PBB: Lebih dari 400 Ribu Anak di Lebanon Mengungsi

- Lebih dari 400 ribu anak-anak di Lebanon mengungsi dalam 3 minggu terakhir akibat perluasan operasi militer Israel melawan Hizbullah.
- Operasi militer tersebut memaksa 1,2 juta warga Lebanon meninggalkan rumah mereka, dengan sebagian besar mengungsi ke Beirut dan wilayah utara.
- Konflik tersebut menyebabkan sekolah umum tidak dapat diakses, dirusak oleh perang, atau digunakan sebagai tempat perlindungan, sehingga 1,2 juta anak kehilangan pendidikan.
Jakarta, IDN Times - Seorang pejabat tinggi badan anak-anak PBB (UNICEF) pada Senin (14/10/2024) mengatakan bahwa lebih dari 400 ribu anak-anak di Lebanon telah mengungsi dalam 3 minggu terakhir.
Israel telah memperluas operasi militernya melawan kelompok Hizbullah yang berbasis di Lebanon, termasuk melakukan invasi darat, setelah setahun terlibat baku tembak di perbatasan. Konflik tersebut telah memaksa 1,2 juta warga Lebanon meninggalkan rumah mereka, dengan sebagian besar mengungsi ke Beirut dan wilayah utara.
“Yang mengejutkan saya adalah perang ini sudah berlangsung 3 minggu dan begitu banyak anak-anak yang terkena dampaknya,” kata Ted Chaiban, wakil direktur eksekutif UNICEF untuk aksi kemanusiaan, kepada Associated Press di Beirut.
“Saat kita duduk di sini saat ini, 1,2 juta anak kehilangan pendidikan. Sekolah umum mereka tidak dapat diakses, dirusak oleh perang, atau digunakan sebagai tempat perlindungan. Hal terakhir yang dibutuhkan negara ini, selain semua hal lain yang telah dialaminya, adalah risiko hilangnya generasi," tambahnya.
1. Lebih dari 100 anak tewas selama 3 minggu terakhir
Meskipun beberapa sekolah swasta di Lebanon masih beroperasi, sistem sekolah negeri sangat terdampak oleh perang, begitu juga dengan kelompok masyarakat yang paling rentan di negara tersebut, seperti pengungsi Palestina dan Suriah.
″Yang saya khawatirkan adalah ratusan ribu anak-anak Lebanon, Suriah, dan Palestina berisiko kehilangan pendidikan mereka,” kata Chaiban.
Menurut Kementerian Kesehatan Lebanon, serangan Israel telah menewaskan lebih dari 2.300 orang, dengan hampir 75 persen di antaranya tewas dalam sebulan terakhir. Chaiban menyebutkan bahwa lebih dari 100 anak tewas dan lebih dari 800 lainnya terluka dalam 3 minggu terakhir.
2. Anak-anak mengalami trauma
Pejabat UNICEF itu mengungkapkan bahwa anak-anak terpaksa berlindung di tempat penampungan yang penuh sesak, di mana 3-4 keluarga dapat tinggal di dalam satu ruang kelas yang hanya dipisahkan oleh tirai plastik. Bahkan, 1.000 orang juga harus berbagi 12 toilet, yang tidak semuanya berfungsi.
Sebagian keluarga yang tidak dapat menemukan tempat penampungan terpaksa mendirikan tenda di pinggir jalan atau di pantai umum.
Chaiban mengatakan, sebagian besar anak-anak yang mengungsi telah menyaksikan begitu banyak kekerasan, termasuk suara bom atau tembakan. Akibatnya, mereka langsung ketakutan setiap kali mendengar suara keras.
"Lalu ada perintah evakuasi demi perintah evakuasi. Kita masih berada di tahap awal, dan sudah ada dampak yang besar,” tambahnya.
3. Infrastruktur sipil juga menjadi target serangan
Eskalasi konflik juga menyebabkan lebih dari 100 fasilitas layanan kesehatan primer tidak berfungsi, sementara 12 rumah sakit sudah tidak dapat beroperasi atau hanya berfungsi sebagian.
Infrastruktur air juga menjadi target serangan. Dalam tiga minggu terakhir, 26 stasiun air yang menyediakan air untuk hampir 350 ribu orang telah rusak. UNICEF kini bekerja sama dengan pemerintah setempat untuk memperbaikinya.
Chaidan pun menyerukan perlindungan terhadap infrastruktur sipil dan mendesak gencatan senjata segera di Lebanon dan Gaza. Ia mengatakan, diperlukan kemauan politik serta kesadaran bahwa konflik ini tidak dapat diselesaikan melalui cara militer.
“Apa yang harus kita lakukan adalah memastikan bahwa hal ini berhenti, bahwa kegilaan ini berhenti, bahwa ada gencatan senjata sebelum kita mengalami kehancuran, rasa sakit, penderitaan dan kematian seperti yang kita lihat di Gaza,” katanya, seraya menambahkan bahwa permohonan tanggap darurat sebesar 108 juta dolar AS (Rp1,6 triliun) di Lebanon baru terdanai sekitar 8 persen.