Pemerintah Pusat-Pemda Sepakat Revisi UU Pemerintahan Aceh, Kenapa?

- DPRA usulkan kewenangan sepenuhnya dialihkan ke Pemda Aceh
- Pemerintah usulkan agar bersama-sama kelola SDA Aceh
- Undang-Undang Pemerintahan Aceh perlu direvisi karena butuh harmonisasi perundang-undangan
Jakarta, IDN Times - Pemerintah pusat dan Pemda Aceh sepakat untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang nomor 11 tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh (UUPA). Bahkan, Badan Legislasi DPR RI berjanji menuntaskan revisi UUPA pada tahun 2025.
Pembahasan mengenai poin-poin yang perlu direvisi dilakukan kembali pada Rabu kemarin. Sejumlah pejabat tinggi mulai dari Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Djamari Chaniago dan Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya ikut terlibat di dalam pembahasannya.
Dikutip dari keterangan tertulis Kemenko Polkam Jumat (21/11/2025), berdasarkan usulan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) terdapat delapan pasal perubahan dan satu pasal tambahan. Tetapi, di dalam pandangannya ada dua pasal yang memerlukan perhatian khusus dan pendalaman yakni pasal 11 dan pasal 160 UUPA.
Purnawirawan jenderal TNI AD itu mengatakan pasal 11 terkait dengan pengaturan kewenangan antara Pemda Aceh dan pemerintah pusat. Sedangkan, pasal 160 UUPA mengenai pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi di Aceh.
1. DPRA usulkan kewenangan sepenuhnya dialihkan ke Pemda Aceh

Lebih lanjut, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengusulkan agar kewenangan pengelolaan pemerintahan sepenuhnya diserahkan kepada Pemda Aceh tanpa mencantumkan peran pemerintah pusat baik dalam hal pembinaan dan pengawasan. Perubahan kewenangan itu kemudian dituangkan di dalam Qanun Aceh yang berfungsi sebagai peraturan perundang-undangan yang setara dengan peraturan daerah yang berlaku di Aceh sebagai daerah yang bersifat self-govern.
Dalam pandangan Djamari, perubahan konstruksi itu pada dasarnya memperluas regulasi dan pengawasan Pemda Aceh. "Namun, perlu dikaji bersama secara cermat agar tidak menimbulkan tumpang tindih peraturan perundang-undangan nasional," kata mantan Kepala Staf Umum di Mabes TNI itu.
Ia juga menegaskan, pengawasan tersebut tidak bersifat absolut dan tetap berada dalam kerangka sistem pemerintahan nasional yang mengedepankan prinsip checks and balances serta hierarki kewenangan.
Dengan begitu, kata Djamari, kewenangan pengawasan di Aceh harus dipahami secara sistemik dalam konteks Undang-Undang Pemerintahan Aceh, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, serta peraturan perundang-undangan sektoral.
“Artinya, tidak seluruh urusan dapat diawasi dan dikendalikan sepihak oleh Pemerintah Aceh,” kata dia.
2. Pemerintah usulkan agar bersama-sama kelola SDA Aceh

Sementara, terkait dengan usulan perubahan di pasal 160 terkait pengelolaan migas, Djamari mengatakan pemerintah pusat sudah membuat PP nomor 23 tahun 2015. Isinya memberikan ruang pengelolaan bersama antara pemerintah dan Pemda Aceh.
"PP itu secara kuat mengatur secara rinci mekanisme joint management, termasuk penetapan Badan Pelaksana Bersama serta mekanisme persetujuan kontrak kerja sama yang wajib dilakukan secara bersama," kata Djamari.
DPRA mengusulkan ruang lingkup pengelolaan migas bertambah luas hingga mencakup seluruh industri hulu dan hilir serta wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Tetapi, perluasan ruang lingkup itu, kata Djamari merupakan ranah kewenangan pemerintah pusat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan migas dan hukum kelautan yang berlaku.
"Oleh karena itu sebaiknya penyesuaian dapat ditempuh melalui optimalisasi implementasi PP nomor 23 tahun 2015," tutur dia.
3. Undang-Undang Pemerintahan Aceh perlu direvisi karena butuh harmonisasi perundang-undangan

Sementara, Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya menjelaskan ada enam alasan mengapa dibutuhkan revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Salah satunya dibutuhkan harmonisasi perundang-undangan.
"Agak banyak peraturan turunan sebagai pelaksanaan UU nomor 11 tahun 2006 dalam bentuk Qanun yang setingkat peraturan daerah. Tetapi, sering kali aturan ini tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan terkait lainnya terutama terkait hal teknis. Bisa dilihat di pasal 235 di dalam UU ini," kata Bima.
Alasan kedua, kata Bima, ia berharap lewat revisi UUPA semakin menegaskan kewenangan khusus di Aceh. Ia mencermati masih ada ego sektoral dari kementerian atau lembaga yang menyebabkan kewenangan khusus di Aceh masih belum berjalan secara efektif.
Alasan lainnya yang cukup penting yakni terkait tata kelola fiskal dan dana otonomi khusus. "Isu utama SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan) harus menjadi atensi kita, besaran alokasi yang belum tepat sasaran, mekanisme distribusi ke kabupaten-kota yang cenderung selalu berubah, akuntabilitas serta pengawasan yang perlu diperkuat," tutur dia.
Sehingga, Bima berharap di dalam UUPA dimasukan lebih detail tata kelola dana otsus Aceh agar penggunaannya lebih tepat sasaran. Aceh diketahui menerima dana otsus dari pemerintah pusa sejak 2008 lalu. Dana itu dimanfaatkan sebagai salah satu utama pembangunan infrastruktur Aceh.


















