Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pekerja Migran Tidak Diberikan Akses ke Tempat Penampungan di Lebanon

ilustrasi kota di Lebanon (unsplash.com/Maxime Guy)
ilustrasi kota di Lebanon (unsplash.com/Maxime Guy)
Intinya sih...
  • Lebih dari 25 ribu pekerja migran di Lebanon terlantar karena tidak diberikan akses ke tempat penampungan pemerintah
  • Pekerja migran ditolak masuk ke tempat penampungan pemerintah dan terpaksa mencari bantuan ke pusat darurat komunitas lokal
  • IOM telah mengoordinasikan penerbangan komersial dan charter untuk mengevakuasi pekerja asing yang ingin kembali ke negara asal mereka
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) di Lebanon melaporkan bahwa lebih dari 25 ribu pekerja migran di Lebanon terlantar karena tidak diberikan akses ke tempat penampungan yang dikelola pemerintah. Situasi mereka menjadi semakin sulit lantaran mereka ditinggalkan tanpa uang tunai atau paspor.

"Mencari keselamatan selalu lebih sulit bagi para migran. Mereka yang tidak memiliki status resmi, dokumen, atau surat-surat cenderung enggan mencari bantuan karena takut ditangkap atau dideportasi," kata Mathieu Luciano, kepala IOM di Lebanon, kepada The National.

"IOM memperkirakan sekitar 25 ribu migran telah terdampak oleh konflik ini. Mayoritas dari mereka sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan, termasuk tempat tinggal, makanan, dan dukungan perlindungan," jelasnya.

1. Para migran mencari bantuan pada kelompok komunitas lokal

Para pekerja migran yang ditolak masuk ke tempat penampungan pemerintah terpaksa mencari bantuan ke pusat darurat yang didirikan oleh komunitas lokal. Salah satunya adalah yang dioperasikan oleh Jesuit Refugee Service (JRS) di Nabatieh, Lebanon selatan.

“Pada hari pertama eskalasi, kami mencoba merujuk 70 orang yang telah berjalan sepanjang malam untuk menemui kami. Kami menelepon setiap hotline pemerintah, tidak ada satupun tempat penampungan yang kami ajak bicara bersedia menerima mereka,” kata direktur program JRS, Michael Petro.

Seminggu kemudian, JRS akhirnya mendapat persetujuan dari sebuah tempat penampungan di Tripoli yang bersedia menerima puluhan pekerja migran dari Afrika Timur. Mereka pun diangkut ke dalam bus dan diizinkan masuk ke tempat penampungan. Namun, keesokan harinya, mereka diusir oleh polisi setempat dan pegawai pemerintah kota.

Petro mengungkapkan bahwa kebutuhan untuk memberikan sedikit ruang yang tersisa kepada warga Lebanon adalah hal yang dapat dimengerti. Namun, menurutnya, situasi ini tidak hanya disebabkan oleh keterbatasan ruang semata.

“Realitas dasar yang dihadapi para migran adalah rasisme. Mereka menghadapi begitu banyak diskriminasi setiap hari sehingga meskipun pemerintah memprioritaskan warga sipil Lebanon, hal ini sering kali dilandasi oleh prasangka," ujarnya.

2. IOM bantu pulangkan pekerja migran ke negara asal mereka

Luciano menjelaskan bahwa IOM telah mengoordinasikan penerbangan komersial dan charter untuk mengevakuasi pekerja asing yang ingin kembali ke negara asal mereka. Prioritas diberikan kepada mereka yang berada dalam situasi paling rentan dan tidak mampu membeli tiket pesawat.

Namun, proses ini cukup sulit karena sebagian besar penerbangan ke dan dari Lebanon telah dihentikan, sehingga IOM harus bekerja sama dengan kedutaan untuk mengatur penerbangan charter.

“Hingga 10 ribu migran memerlukan bantuan, berdasarkan permintaan dari kedutaan dan migran itu sendiri,” kata IOM dalam laporannya bulan ini. Sejak awal meningkatnya serangan Israel di Lebanon pada September 2024, IOM telah berhasil membantu 400 migran meninggalkan Lebanon.

3. Sistem kerja di Lebanon menempatkan pekerja migran dalam situasi yang rentan

Sedikitnya 200 ribu migran tinggal di Lebanon, dengan sebagian besar berasal dari Ethiopia, Bangladesh, Sudan Selatan, dan Filipina. Mayoritas dari mereka bekerja sebagai pengasuh anak atau pembantu rumah tangga.

Situasi mereka sangat rentan akibat sistem ketenagakerjaan kafala yang berlaku di Lebanon. Pasalnya, dalam sistem kerja ini, pemberi kerja tidak memiliki persyaratan hukum yang jelas untuk melindungi atau memastikan kesejahteraan mereka.

“Tidak ada pemahaman bahwa perempuan-perempuan ini mempunyai hak. (Situasi ini) kembali ke kafala dan cara kerjanya, mengubah pekerja rumah tangga migran menjadi aksesori atau komoditas. Dan ketika Anda tidak membutuhkan komoditas ini, Anda membuangnya di jalan," ungkap Salma Sakr, dari Gerakan Anti-Rasisme (ARM), dilansir dari laporan Al Jazeera bulan lalu.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Fatimah
EditorFatimah
Follow Us