulasi memperburuk kerentanan masyarakat adat
Jakarta, IDN Times - Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menegaskan tata ruang bukan sekadar soal pembangunan infrastruktur atau zonasi wilayah, namun juga ruang kehidupan dan keselamatan bagi perempuan.
Pada peringatan Hari Tata Ruang Nasional yang jatuh setiap 8 Oktober, Komnas Perempuan mengungkapkan di Indonesia perempuan adat terus menjadi kelompok yang paling rentan dalam konflik agraria dan tata ruang.
"Mereka menghadapi perampasan wilayah adat yang selama ini menjadi bagian tak terpisahkan dari siklus kehidupan, spiritualitas, dan identitas budaya mereka," kata Komisioner Komnas Perempuan, Sundari Waris dikutip Kamis (9/10/2025).
1. Beban ganda perempuan adat
Sundari menjelaskan, saat ruang hidup dirampas, perempuan adat menanggung beban berlapis, mulai dari kehilangan sumber penghidupan, bertanggung jawab atas kebutuhan ekonomi dan pangan keluarga, serta harus menghadapi kerusakan lingkungan dan pencemaran akibat eksploitasi sumber daya alam oleh pemegang konsesi.
"Situasi ini diperparah dengan kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM dan masyarakat adat yang memperjuangkan hak atas tanah, lingkungan hidup, dan identitas budaya mereka," kata dia.
2. Berbagai kasus konflik agraria dan tata ruang
Pada 2023, Komnas Perempuan mencatat adanya sembilan kasus konflik agraria dan tata ruang, bahkan adanya kasus kriminalisasi perempuan pembela HAM di Bali oleh perusahaan.
Kemudian pada 2024 tercatat delapan kasus serupa yang dilaporkan oleh kelompok perempuan adat, tiga di antaranya terjadi di wilayah proyek strategis nasional (PSN) seperti Kepulauan Riau, dan sisanya di wilayah non-PSN seperti Bali dan Lampung.
"Temuan ini menunjukkan perlunya peninjauan ulang pendekatan pemerintah dalam penyelesaian konflik agraria dan tata ruang yang selama ini masih menempatkan masyarakat, khususnya perempuan adat, dalam posisi rentan dan termarginalkan," katanya.
3. Soroti tumpang tindih regulasi yang ada

Komnas Perempuan juga menyoroti tumpang tindih regulasi seperti UU Minerba, UU Cipta Kerja, UU Agraria, dan UU Kehutanan memperburuk kerentanan masyarakat adat melalui izin yang tidak sinkron dan ketidakpastian hukum.
"Termasuk perempuan adat yang kehilangan bukan hanya tanah, tetapi juga kedaulatan atas budaya, tubuh, identitas, dan martabatnya," kata dia.
4. Pentingnya implementasi aturan bisnis dan HAM

Maka menurut Komnas Perempuan, penting implementasi Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan HAM. Hal ini bisa jadi pedoman bagi kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan pelaku usaha dalam memastikan seluruh kegiatan ekonomi menghormati HAM.
Selain itu diharapkan tak menimbulkan kekerasan, diskriminasi, atau pelanggaran terhadap perempuan, serta mendorong penguatan pengawasan publik dan advokasi menuju tata ruang yang berkeadilan gender dan ekologis.
"Komnas Perempuan menegaskan bahwa tata ruang yang tidak adil adalah bentuk kekerasan struktural," katanya.