Pakar Hukum Sebut Setya Novanto Petarung Ulung

Laporan IDN Times, Indina Melia dan Fitang Budhi Adhitia
Jakarta, IDN Times - Sidang pembacaan dakwaan kasus dugaan korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) dengan terdakwa Ketua nonaktif DPR RI Setya Novanto (Setnov) diwarnai tiga kali skorsing.
Dua skorsing di awal disebabkan Setnov tak mampu menjawab pertanyaan Majelis Hakim. Hal tersebut dinilai sejumlah pengamat sebagai 'manuver' Setnov untuk lepas dari jeratan hukum.
"Ya itu manuver Setnov yang kesekian kalinya. Dia itu petarung ulung, terus berusaha tanpa menghiraukan etika dan rasa malu," ujar Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar ketika dihubungi IDN Times, Rabu (13/12).

Menurut Fickar, berdasarkan pasal 82 ayat 1 huruf d KUHAP, gugatan praperadilan yang diajukan Setnov otomatis gugur lantaran telah diperiksanya pokok perkara.
Sehingga sidang putusan praperadilan yang akan dibacakan Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Kamis (13/12), hanya terkait penetapan gugurnya perkara.
Sepanjang persidangan Setnov ditemani istrinya
Sementara itu, ada pemandangan yang berbeda dari pelaksanaan sidang dakwaan tersebut. Saat itu, sepanjang pelaksanaan persidangan Deisti Astriani Tagor, istri Setnov terlihat mengikuti jalannya persidangan hingga seleai.

Setnov pun terlihat menghampirinya usia sidang tersebut usai. Dengan raut muka penuh senyum, Setnov terlihat menyalami istrinya dan langsung meninggalkan ruang sidang bersama petugas dan membawanya kembali ke rutan KPK.
Sebelumnya, Setya Novanto menjalani sidang pembacaan dakwaan dalam kasus dugaan korupsi e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

Ketua nonaktif DPR RI Setya Novanto disangka melakukan penyalahgunaan wewenang dalam proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP).
Pria yang juga menjabat Ketua Umum nonaktif Partai Golkar itu diduga dengan sengaja memperkaya diri sendiri, orang lain, dan korporasi.
KPK menyebut, Novanto bersama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong mengatur proses pembahasan anggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam proyek e-KTP. Perbuatannya diduga menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 2,3 triliun.