Koalisi Sipil Gelar Audiensi ke MK soal KPU Tak Patuhi Putusan di PKPU

MK diminta beri peringatan ke KPU

Jakarta, IDN Times - Sejumlah lembaga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih menggelar audiensi dengan Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam pertemuan itu, mereka membahas soal Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU)
Nomor 10 Tahun 2023 dan PKPU Nomor 11 Tahun 2023 yang substansinya dinilai bertolak belakang dengan putusan MK.

Baca Juga: ICW Soroti Pasal Selundupan di Peraturan KPU, Soal Caleg Eks Koruptor

1. Koalisi masyarakat sipil diterima langsung Sekjen MK

Koalisi Sipil Gelar Audiensi ke MK soal KPU Tak Patuhi Putusan di PKPUGedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jakarta Pusat (dok. MK)

Perwakilan koalisi sekaligus Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil mengatakan, aturan yang dianggap bermasalah itu adalah Pasal 11 Ayat 6 PKPU 10/2023 dan Pasal 18 Ayat 2 PKPU 11/2023 yang menyatakan ketentuan masa tunggu 5 tahun tak berlaku bagi mantan narapidana yang mendapatkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik.

"Kami beraudiensi dengan MK dan diterima oleh Sekjen MK terkait dengan berubahnya makna putusan MK oleh KPU terkait mantan terpidana yang boleh mencalonkan diri sebagai anggota legislatif," kata dia saat ditemui di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (29/5/2023).

Baca Juga: KPU: Sumbangan Dana Kampanye Pemilu Wajib Dicatat, Termasuk Elektronik

2. KPU dinilai membangkang Putusan MK

Koalisi Sipil Gelar Audiensi ke MK soal KPU Tak Patuhi Putusan di PKPUKantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Menteng, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Menurut Fadli, PKPU yang bertentangan dengan putusan MK merupakan bentuk pembangkangan.

Pihaknya menyebut, apa yang diatur dalam PKPU sama sekali tidak ada dalam Putusan MK, yaitu memberikan kehilangan syarat masa jeda hanya karena mantan terpidana itu mendapatkan sanksi tambahan berupa pencabutan hak politik.

"Itu sama sekali tidak ada dalam putusan MK dan karena ada Peraturan KPU itu untuk beberapa orang yang berstatus mantan terpidana, belum selesai masa jedanya 5 tahun sekarang sudah bisa mencalonkan diri sebagai caleg," tutur dia.

Baca Juga: KPU Gelar Uji Publik, Bahas Dana Kampanye Pemilu hingga Logistik

3. Koalisi Masyarakat minta agar MK beri peringatan kepada KPU

Koalisi Sipil Gelar Audiensi ke MK soal KPU Tak Patuhi Putusan di PKPUKantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Oleh sebab itu, pihaknya mendorong agar MK memberikan peringatan kepada KPU karena dinilai tak menaati Putusan MK.

Terlebih produk hukum yang dikeluarkan itu berpotensi menimbulkan masalah besar dan meningkatkan intensitas politik jelang Pemilu 2024.

"Kami meminta ke MK untuk memberikan peringatan kepada KPU karena tindakan melawan putusan MK itu adalah pelanggaran serius secara konstitusional. Akibatnya akan luar biasa besar, hasil pemilu akan bermasalah," imbuh dia.

Sebelumnya, Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari, membantah tudingan KPU menyelundupkan pasal yang bertentangan dengan Putusan MK di PKPU.

"KPU tidak menyelundupkan pasal, namun melaksanakan putusan MK," kata dia dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Sabtu (27/5/2023).

"Sehubungan dengan tuduhan sejumlah pihak terhadap KPU dianggap menyelundupkan pasal dalam PKPU Pencalonan dan Juknis Pencalonan, penting untuk dijelaskan sebagai berikut: Pertama, bahwa telah terbit Putusan MK 87/PUU/-XX/2022," sambung Hasyim.

Hasyim menegaskan, KPU justru membuat PKPU dengan merujuk ke Putusan MK sebagai sumber hukum.

Dia menjelaskan, sebelum membuat PKPU, pihaknya telah menempuh prosedur uji publik, konsultasi kepada pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR dan Pemerintah dalam forum Rapat Dengar Pendapat (RDP), serta harmonisasi dengan Kementerian hukum dan HAM.

Hasyim lantas menuturkan, Putusan MK Nomor 87/PUU/-XX/2022 menyatakan perkara uji materi Pasal 240 Ayat (1) huruf g UU Pemilu. MK menyatakan norma pasal itu bertentangan dengan UUD 1945.

Hasyim kemudian memberikan simulasi. Misalnya, mantan terpidana korupsi yang diputus pidana dengan ancaman 5 tahun atau lebih dan pidana tambahan pencabutan hak politik 3 tahun tetapi yang bersangkutan bebas murni (berstatus mantan terpidana) pada 1 Januari 2020.

Jika mendasarkan pada amar putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022, maka jeda waktu untuk dapat dipilih harus melewati 5 tahun sehingga jatuh pada 1 Januari 2025.

Namun oleh hakim pengadilan di lingkungan Mahkamah Agung dengan putusan pidana tambahan pencabutan hak politik selama 3 tahun, maka yang bersangkutan sejak bebas murni pada 1 Januari 2020 memiliki hak untuk dipilih pada 1 Januari 2023 sehingga ketentuan jeda waktu sesuai amar putusan MK tidak berlaku pada situasi ini.

 

Baca berita terbaru terkait Pemilu 2024, Pilpres 2024, Pilkada 2024, Pileg 2024 di Gen Z Memilih IDN Times. Jangan lupa sampaikan pertanyaanmu di kanal Tanya Jawab, ada hadiah uang tunai tiap bulan untuk 10 pemenang.

Baca Juga: Koalisi Sipil Nilai KPU Langgar Kewajiban Hukum dan Sumpah Jabatan

Topik:

  • Deti Mega Purnamasari

Berita Terkini Lainnya