Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Saat Cinta Beda Agama Harus Mengetuk Pintu Mahkamah Konstitusi

berita_1762931512_e2e3041d3764dd945da6.jpg
Muhamad Anugrah Firmansyah, Pemohon uji materiil Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan (dok. Humas Mahkamah Konstitusi)
Intinya sih...
  • Ega permasalahkan pencatatan perkawinan antaragama
  • SEMA Nomor 2 Tahun 2023 menutup rapat pintu perjuangan menikah beda agama
  • Perkawinan antaragama sebagai realitas sosial masyarakat Indonesia
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat terasa lebih sunyi dari biasanya pada Rabu (12/11/2025) siang. Di tengah atmosfer serius dan penuh tata hukum itu, hadir sosok Generasi Milenial yang membawa beban berbeda—bukan perkara politik atau ekonomi, melainkan tentang cinta dan keyakinan.

Dialah Muhamad Anugrah Firmansyah, pria 30 tahun asal Bandung, Jawa Barat yang akrab disapa Ega. Tanpa kuasa hukum di sisinya, ia berdiri sendiri di hadapan para hakim MK, memperjuangkan sesuatu yang bagi banyak orang terdengar sederhana: hak untuk menikah dengan perempuan yang ia cintai, meski berbeda iman.

Ega, seorang muslim, pasangannya yang beragama nasrani, harus berhenti di hadapan tembok administrasi negara. Keduanya sudah menjalin asmara selama dua tahun. Sayangnya, cinta mereka terganjal aturan yang tak memberi ruang bagi pernikahan beda agama. Kini, lewat ruang sidang MK, Ega berharap negara mau mendengar suara kecil dari hati yang ingin disatukan tanpa harus menyeragamkan keyakinan.

1. Ega permasalahkan pencatatan perkawinan antaragama

Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Usai menghadiri sidang pendahuluan atas perkara nomor 212/PUU-XXIII/2025 ini, Ega menyempatkan diri untuk berbincang dengan awak media. Ia menjelaskan, fokus utama gugatan tidak berkaitan langsung terkait sah atau tidaknya pernikahan beda agama. Namun yang diperjuangkannya ialah soal proses administrasi yang berkenaan dengan pencatatan terhadap pernikahan beda agama.

“Jadi intinya, gugatan permohonan saya itu terkait dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan yang dimaknai sebagai larangan pencatatan penetapan perkawinan antaraagama,” kata Ega menjawab pertanyaan awak media dengan ramah.

"Permohonan saya bukan pada sah atau tidaknya perkawinan antaragama, tetapi penetapan pencatatan perkawinan antaragama. Itu dua hal yang berbeda antara sah dan administrasi sifatnya," sambungnya.

2. SEMA Nomor 2 Tahun 2023 menutup rapat pintu perjuangan menikah beda agama

ilustrasi pernikahan
ilustrasi pernikahan (pexels.com/Gabriel Jiménez)

Perjuangan Ega dan pasangannya untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius makin terhambat setelah munculnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023, yang pada intinya melarang pengadilan mengeluarkan pencatatan pernikahan beda agama.

MA memaknai Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan melarang perkawinan antarumat agama yang berbeda, sehingga melarang pengadilan untuk mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antaragama.

Dengan demikian, adanya SEMA 2/2023 mengakibatkan seluruh ruang hukum yang sebelumnya tersedia melalui mekanisme penetapan Pengadilan Negeri telah tertutup. Sebelum terbitnya SEMA, masih terdapat cara untuk melakukan pencatatan perkawinan antaragama melalui penetapan pengadilan. Namun, saat ini tidak ada lagi kemungkinan bagi perkawinan antaragama mencatatkan perkawinannya melalui penetapan pengadilan.

Ega menjelaskan, dampaknya jika perkawinan beda agama tetap dilakukan tanpa pencatatan administrasi dari negara, hal itu mengakibatkan pada tidak adanya kepastian terhadap hak dan kewajiban suami-istri, hak anak, hak keluarga, hak waris, dan berbagai hak lainnya.

“Jika perkawinan kita dicatat, di situ timbul hak dan kewajiban seperti nafkah. Tapi jika tidak tercatat, tidak ada dasar hukumnya seolah-olah perkawinan itu tidak ada, seperti kawin siri misalkan,” ujar dia.

3. Perkawinan antaragama sebagai realitas sosial masyarakat Indonesia

Ilustrasi pernikahan (unsplash.com/Jeremy Wong Weddings)
Ilustrasi pernikahan (unsplash.com/Jeremy Wong Weddings)

Ega pun melampirkan uji materiil dengan data Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) mencatat sebanyak 1.655 pasangan yang melangsungkan perkawinan beda agama dalam periode 2005 hingga Juli 2023, dengan tren yang terus meningkat setiap tahunnya.

Perkawinan antaragama dinilai sebagai realitas sosial masyarakat. Ega mengatakan, Indonesia sebagai negara majemuk bukan hanya sekadar realitas sosiologis, tetapi juga merupakan bagian dari identitas konstitusional bangsa.

Ia menegaskan, dalam konteks kehidupan bernegara, hukum tidak boleh dipisahkan dari realitas kemajemukan tersebut. Melainkan harus hadir sebagai sarana yang mengintegrasikan perbedaan, menjaga ketertiban sosial, dan melindungi seluruh warga negara secara setara tanpa membedakan latar belakang bahasa, suku, agama, ataupun kepercayaannya.

Tindakan penyelenggara negara disebut harus didasarkan pada hukum dan menjamin keadilan serta kepastian hukum bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali. Terlebih Indonesia adalah negara hukum.

Ega tak memungkiri, perkawinan antara pasangan dengan agama yang sama sering dianggap sebagai perkawinan yang ideal. Namun menurutnya, cinta tidak pernah bisa direncanakan.

Tidak semua orang menemukan pasangan dengan agama yang sama. Seringkali interaksi sosial antar warga negara melampaui sekat-sekat agama, suku, maupun budaya. Sementara di kehidupan yang hanya dijalani sekali ini, setiap orang berharap untuk dapat melangsungkan perkawinan dengan pasangan pilihannya.

Ia beranggapan, menutup mata terhadap realitas sosial kemajemukan masyarakat Indonesia akan melahirkan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum. Sementara mengakuinya secara konstitusional justru akan menjadikan hukum lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat Indonesia yang majemuk.

“Oleh karena itu, perkawinan antaragama itu sebenarnya realitas sosial masyarakat Indonesia, dan hal tersebut tidak bisa diabaikan,” ucap dia.

Adapun dalam petitum permohonan, Ega meminta agar MK menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya.

MK juga diminta menyatakan Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan a quo tidak dijadikan dasar hukum oleh pengadilan untuk menolak permohonan penetapan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan.

"Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat dan menganggap Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat, mohon agar Majelis Hakim Konstitusi dapat memberikan tafsir konstitusional dengan menyatakan konstitusional bersyarat (conditionally consitutional) dimaknai bahwa ketentuan a quo tidak dijadikan dasar hukum oleh pengadilan untuk menolak permohonan penetapan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan," bunyi petitum tersebut.

Sebenarnya, MK pernah menguji pasal serupa dalam perkara nomor 68/PUU-XII/2014 dan 24/PUU-XX/2022. Namun MK dalam amar putusannya menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Jujuk Ernawati
EditorJujuk Ernawati
Follow Us

Latest in News

See More

Dikawal Simpatisan, Roy Suryo Cs Penuhi Panggilan Polda Metro

13 Nov 2025, 11:49 WIBNews