Menteri PPPA: Kasus Perundungan di SMP Muratara Tak Bisa Ditoleransi

- Menteri PPPA menegaskan perundungan di SMP Muratara tak bisa ditoleransi
- Korban mendapatkan pendampingan pemulihan trauma, pelaku menjalani proses hukum
- Pemerintah meminta pendampingan berkelanjutan bagi korban dan pendekatan restoratif lewat diversi
Jakarta, IDN Times - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi mengungkapkan aksi perundungan yang dilakukan siswi sekolah menengah pertama negeri (SMPN) di Karang Jaya, Muratara, Sumatra Selatan (Sumsel) merupakan peringatan serius bagi sekolah. Perundungan dengan kekerasan fisik, kata Arifah, tak bisa ditolerir.
Dalam video berdurasi tiga menit tersebut, seorang siswa tampak beberapa kali memukul dan menjambak kepala korban. Perundungan terjadi akibat salah mengirim stiker di aplikasi WhatsApp.
"Sangat disayangkan kasus perundungan masih terus marak terjadi. Kejadian perundungan tidak dapat ditoleransi. Dalam kasus ini, kami beserta dinas pengampu isu perempuan dan anak di Musi Rawas Utara telah bertindak cepat untuk memastikan penanganan korban dan pencegahan kejadian serupa," kata dia, dalam keterangan resmi, Selasa (21/10/2025).
2. Saat ini prosesnya tengah berada pada tahap penyidikan

Dia mengatakan KemenPPPA telah berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Sumatera Selatan dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Desa, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PMDP3A) setempat.
"Saat ini, anak korban telah mendapatkan pendampingan terkait pemulihan trauma, sementara terduga pelaku anak sedang menjalani proses hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai peraturan perundangan yang berlaku dengan tetap memperhatikan kepentingan terbaik anak,” katanya.
3. Koordinasi memastikan pendampingan berkelanjutan bagi korban

Korban telah melaporkan kasus tersebut dan saat ini prosesnya tengah berada pada tahap penyidikan. Upaya mediasi dan diversi yang difasilitasi Kepolisian Resor Muratara telah berjalan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Arifah meminta Dinas PMDP3A, Dinas Pendidikan, dan pihak sekolah untuk memastikan pendampingan berkelanjutan bagi korban, sekaligus melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap anak pelaku selama proses penyelesaian kasus berlangsung.
Dia mengatakan, pendekatan restoratif lewat diversi jadi langkah tepat untuk kasus-kasus anak dengan ancaman pidana di bawah tujuh tahun.
"Tujuannya bukan hanya menghentikan konflik, tetapi memulihkan keadaan dan memastikan anak tidak mengulangi perbuatannya. Kami mendorong penerapan disiplin positif oleh sekolah dan orang tua sebagai bagian dari proses pendidikan,” kata dia.