Guru Besar UI: AS Gunakan Israel Sebagai Proxy untuk Serang Iran

- Israel serang Iran untuk antisipasi senjata nuklir terus berkembang
- Donald Trump diduga ingin memberi pelajaran bagi negara-negara Timur Tengah
- Indonesia kutuk keras Israel karena lakukan serangan militer ke Iran
Jakarta, IDN Times - Guru besar hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana sejak awal meyakini serangan Israel ke ibu kota Tehran, Iran pada Jumat (13/6/2025) atas restu Amerika Serikat (AS). Apalagi terungkap pada 11 Juni 2025, Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan sudah memerintahkan personel Kedutaan AS di sejumlah negara timur tengah untuk kembali ke Washington DC.
Presiden AS, Donald J. Trump, ketika itu tak menyebut akan ada serangan Iran ke Israel pada Jumat dini hari. Ia hanya menyebut negara-negara di kawasan Timur Tengah itu berbahaya.
"Mereka dipindahkan keluar karena di negara-negara tersebut dapat menjadi sebuah tempat yang membahayakan. Kita akan lihat apa yang terjadi. Tetapi, kami sudah memberikan notifikasi agar mereka segera keluar," ujar Trump seperti dikutip dari stasiun berita CNN edisi 12 Juni 2025 lalu.
Hikmahanto menilai Negeri Paman Sam juga memiliki kepentingan untuk memusnahkan kemampuan senjata nuklir Iran. "Bila AS langsung menyerang Iran, maka tidak ada dasar (untuk melakukan serangan) di dalam hukum internasional. AS akan dituduh melanggar piagam PBB dan hukum internasional. Maka, Israel dijadikan proxy oleh AS," ujar Hikmahanto di dalam keterangan tertulis pada Sabtu (14/6/2025).
1. Israel serang Iran untuk antisipasi senjata nuklir terus berkembang

Hikmahanto juga menyebut alasan Israel melakukan serangan ke Iran pun, kata Hikmahanto, tidak sepenuhnya untuk membela diri. Dalam pandangannya, serangan itu dilakukan sebagai tindakan antisipatif atau anticipatory self defense.
"Mengingat Iran menurut Israel membangun kemampuan senjata nuklirnya untuk menyerang Israel. Maka, untuk mengantisipasi hal tersebut, Israel lebih dulu menyerang Iran," tutur dia.
Akibat serangan udara Israel mengakibatkan Panglima Korps Garda Revolusi Iran (IRGC), Mayor Jenderal Hossein Salami tewas. Selain menargetkan Salami, serangan Israel juga merenggut nyawa dua ilmuwan nuklir terkemuka Iran, Fereydoun Abbasi-Davani dan Mohammad Mehdi Tehranchi.
2. Donald Trump diduga ingin memberi pelajaran bagi negara-negara Timur Tengah

Dalam pandangan Hikmahanto, alasan lain Trump merestui serangan Israel ke Iran lantaran ingin memberikan pelajaran bagi negara-negara di Timur Tengah agar mau tunduk terhadap apapun keinginannya. Bila tidak tunduk, maka negara di kawasan Timur Tengah akan menghadapi konsekuensi seperti Iran.
Sebelum terjadi serangan militer Israel ke Iran, Negeri Paman Sam sedang melakukan negosiasi mengenai senjata nuklir dengan Iran. Semula, negosiasi putaran keenam akan digelar pada Minggu esok di Oman.
Tetapi, Iran terlihat tidak lagi ingin berdialog dengan AS usai mendapat serangan udara dari Israel. Meskipun belum ada keputusan resmi dari otoritas Iran apakah mereka akan mundur dari proses negosiasi pada Minggu esok.
"Pihak sebelah sudah bertindak sehingga dialog ini tidak lagi penting untuk dilakukan. Anda tidak mungkin mengklaim dapat bernegosiasi dan di saat yang bersamaan membagi fokusnya dengan membiarkan rezim zionis untuk menyerang Iran," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmaeil Baghaei seperti dikutip dari stasiun berita BBC pada Sabtu (14/6/2025).
3. Indonesia kutuk keras Israel karena lakukan serangan militer ke Iran

Sementara, Kementerian Luar Negeri mengutuk keras serangan yang dilakukan Israel terhadap Iran pada Jumat (13/6/2025). Serangan itu menewaskan dua petinggi militer Iran. Menteri Luar Negeri, Sugiono, mengatakan, tindakan Israel merupakan bentuk pelanggaran hukum.
"Indonesia dengan tegas mengutuk serangan Israel terhadap Iran! Tindakan ini juga melemahkan dasar-dasar hukum internasional," ujar Sugiono di akun media sosial Kemlu, Jumat.
Sugiono mengatakan, serangan Israel ke Iran berisiko memperburuk ketegangan di kawasan Timur Tengah dan berpotensi memicu konflik yang lebih luas. Sugiono pun mendesak semua pihak untuk menahan diri agar tidak memperburuk situasi.
"Semua pihak harus menahan diri secara maksimal dan menghindari tindakan yang dapat meningkatkan ketegangan atau ketidakstabilan," kata dia.
Indonesia, kata Sugiono, menegaskan kembali kewajiban setiap negara untuk menyelesaikan perbedaan mereka melalui cara-cara damai sesuai hukum internasional.