Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sejarah Halalbihalal, Alat Politik Sukarno untuk Menyatukan Bangsa

Ilustrasi halalbihalal (pexels.com/PNW  Production)
Ilustrasi halalbihalal (pexels.com/PNW Production)
Intinya sih...
  • Halalbihalal menjadi budaya Indonesia, terutama umat muslim
  • Tradisi ini bermula dari kepentingan politik Sukarno untuk mencegah perpecahan bangsa
  • Pertama kali digagas oleh KH Abdul Wahab Chasbullah pada 1948 sebagai upaya mengatasi situasi tidak kondusif di Indonesia.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Halalbihalal hampir menjadi kegiatan wajib masyarakat Indonesia, khususnya umat muslim, yang dilakukan pada bulan Syawal. Istilah itu sendiri merujuk pada kegiatan masyarakat saling bermaaf maafan.

Bentuknya cenderung berbeda di setiap daerah. Ada warga yang singgah dari satu rumah ke rumah lainnya, dan ada pula yang dikumpulkan di satu tempat, biasanya disebut open house.

Bertolak dari sejarah, sebenarnya halalbihalal adalah bentuk kepentingan politik Sukarno untuk mencegah perpecahan bangsa. Seiring berjalannya waktu, halalbihalal telah menjadi budaya khas Indonesia. Kini, halalbihalal dilakukan setiap elemen masyarakat tanpa mengenal strata sosial, suku, ras, dan agama.

Lantas, bagaimana sesungguhnya gagasan halalbihalal pertama kali muncul di Indonesia? Kemudian, bagaimana halalbihalal yang berawal dari kepentingan elite politik menjadi tradisi unik bangsa Indonesia?

1. Halalbihalal pertama kali digagas KH Wahab Chasbullah

ANTARA FOTO/Septianda Perdana
ANTARA FOTO/Septianda Perdana

Dilansir dari www.nu.or.id, istilah halalbihalal pertama kali digagas KH Abdul Wahab Chasbullah. Sekitar 1948, disintegrasi bangsa menjadi ancaman terbesar Indonesia. Elite politik saling bertengkar, pemberontakan menjamur di banyak daerah, hingga ancaman ideologi komunis.

Lebih buruknya, para pemangku kekuasaa yang memiliki beda pandangan enggan duduk bersama di satu forum diskusi.

Pada 1948, bertepatan dengan Ramadan, bapak proklamator bangsa itu memanggil Kiai Wahab ke Istana. Sang pemuka agama dimintai pendapat soal cara yang efektif untuk mengatasi situasi bangsa yang tidak kondusif.

Alhasil, ulama kelahiran Jawa Timur itu menyarankan Bung Karno menggelar silaturahmi. Mendengar saran tersebut, Sukarno menjawab "Silaturahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain."

Mendengar jawaban Sukarno, Kiai Wahab membalas, "Begini, para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahmi nanti kita pakai istilah halalbihalal."

Setelah mendengar saran tersebut, bersamaan dengan merayakan Idul Fitri, Bung Karno menggelar halalbihalal untuk mengkumpulkan seluruh elite politik. Dan benar saja, setelah berkumpulnya seluruh pemangku kebijakan, babak baru integrasi bangsa dimulai.

2. Sukarno di jajaran elite negara, Kiai Wahab di masyarakat

ANTARA FOTO/Yusran Uccang
ANTARA FOTO/Yusran Uccang

Selepas itu, berbagai instansi pemerintahan yang notabennya diisi pendukung Sukarno turut melakukan hal yang sama. Halalbihalal mulai menjadi tradisi bagi pemerintah. Peran Kiai Wahab tidak berhenti sampai di situ. Halalbihalal juga ia terapkan di kalangan masyarakat. Masyarakat muslim di pulau Jawa turut meniru hal yang dilakukan ulama-ulamanya.

Dengan kata lain, peran Bung Karno dan Kiai Wahab dalam menyelanggarakan halalbihalal berhasil menyentuh seluruh elemen masyarakat. Sehingga, dampaknya yang dirasa positif menjadikan halalbihalal sebagai tradisi bangsa Indonesia yang dilakukan bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri hingga saat ini.

3. Argumentasi Kiai Wahab untuk meyakinkan Sukarno

ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

Kegiatan halalbihalal secara substansinya telah ada sejak zaman Pangeran Sambernyawa pada abad ke-18. Kala itu, halalbihalal masih dikenal dengan istlah sungkeman. Sebab, pada masa itu, Idul Fitri dirayakan dengan pertemuan antar prajurit dengan raja di balai istana.

Setiap prajurit secara tertib melakukan sungkem atau meminta dukungan dari para raja dan permaisuri. Tradisi yang dilakukan Pangeran Sambernyawa menggambarkan esensi halalbihalal sudah ada jauh sebelum masa Sukarno.

Ada dua argumentasi yang digunakan Kiai Wahab untuk memperkenalkan istilah halalbihalal kepada Sukarno. Pertama, ia meyakini mencari penyelesaian masalah harus diawali dengan cara mengampuni kesalahan atau dalam bahasa Arab thalabu halal bi thariqin halal.

Kedua, Kiai Wahab meyakinkan Bung Karno bahwa pembebasan kesalahan harus dibalas cara saling memaafkan atau dalam bahasa Arab halal yujza'u" bi hall.

Meski hukum halalbihalal masih diperdebatkan di kalangan ulama karena tidak dilakukan Nabi Muhammad semasa hidupnya (bid'ah). Halalbihalal dianggap sebagai momentum yang baik agar setiap muslim saling memaafkan. So, tradisi kampung halaman kamu ada halalbihalal gak guys?

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
Sugeng Wahyudi
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us