Menteri PPPA Sebut Kampus Wajib Aktif Cegah Kekerasan Seksual

Jakarta, IDN Times - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, mengungkapkan seluruh civitas akademik di Perguruan Tinggi harus aktif bangun kesadaran pada pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Sebab, dari data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024, satu dari empat perempuan usia 15-64 tahun pernah alami kekerasan fisik dan atau seksual. Sementara itu, data SIMFONI-PPA ada lebih dari 12.000 kasus kekerasan pada perempuan pada 2024.
"Fakta ini menunjukkan bahwa kita masih menghadapi fenomena gunung es dalam penanganan kekerasan seksual. Banyak korban masih enggan melapor karena stigma, tekanan sosial, dan minimnya akses terhadap layanan,” kata Arifah, dikutip pada Senin (26/5/2025).
1. Kampus jadi tempat pelopor budaya bebas kekerasan

Salah satu langkah yang bisa dilakukan kampus adalah dengan pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Universitas Hasanuddin yang juga memiliki Satgas PPKS, disebut Arifah, jadi contoh adanya komitmen kampus dalam melindungi civitas akademika dan mendorong budaya anti kekerasan.
Dia berharap agar kampus tidak hanya menjadi tempat transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi pelopor budaya bebas kekerasan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan.
2. Mahasiswa diharapkan aktif lakukan pencegahan tindak kekerasan

Arifah menekankan pentingnya peran mahasiswa sebagai pelindung pertama dalam pencegahan kekerasan seksual. Mahasiswa diharapkan aktif melakukan pencegahan tindakan kekerasan khusunya di lingkungan kampus.Tindakan membantu, mendampingi, dan berani bersuara merupakan bentuk penyelamatan nyata bagi korban.
Dia juga memperkenalkan Ruang Bersama Indonesia (RBI) sebagai inisiatif strategis Kemen PPPA dalam menangani korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
3. Dorong program perguruan tinggi responsif gender

Arifah mengajak seluruh perguruan tinggi untuk berperan aktif dalam transformasi sosial melalui penguatan program perguruan tinggi responsif gender. Program ini menempatkan prinsip kesetaraan gender dan zero tolerance terhadap kekerasan sebagai landasan utama.
“Lingkungan kampus harus menjadi ruang aman bagi seluruh civitas akademika. Kita harus memastikan tersedianya kebijakan, standar operasional prosedur (SOP), layanan pengaduan yang mudah diakses, dan pendampingan yang komprehensif bagi korban. Di sisi lain, penegakan hukum terhadap pelaku harus dilakukan secara tegas dan transparan,” kata dia.