Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

KPK Tetapkan Walikota dan 18 Anggota DPRD Kota Malang Tersangka Kasus Suap APBD

IDN Times/Sukma Shakti
IDN Times/Sukma Shakti

Jakarta, IDN Times - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan Walikota Malang Non Aktif Mochamad Anton sebagai tersangka dalam kasus pemberian uang suap untuk memuluskan pembuatan APBD Perubahan pada tahun anggaran 2015 lalu. Bahkan, status tersangka itu juga disematkan kepada 18 anggota DPRD Kota Malang periode 2014-2019. 

Satu di antara anggota DPRD adalah Ya'qud Ananda Budban yang kini juga ikut maju dalam Pilkada 2018. Begitu pula Anton yang merupakan petahana yang kembali maju dalam pesta demokrasi pada tahun ini. 

Ini sudah menjadi kali kesekian, KPK menetapkan status tersangka kepada peserta Pilkada 2018. Lalu, apa ancaman yang membayangi kedua pejabat tinggi di Kota Malang itu? Mengingat kesempatan mereka untuk bisa berlaga Pilkada 2018 semakin tipis usai menyandang status sebagai tersangka. 

1. Anton memberikan fee kepada 18 anggota DPRD dengan total Rp 600 juta

Default Image IDN
Default Image IDN

Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan mengatakan penyidik menemukan fakta yang didukung bukti, ketika masih menjabat sebagai Wali Kota Malang, Anton memberikan fee kepada anggota DPRD periode 2014-2019 dengan total mencapai Rp 600 juta. Berdasarkan bukti yang diperoleh dari keterangan saksi, surat dan barang elektronik, fee tersebut mengalir kepada 18 anggota DPRD Kota Malang. 

"Penyidik mendapatkan fakta-fakta yang didukung alat bukti bahwa 18 tersangka berasal dari unsur pimpinan dan anggota DPRD Kota Malang periode 2014-2019 menerima fee dari Walikota Malang periode 2013 - 2018 bersama-sama tersangka JES (Jarot Edy Sulistyono) yang menjabat sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan (PUPPB) Pemkot Malang tahun 2015," ujar Basaria ketika memberikan keterangan pers di gedung KPK pada Rabu, (21/03). 

Dengan pemberian fee tersebut, maka Arief selaku Ketua DPRD menjanjikan akan membuat proses pembahasan APBD Perubahan 2015 lebih mudah dan tanpa interupsi. Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan fee tersebut diberi istilah "uang pokir" atau pokok-pokok pikiran. 

2. 18 tersangka anggota DPRD berasal dari 9 partai politik

Default Image IDN
Default Image IDN

Dari data yang disampaikan oleh lembaga anti rasuah, fee tersebut dibagi rata ke berbagai partai politik yang ada di DPRD Kota Malang. Tercatat ada kader dari 9 parpol yang menerima. Berikut nama politisi di DPRD Kota Malang yang diduga menerima fee tersebut dan dijadikan tersangka oleh KPK:

  • Suprapto, anggota DPRD Malang periode 2014-2019 (Ketua Fraksi PDI Perjuangan)
  • HM. Zainudin. Wakil Ketua DPRD Malang periode 2014-2019 (Partai Kebangkitan Bangsa)
  • Sahrawi, anggota DPRD Malang periode 2014-2019 (Partai Kebangkitan Bangsa)
  • Salamet, anggota DPRD Malang pericde 2014-2019 (Partai Demokrat)
  • Wiwik Hendri Astuti, Wakil Ketua DPRD Malang periode 2014- 2019 (Partai Demokrat)
  • Mohan Katelu, anggota DPRD Malang periode 2014-2019 (Partai Amanat Nasional)
  • Sulik Lestyowati, anggota DPRD Malang periode 2014-2019 
  • Abdul Hakim, anggota DPRD Malang periode 2014-2019 (PDI Perjuangan)
  • Bambang Sumarto, anggota DPRD Malang periode 2014-2019 (Ketua Komisi C)
  • lmam Fauzi, anggota DPRD Malang periode 2014-2019 (Ketua Komisi D)
  • Syaiful Rusdi, anggota DPRD Malang periode 2014-2019 (Partai Amanat Nasional)
  • Tri Yudiani, anggota DPRD Malang periode 2014-2019 (PDI Perjuangan)
  • Heri Pudji Utami, anggota DPRD Malang periode 2014-2019 (Partai Nasional Demokrat)
  • Hery Subianto, anggota DPRD Malang periode 2014- 2019 (Partai Demokrat)
  • Ya'qud Ananda Budban, anggota DPRD Malang periode 2014-2019 (Partai Hanura-PKS)
  • Rahayu Sugiarti, anggota DPRD Malang periode 2014-2019 (Wakil Ketua DPRD dari Partai Golkar)
  • Sukarno, anggota DPRD Malang periode 2014-2019 (Ketua Fraksi Golkar)
  • H. Abd Rachman, anggota DPRD Malang periode 2014-2019 (Partai Kebangkitan Bangsa)

Namun, Basaria mengaku tidak hafal berapa masing-masing fee yang diterima oleh anggota DPRD tersebut. Penyidik KPK telah menggeledah beberapa lokasi untuk mengumpulkan barang bukti. 

Pada Agustus 2017, penyidik KPK telah menggeledah ruang kerja Anton di Balai Kota. Sementara, pada Selasa (20/03), giliran kediaman pribadi Anton yang digeledah. Kediaman Ananda juga tak luput digeledah oleh penyidik. 

Basaria mengatakan belum dapat mengungkap hasil penggeledahan di beberapa lokasi, lantaran tim masih ada di sana. 

3. KPK tidak bermaksud menghalangi niat Anton dan Ananda untuk maju di Pilkada 2018

Default Image IDN
Default Image IDN

Basaria menepis persepsi publik yang menganggap penetapan status tersangka bagi Anton dan Ananda untuk merealisasikan janji KPK yang tengah gencar memantau para kepala daerah yang berlaga di Pilkada 2018. Apalagi sebelumnya sempat muncul pernyataan blunder Ketua KPK, Agus Rahardjo yang dimaknai lembaga anti rasuah akan menetapkan status tersangka bagi 90 persen peserta Pilkada. 

"Saya pastikan penetapan tersangka tidak ada maksud dan pikiran lain kecuali ditemukan dua alat bukti. Lagipula kan kasus ini sudah diselidiki sejak lama pada Agustus 2017. Jadi, tidak ada kepentingan dari KPK untuk menutup yang bersangkutan mengikuti yang lain seperti Pilkada," kata Komisioner Perempuan pertama di KPK itu. 

4. Terancam penjara hingga 20 tahun

Default Image IDN
Default Image IDN

Penyidik KPK menyangkakan pasal 5 ayat (1) UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi kepada Anton sebagai pemberi uang suap. Ancaman hukuman di sana mulai dari 1-5 tahun penjara. Selain itu, ada pula ancaman denda antara Rp 50 juta hingga Rp 250 juta. 

Sementara, bagi anggota DPRD yang menerima uang suap tersebut, penyidik KPK mengenakan pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 UU nomor 31 tahun 1999 tentang tindak pidana pemberantasan korupsi. Ancaman hukuman yang akan diterima antara 4-20 tahun. 

"Kasus ini menunjukkan bagaimana korupsi dilakukan secara massal dan melibatkan berbagai unsur kepala daerah dan jajaran serta anggota DPRD," kata Basaria. 

5. Ketua DPRD nonaktif mengajukan status justice collaborator

Default Image IDN
Default Image IDN

Belakangan, diketahui bahwa Ketua DPRD Non Aktif Mochamad Arief Wicaksono sudah mengajukan status justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama. Pengajuan JC, kata Basaria, merupakan hak tersangka dan akan dipertimbangkan lebih lanjut apakah nanti akan dikabulkan atau tidak. 

"Kalau nantinya status JC dikabulkan maka terdakwa (Arief) dapat dituntut dan divonis lebih rendah. Saat berada di lembaga pemasyarakatan, ia juga berhak mendapat pemotongan masa hukuman hingga pembebasan bersyarat," tutur Basaria. 

Tapi, sebelum status JC dikabulkan, Arief harus mengakui perbuatannya terlebih dahulu dan membantu penyidik untuk membongkar pihak lain yang memiliki peranan lebih besar dalam kasus pemberian uang suap APBD ini. 

 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us