Prabowo Tak Sebut HAM di Pidato, Bivitri: Nanti Ditanya Kasus Sendiri

Jakarta, IDN Times - Akademisi dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STIH) Jentera, Bivitri Susanti, mengaku tidak heran bila isu Hak Asasi Manusia (HAM) sama sekali tidak disebut dalam pidato kenegaraan perdana Presiden Prabowo Subianto di Gedung Parlemen, Jakarta, Jumat (15/8/2025). Sebab, bila disebut di pidatonya malah akan menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Prabowo kerap disebut sebagai salah satu pelaku tindak kejahatan HAM berat di masa lalu, termasuk penculikan aktivis pro demokrasi.
"Kalau dia bicara HAM, orang pasti akan mempertanyakan 'lho gimana dengan kasus (HAM) Anda? Bagaimana juga dengan upaya dari menteri Anda bernama Fadli Zon yang sedang berupaya mengubah sejarah dengan segala catatan pelanggaran HAM beratnya, bahkan akan memberikan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto. Daripada jadi pembicaraan masyarakat luas, lebih baik tidak ditampilkan," ujar Bivitri ketika berbicara di program 'Ngobrol Seru' by IDN Times di kantor IDN HQ, Jumat (15/8/2025).
Selain itu, tidak ada pencapaian atau data statistik di bidang HAM di era kepemimpinan Prabowo yang bisa dibanggakan. Di sisi lain, Prabowo memang bisa membanggakan capaiannya soal upaya pemberantasan korupsi. Tetapi di lain hal, Prabowo justru memberikan pengampunan bagi terdakwa kasus rasuah yakni Hasto Kristiyanto.
"Meski bisa ada klaim untuk pemberantasan korupsi atau apapun tapi di bidang HAM apa? Kan memang belum ada hal apapun yang bisa dilakukan kecuali pembicaraan Menteri HAM untuk membuat universitas HAM. Itu kan juga bahkan jadi olok-olok. Alhasil, tidak mungkin masuk ke dalam pidato kenegaraan," imbuhnya.
1. Masyarakat sipil lebih punya data soal pelanggaran HAM di era kepemimpinan Prabowo

Lebih lanjut, salah satu pemeran film dokumenter 'Dirty Vote' itu mengatakan, kelompok masyarakat sipil justru lebih memiliki banyak data mengenai korban akibat pelanggaran HAM di era kepemimpinan Prabowo. Mulai dari aksi unjuk rasa hari buruh atau May Day hingga mahasiswa memprotes revisi UU TNI.
"Statistiknya justru dari sebelah sini (kelompok masyarakat sipil), bukan dari pemerintah. Di sini kita bisa lihat dengan jelas, komitmen HAM gak akan bisa diukur dari pemerintah Prabowo. Kedua, yang unik justru yang ditampilkan statistik mengenai tentara itu," kata Bivitri.
Prabowo pada tahun ini mengembangkan 162 satuan baru di TNI. Penambahan 162 satuan baru itu termasuk enam Komando Daerah Militer (Kodam). Menurut Bivitri, adanya penambahan 162 satuan baru itu justru membuat anggaran semakin bengkak.
"Itu kan costly juga, padahal keuangan ke daerah dikurangi. Itu merupakan bagian Inpres Prabowo Nomor 1 Tahun 2025 yang memang mengurangi transfer dana ke daerah," tutur dia.
2. Pidato Prabowo cerminan dari pemimpin sosialis

Bivitri juga menyebut, pidato Prabowo mencerminkan karakter pemimpin sosialis. Ketua Umum Partai Gerindra itu membuka pidatonya dengan menyentuh isi Pasal 33 UUD 1945. Bunyinya 'bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat'.
"Kebijakannya yang konkret dalam paradigma sosialisme itu adalah penguasaan negara (terhadap kekayaan alam). Itu sempat narasi dari salah satu Menteri Agraria (Nusron Wahid), nenek moyangmu gak bikin tanah. Tanah itu punya negara. Pijakannya di situ, semua dikuasai oleh negara dulu, kemudian baru didistribusikan," katanya.
Itu sebabnya, kata Bivitri, publik perlu mencermati data-data seperti kepemilikan 3,1 juta hektare lahan sawit yang dikelola oleh BUMN Agrinas, apakah benar akan dirasakan manfaatnya oleh warga atau manfaatnya hanya dirasakan oleh sekelompok orang di BUMN itu.
3. Gaya dan isi pidato Prabowo sudah bisa ditebak

Sementara, Guru Besar Ilmu Politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Burhanuddin Muhtadi, tidak terkejut dengan gaya dan isi pidato perdana Prabowo di sidang tahunan. Pada dasarnya apa yang disampaikan oleh Prabowo merupakan copy paste dari cara pandangnya antara negara dengan publik.
Namun, yang jadi pertanyaan apakah dengan menempatkan negara sebagai ujung tombak ekonomi bisa berdampak positif atau tidak. "Kalau Pasal 33 itu diulang berkali-kali, apakah negara cukup mampu untuk menggerakan ekonomi sebesar itu. Karena kalau aparat negara tidak mampu atau diragukan integritasnya, maka yang terjadi adalah praktik korupsi di mana-mana," ujar Burhanuddin di program 'Ngobrol Seru' by IDN Times.
Ini pula yang menjelaskan mengapa Direktur BUMN Agrinas, Joao Angelo, memilih mengundurkan diri. Karena untuk menjadi mesin pendorong negara tidak mudah.
Selain itu, Burhanuddin sepakat agar publik melakukan pengecekan fakta sendiri terhadap klaim-klaim kuantitatif yang disampaikan oleh pemerintah. Terutama data-data dari Biro Pusat Statistik (BPS).
"Salah satunya adalah pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua 2025 yang mencapai 5,12 persen itu patut untuk didiskusikan bersama. Karena banyak inkonsistensi (data)," tutur dia.
Sebagai contoh, bila pertumbuhan ekonomi 5,12 persen dipicu oleh konsumsi rumah tangga, justru data di lapangan menunjukkan daya beli masyarakat melemah.