UNICEF: Krisis Lebanon Buat Kaum Muda Putus Sekolah

Jakarta, IDN Times - Badan anak-anak PBB (UNICEF) melaporkan peningkatan kasus putus sekolah di tengah krisis Lebanon. Laporan itu dirilis pada Jumat, 28 Januari 2022 berjudul “Searching for Hope”.
Anak muda memutuskan untuk tidak bersekolah agar bisa bekerja demi memenuhi kebutuhan pokok. Sebanyak 4 dari 10 pemuda memilih untuk mengurangi dana pendidikan agar tetap bertahan hidup, sementara 3 dari 10 berhenti sekolah secara total.
"Krisis Lebanon semakin memaksa kaum muda untuk berhenti belajar dan terlibat dalam pekerjaan bergaji rendah, tidak teratur, dan informal hanya untuk bertahan hidup dan membantu memberi makan keluarga mereka," kata UNICEF dalam laporannya, dikutip Middle East Monitor.
1. Pendaftaran di lembaga pendidikan menurun
Menurut laporan, pendaftaran di lembaga pendidikan turun dari 60 persen pada 2020-2021 menjadi 43 persen pada tahun akademik saat ini. Ettie Higgins, Perwakilan UNICEF di Lebanon, mendesak dukungan besar bagi kaum muda di Lebanon.
“Krisis ini merampas stabilitas remaja dan pemuda yang sangat penting di usia mereka. Ini seharusnya menjadi waktu bagi mereka untuk fokus pada pembelajaran mereka, impian mereka, masa depan mereka,” kata Higgins, mengutip Anadolu Agency.
2. Beberapa pemuda tidak dapat bersaing dengan tenaga kerja lainnya
Banyak anak muda yang berhenti sekolah dan menemukan bahwa diri mereka tidak cukup bersaing dalam dunia kerja. Akibatnya, mereka harus rela bekerja dengan gaji rendah di sektor informal.
Kaum muda yang bekerja memiliki pendapatan bulanan rata-rata sekitar 1.600.000 pound Lebanon (LBP), setara dengan sekitar 64 dollar AS. Sementara untuk pemuda Suriah di Lebanon cuma mendapat setengah dari itu, dengan pendapatan harian sebesar 1 dollar AS.
Selain itu, Tujuh dari 10 dianggap menganggur dan tanpa sumber pendapatan, tidak menghasilkan uang untuk hidup selama seminggu sebelum survei.Sekitar 13 persen keluarga mengirim anak-anak di bawah 18 tahun untuk bekerja.
Akibat tekanan itu, seorang pelajar bernama Hind (22) mengatakan kepada UNICEF bahwa pandangannya untuk masa depan menjadi suram.
“Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya ingin meninggalkan negara saya, saya ingin meninggalkan Lebanon”, kata dia, dikutip UN News.
3. Krisis sejak tahun 2019

Pada Maret 2021, Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Barat (ESCWA) mengatakan 74 persen warga yang tinggal di Lebanon menderita kemiskinan.
Nilai Pound Lebanon menurun 90 persen sejak Oktober 2019, menghambat kemampuan warga untuk mendapat barang-barang pokok, termasuk makanan, air, perawatan kesehatan, dan pendidikan.
Selain itu, kekurangan bahan bakar juga telah menyebabkan pemadaman listrik yang meluas di negara tersebut.