Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Nestapa Korban Gagal Ginjal Akut, Harapan Itu Hilang oleh Obat Racun

Anak korban gagal ginjal akut saat menerima santunan di Kemenko PMK, Rabu (10/1/2024). (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Jakarta, IDN Times - Hujan deras yang mengguyur langit Jakarta seolah merasakan kepedihan yang dialami Resti Safitri. Perempuan berusia 28 tahun ini menunduk memandangi anak pertamanya yang terbaring di kereta bayi warna biru. Kedua bola mata mulai berkaca-kaca hingga akhirnya tak kuasa menitikkan air matanya. 

“Dia anak pertama, harapanku tinggi banget, cita-cita dia, saya enggak tahu apakah dia bisa wujudkan cita-citanya dengan kondisinya seperti ini,” ujar Resti dengan suara tercekat di Gedung Kemenko PMK pada IDN Times kemarin, Rabu (10/1/2024).

Revan Aji Pratama, balita berusia 2,5 tahun ini divonis buta hingga menderita cerebral palsy setelah menjadi korban obat sirop racun yang mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) pada 2022 lalu. Menurutnya, sirop tersebut bukan obat tetapi racun yang meredupkan cahaya anaknya. 

Ya, meski Revan lolos dari maut setelah terbaring 2,5 bulan di rumah sakit, kini bocah kecil itu dirundung penyakit. Revan tidak bisa makan normal sehingga membutuhkan bantuan selang nasogastrik, penglihatan bahkan pendengarannya pun juga kabur.

Miris, melihat kondisi anak sekecil itu hidup dengan selang yang menusuk dalam hidung. Revan menangis. Tangisannya terdengar seperti rintihan kesakitan, menyayat hati. Saat, anak seusianya berlari, Revan masih terbaring di kereta dorong.

“Dulu Revan anaknya aktif, bahkan saat itu dia usia 9 bulan baru mau jalan, tetapi harapan itu hilang,” ucap Resti.

1. Dokter meresepkan obat sirop

ilustrasi obat sirup anak (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Resti menceritakan petaka tersebut bermula saat Revan mengalami demam tinggi pada awal Mei 2022. Dia membawa buah hatinya yang saat itu berusia 9 bulan ke RSUD di Bekasi. Saat itu, dokter meresepkan paracetamol buatan PT Afi Farma. Demam Revan tidak kunjung membaik, sebaliknya semakin tinggi. Revan akhirnya dirawat di RSUD.

“Saat di RSUD itu tidak ada perbaikan, saya ke (pindah) RS swasta, baru satu hari, badannya membengkak, kemudian Revan dirujuk ke RSCM,” tuturnya.

2. Revan harus dirawat di ruangan PICU

Anak korban gagal ginjal akut saat menerima santunan di Kemenko PMK, Rabu (10/1/2024). (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Bak disambar petir siang hari, Resti mendengar dari dokter di RSCM  bahwa Revan harus cuci darah dan dirawat di ruang PICU selama 45 hari. Hati Resti seolah remuk melihat buah hatinya terbaring dengan ventilator.  Usai keluar dari PICU, Resti masih harus melihat Revan dirawat di RSCM selama dua bulan.

“Baru pulang semalam, balik lagi karena kondisi Revan drop, bayangkan saya tidak bertemu Revan berhari-hari,” ujarnya.

3. Suami keluar dari pekerjaan demi merawat Revan

Dokter di sebuah rumah sakit tengah merawat pasien anak gagal ginjal akut (.ANTARA FOTO/Ampelsa)

Meski sudah tidak lagi dirawat di RSCM, Revan harus rutin ke rumah sakit selama 2 sampai 3 kali seminggu. Ini sudah dijalani Resti selama 1,5 tahun ini. Bahkan, suaminya, Riang Traji harus rela melepas pekerjaan demi merawat buah hati satu-satunya.

“Suami saya harus keluar kerja karena siapa yang akan antar ke rumah sakit. Bahkan saya sampai numpang ke rumah orang tua saya di Kemayoran, karena bisa bolak-balik ke RSCM tiap minggunya,” katanya.

3. Tidak semua perawatan dan obat ditanggung BPJS Kesehatan

RSUP Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) (Instagram.com/rscm.official)

Bukan hanya menguras tenaga, Resti mengaku harus pontang-panting memenuhi kebutuhan Revan sebab tidak semua obat-obatan dan alat kesehatan ditanggung BPJS Kesehatan. Dalam sebulan, dia harus mengeluarkan uang Rp7 juta sampai Rp8 juta per bulan demi Revan.

“Ini harus diganti seminggu sekali (selang nasogastrik), dan tidak semua obat ditanggung seperti obat syaraf padahal itu penting, itu saja harus menunggu persetujuan dari BPJS dan direktur rumah sakit. Belum lagi akomodasi bolak-balik ke rumah sakit, saya gali lubang tutup lubang selama ini,” ungkapnya.

5. BPOM tidak pernah memberikan bantuan dan melihat kondisi Revan

Kepala BPOM Penny Lukito berikan keterangan pers disela acara peluncuran buku COVID-19 di Hotel Fairmont, Selasa (20/12/2022). (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Suara Resti meninggi tatkala IDN Times menanyakan bantuan yang diterima dari pemerintah sejak Revan divonis terkena GGPA.

“Gak ada, bantuan selama ini dari pemerintah atau dari mana pun, bahkan Kemensos yang mendata, saya sudah bilang datang ke rumah nengok, lihat kondisi anak saya, tetapi hanya data lewat RT. Pemerintah, BPOM atau Afi Farma tak pernah beri bantuan selama ini, apalagi lihat kondisi Revan,” ujarnya menangis sesenggukan.

Resti mengatakan santunan yang diberikan pemerintah sebesar Rp60 juta tersebut merupakan bantuan pertama. Dia menilai bantuan tersebut akan ludes selama 2 bulan untuk kebutuhan Revan.

6. Sebanyak 218 anak meninggal akibat obat sirop

Pemerintah memberikan santunan pada korban gagal ginjal akut di Kemenko PMK, Rabu (10/1/2024). (dok. Kemenko PMK)

Di tengah ketegaran Resti merawat dan berjuang untuk kesembuhan demi buah hatinya, terselip kekecewaan mendalam atas putusan hakim yang menjatuhkan vonis dua tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider tiga bulan kurungan kepada pejabat di produsen sirop beracun PT Afi Farma.

“Coba gantiin posisi saya mau tidak hah,” katanya.

Revan merupakan satu dari 94 korban anak yang masih dirawat sejak terpapar obat sirop dengan kandungan EG dan DEG. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan tertanggal 26 September 2023 tercatat jumlah korban GGAPA sebanyak 326 anak, baik yang telah dapat disembuhkan maupun yang telah meninggal dunia. 

Namun, setelah dilakukan verifikasi dan validasi, terdapat 312 korban yang valid, dengan rincian 218 korban meninggal dunia dan 94 korban sembuh atau rawat.

Pemerintah sudah memberian santunan diberikan sebesar Rp50 juta bagi korban gagal ginjal yang meninggal, dan Rp60 juta bagi korban yang masih membutuhkan perawatan pada Rabu (10/1/2024).

 

 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dini Suciatiningrum
Dwifantya Aquina
Dini Suciatiningrum
EditorDini Suciatiningrum
Follow Us