MPR Minta KY Periksa Hakim PN Jakpus yang Minta KPU Tunda Pemilu
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua MPR RI RI Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid atau HNW mempertanyakan hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang mengabulkan untuk seluruhnya gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima).
HNW mempertanyakan putusan hakim tersebut yang memerintahkan KPU untuk menunda tahapan Pemilu 2024, dan dimulai kembali 2025. Dia meminta Komisi Yudisial (KY) untuk memeriksa hakim yang memutus perkara tersebut.
"Saya mempertanyakan kompetensi hakim yang memutus perkara tersebut. Wajarnya Komisi Yudisial memeriksa hakim yang memerintahkan penundaan pemilu itu,” kata HNW dalam keterangan tertulis, Jumat (3/3/2023).
Baca Juga: Partai Prima Buka Suara soal Alasan Tahapan Pemilu 2024 Diulang
1. HNW tegaskan ketentuan pemilu lima tahun sekali
HNW menjelaskan dalam UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan lima tahun sekali. Hal itu tertuang dalam Pasal 22E ayat (1) UU Pemilu. Maka itu, putusan PN Jakpus yang meminta penundaan pemilu sebenarnya tidak sesuai dengan ketentuan konstitusi.
“Itu jelas melanggar ketentuan UUD bahwa Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Dengan amar putusan PN itu, Pemilu tidak bisa diselenggarakan lima tahun sekali, karena Pemilu terakhir dilaksanakan pada 2019, maka menjadi harga mati bahwa pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 2024, bukan 2025 sebagaimana amar putusan PN itu,” kata HNW.
Baca Juga: Demokrat soal Putusan PN Jakpus: Ada Upaya Terorganisir Tunda Pemilu
2. Penundaan pemilu akan menimbulkan pelanggaran lainnya
HNW juga menilai penundaan pemilu seperti putusan PN Jakpus akan menimbulkan pelanggaran ketentuan konstitusi lainnya terkait masa jabatan presiden.
“Sehingga kalau pemilu ditunda hingga Juli 2025, akan terjadi kekuasaan eksekutif (presiden dan para menteri) dan legislatif yang tidak memiliki basis legitimasi konstitusional,” ujarnya.
3. Putusan PN Jakpus langgar konstitusi
Sementara, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menjelaskan, gugatan Prima yang juga dikabulkan PN Jakpus, yakni ganti rugi imaterial yakni dengan penundaan pemilu sejatinya tak bisa dikabulkan.
Hal ini dikarenakan dalam perkara perdata, dampak hukum seharusnya hanya bisa dirasakan kedua pihak, yakni tergugat dan penggugat, bukan dirasakan masyarakat secara umum.
"Satu lagi yang diminta oleh Partai Prima adalah ganti rugi imaterial dengan menunda pemilu. Padahal dalam perkara perdata dampak hukumnya hanya bisa dirasakan oleh dua pihak yakni tergugat dan penggugat bukan untuk umum. Jadi ini alasan kenapa putusan ini keliru," tuturnya.