Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Staf Kemlu Inggris Disarankan Mundur Usai Protes Kebijakan Gaza

ilustrasi bendera Inggris. (unsplash.com/simon frederick)
ilustrasi bendera Inggris. (unsplash.com/simon frederick)
Intinya sih...
  • Staf khawatir Inggris terlibat pelanggaran hukum internasional
  • Inggris mengaku terbuka terhadap kritik
  • Kecaman terhadap ekspor senjata Inggris ke Israel
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times- Pejabat senior di Kementerian Luar Negeri Inggris (FCDO) menyarankan lebih dari 300 stafnya untuk mempertimbangkan mundur. Imbauan ini menyusul kritik dari para staf mengenai kebijakan pemerintah terkait konflik di Gaza.

Saran tersebut merupakan balasan atas surat protes yang dikirimkan para staf pada 16 Mei 2025. Surat itu berisi kekhawatiran bahwa kebijakan saat ini dapat membuat Inggris terlibat dalam tindakan Israel yang berisiko melanggar hukum internasional.

Tanggapan yang memicu perdebatan itu dikirimkan pada 29 Mei 2025. Surat balasan ditandatangani oleh dua pejabat sipil paling senior FCDO, Sir Oliver Robbins dan Nick Dyer.

1. Staf khawatir Inggris terlibat pelanggaran hukum internasional

Surat protes tersebut merupakan yang keempat kalinya dikirim oleh staf internal sejak konflik Gaza dimulai pada akhir 2023. Para penanda tangan surat berasal dari berbagai departemen dan kedutaan di seluruh dunia. 

Secara spesifik, surat itu merujuk pada beberapa insiden mengkhawatirkan, seperti tewasnya 15 pekerja kemanusiaan pada bulan Maret lalu. Mereka juga menyoroti pembatasan bantuan oleh Israel yang dikritik sebagai penggunaan kelaparan sebagai senjata perang, dilansir New Arab.

Para staf merasa banyak peringatan yang telah mereka berikan tidak ditindaklanjuti oleh para pembuat kebijakan. Timbul kekhawatiran bahwa mereka yang bertugas melaksanakan kebijakan tersebut dapat ikut dimintai pertanggungjawaban hukum di masa depan.

"Pada Juli 2024, staf menyatakan keprihatinan tentang pelanggaran hukum humaniter internasional oleh Israel dan potensi keterlibatan pemerintah Inggris. Dalam periode selanjutnya, bukti Israel mengabaikan hukum internasional menjadi semakin nyata," demikian kutipan dari surat tersebut, dilansir BBC.

2. Inggris mengaku terbuka terhadap kritik

Dalam surat balasan mereka, Robbins dan Dyer menyatakan bahwa kementerian menyambut baik masukan yang menantang sebagai bagian dari proses kebijakan. Mereka juga menyebut FCDO telah mendirikan "Dewan Penantang" (Challenge Board) sebagai wadah untuk menyalurkan kritik.

Para pejabat tersebut kemudian mengingatkan adanya kesepakatan inti dalam layanan sipil Inggris. Para pegawai diminta melaksanakan kebijakan pemerintah dengan sepenuh hati sesuai batasan hukum yang berlaku.

"Jika ketidaksetujuan Anda terhadap aspek apa pun dari kebijakan atau tindakan pemerintah bersifat mendalam, jalan terakhir Anda adalah mengundurkan diri dari layanan sipil. Ini adalah jalan yang terhormat," tulis Robbins dan Dyer dalam balasannya, dikutip dari The Guardian.

Seorang pejabat yang ikut menandatangani surat protes mengatakan kepada BBC bahwa balasan tersebut disambut dengan kemarahan. Ia juga mengungkapkan rasa frustrasi dan kecewa karena ruang untuk menyampaikan kritik dianggap semakin sempit.

3. Kecaman terhadap ekspor senjata Inggris ke Israel

Menurut seorang mantan pejabat, sikap FCDO ini seolah mengabaikan pelajaran penting dari Laporan Chilcot tentang Perang Irak. Laporan itu memperingatkan adanya budaya groupthink atau pemikiran kelompok, di mana para pejabat menjadi enggan menentang keputusan yang salah karena semua orang tampak setuju.

Sebelumnya, Mark Smith, seorang pejabat FCDO, telah lebih dulu mengundurkan diri karena menentang kebijakan penjualan senjata ke Israel.

"Kenyataannya adalah saya telah melalui setiap prosedur protes tersebut, namun diabaikan dan dijauhi. Kami memiliki kewajiban untuk menghormati pemerintah yang dipilih secara demokratis, namun kami juga memiliki kewajiban untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah," ujar Smith.

Di sisi lain, Inggris kini tengah menghadapi gugatan hukum di pengadilan tinggi dari dua lembaga swadaya masyarakat, Global Legal Action Network dan Al-Haq. Gugatan tersebut menantang legalitas keputusan pemerintah untuk melanjutkan ekspor komponen jet tempur F-35 ke Israel.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rama
EditorRama
Follow Us