Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa AS Khawatir dengan Kehadiran China di Bulan?

ilustrasi ilmuwan NASA (pexels.com/Pixabay)
ilustrasi ilmuwan NASA (pexels.com/Pixabay)
Intinya sih...
  • China tancap gas dalam teknologi luar angkasa, membuat AS cemas akan kehilangan dominasi di bulan.
  • Program Artemis AS tersandung masalah anggaran dan teknologi, sementara China terus maju dengan strategi terpadu.
  • Ancaman China menetapkan aturan di bulan dan orbit rendah Bumi, mengancam posisi strategis dan diplomasi luar angkasa AS.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Perlombaan ke bulan kembali memanas, kali ini bukan lagi sekadar soal sains, tapi juga perebutan pengaruh global. Amerika Serikat (AS) melihat langkah ambisius China dalam eksplorasi luar angkasa sebagai ancaman nyata yang bisa menggeser dominasi mereka. Banyak perkembangan terbaru menunjukkan bahwa China bergerak cepat dan konsisten menuju target besar mereka.

Bagi AS, isu ini tidak hanya tentang gengsi, melainkan juga kepentingan strategis jangka panjang. Mulai dari teknologi, politik, hingga aliansi internasional, posisi mereka bisa terancam jika China lebih dulu menginjakkan kaki di bulan. Berikut lima alasan utama mengapa Washington semakin was-was menghadapi pesaing barunya.

1. China tancap gas dalam teknologi luar angkasa

China telah membuat langkah besar dalam teknologi luar angkasa yang membuat AS cemas. Salah satu yang menonjol adalah uji coba lepas landas dan pendaratan pendarat bulan Lanyue di provinsi Hebei, menggunakan simulasi gravitasi dan permukaan bulan. Selain itu, roket Long March-10 dengan tujuh mesin YF-100K sukses menjalani uji statis pertama di Wenchang, Hainan, dilansir dari CNBC Internasional.

Tidak berhenti di situ, China juga meluncurkan berbagai misi penting seperti pesawat luar angkasa Mengzhou pada Juni lalu dan kargo Tianzhou-9 ke stasiun luar angkasa Tiangong. Keberhasilan ini memperlihatkan betapa terstrukturnya rencana China untuk mendarat di bulan sebelum 2030. Sementara AS masih menghadapi kendala teknis, Beijing justru membuktikan kemampuannya mengeksekusi jadwal proyek dengan disiplin.

Kecepatan ini membuat AS merasa semakin terdesak. Jika China lebih dulu mengirim astronot ke bulan, dominasi Amerika yang selama ini tak tergoyahkan bisa terkikis. Program Artemis pun dipaksa berpacu lebih cepat agar tidak kehilangan momentum.

2. Program Artemis tersandung masalah anggaran

ilustrasi dolar AS (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
ilustrasi dolar AS (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)

Berbeda dengan China, AS justru dihantui ketidakpastian anggaran dan penundaan misi. Program Artemis yang menjadi andalan NASA menghadapi risiko besar karena banyak target yang belum terpenuhi.

Artemis 2 dijadwalkan meluncur awal tahun depan, tetapi Artemis 3 yang seharusnya membawa manusia ke bulan pada 2027 masih belum memiliki pendarat bulan final.

Ketergantungan pada SpaceX Starship juga menambah masalah, karena teknologi ini belum terbukti dalam pengisian bahan bakar di orbit dan pendaratan tanpa awak. Di sisi lain, usulan anggaran 2026 lebih condong pada eksplorasi, sementara penelitian iklim dan pertahanan planet justru dipangkas.

Kondisi ini bisa melemahkan dukungan politik terhadap NASA dan mengganggu kelanjutan Artemis. Tanpa kepastian anggaran, para pemasok dan negara mitra bisa ragu, bahkan berpotensi beralih ke China. Itulah yang membuat posisi Amerika makin rentan dalam persaingan ke bulan.

3. Ancaman China menetapkan aturan di bulan

ilustrasi mendarat di bulan (pexels.com/Pixabay)
ilustrasi mendarat di bulan (pexels.com/Pixabay)

Kekhawatiran lain datang dari potensi China menentukan aturan main di bulan. Mike Gold dari Redwire menilai, negara yang lebih dulu membangun kehadiran di sana bisa mengatur eksplorasi, sumber daya, hingga kemitraan internasional. Jika itu terjadi, kebijakan global di Bumi juga bisa terdampak, dilansir dari Space.

Eks Wakil Komandan Komando Ruang Angkasa AS, Lt. Gen. John Shaw menambahkan, Partai Komunis China punya strategi terpadu untuk sistem Bumi-bulan. Berbeda dengan AS yang sering berganti kebijakan setiap pergantian presiden, China justru konsisten menjaga arah jangka panjang. Hal ini membuat peluang mereka mendominasi tata kelola bulan semakin besar.

China diperkirakan akan menargetkan sumber daya seperti elemen tanah jarang yang bernilai strategis bagi pengembangan teknologi. Jika mereka berhasil menguasai area tertentu di bulan, akses negara lain termasuk AS bisa dibatasi. Situasi ini jelas mengancam kepentingan ekonomi dan keamanan Washington, dilansir dari Straight Arrow News.

4. Strategi terpadu jadi senjata ampuh China

Bendera China (pexels.com/aboodi vesakaran)
Bendera China (pexels.com/aboodi vesakaran)

China unggul dalam strategi yang menyatukan semua aspek: ilmiah, komersial, hingga keamanan. Pendekatan ini memungkinkan mereka bergerak lebih cepat dan efisien menuju target, termasuk mendaratkan taikonaut sebelum 2030, dilansir dari The Guardian.

Sebaliknya, AS masih terhambat perubahan kebijakan antar administrasi. Eks Administrator NASA, Jim Bridenstine, menyoroti bahwa inkonsistensi arah telah menghambat proyek jangka panjang seperti Artemis. Kondisi ini membuat mitra internasional ragu untuk bergabung dengan program Amerika.

Di sisi lain, China berhasil memadukan pemerintah dengan sektor swasta, misalnya perusahaan Galactic Energy dan LandSpace, dalam mendukung ambisi luar angkasa. Sementara AS bergantung pada SpaceX atau Blue Origin yang masih bergulat dengan tantangan teknis. Perbedaan ini menambah tekanan bagi Washington untuk segera berbenah.

5. Kehilangan kendali di orbit rendah bumi

ilustrasi pemandangan Bumi dari luar angkasa (pexels.com/SpaceX)
ilustrasi pemandangan Bumi dari luar angkasa (pexels.com/SpaceX)

Selain bulan, orbit rendah Bumi (LEO) juga jadi titik krusial dalam persaingan. AS khawatir gagal mempertahankan dominasinya, apalagi jika jumlah astronot mereka di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) menurun dari empat menjadi hanya dua atau tiga. Mike Gold memperingatkan, bisa saja untuk pertama kalinya jumlah astronot China melampaui Amerika.

China semakin kuat dengan stasiun luar angkasa Tiangong yang didukung misi pasokan seperti Tianzhou-9. Jika ISS berhenti beroperasi pasca-2030 dan AS tidak memiliki pengganti, mitra internasional bisa berpaling ke Beijing. Hal ini tentu akan melemahkan diplomasi luar angkasa dan posisi strategis Amerika.

LEO bukan sekadar orbit, tapi fondasi untuk misi ke bulan dan Mars. Jika AS lengah di sini, China bisa meraih keunggulan besar, baik dalam teknologi maupun geopolitik. Itulah sebabnya Washington kini semakin waspada menghadapi langkah ambisius China.

Pada akhirnya, persaingan luar angkasa antara AS dan China bukan hanya soal siapa yang lebih dulu menancapkan bendera di bulan, melainkan siapa yang mampu menguasai arah teknologi, politik, dan tata kelola global di masa depan. Langkah cepat China membuat Washington harus bergerak lebih hati-hati agar tidak kehilangan pengaruh yang sudah lama mereka pegang. Perlombaan ini pun kian jelas menjadi bagian dari perebutan supremasi abad ke-21, dengan bulan sebagai panggung utama.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sonya Michaella
EditorSonya Michaella
Follow Us

Latest in News

See More

Survei: Demokrasi di Dunia Alami Kemunduran Tahun Ini

16 Sep 2025, 06:09 WIBNews