“I am Muslim. I am a democratic socialist. And most damning of all, I refuse to apologize for any of this.”
[OPINI] Ketika Islam Bertemu Sosialisme: Dari Tjokro, Misbach hingga Mamdani

- Zohran Mamdani, Muslim dan democratic socialist, menang di pemilihan Wali Kota New York.
- Tjokroaminoto melihat sosialisme sebagai bagian dari ajaran Islam, sementara Haji Misbach memilih jalur revolusioner.
- Mamdani ingin membangun kota yang lebih setara dengan kebijakan progresif dalam demokrasi modern.
Kemenangan Zohran Mamdani di pemilihan Wali Kota New York mengejutkan banyak orang Amerika. Bukan karena ia muda, itu justru tren baru di politik global, melainkan karena ia berdiri lantang sebagai seorang Muslim dan democratic socialist sekaligus. Buat banyak warga AS, pengakuan itu terdengar nyeleneh, bahkan tabu. Tapi bagi kita di Indonesia? Ah, ini sebenarnya nostalgia abad ke-20 yang kembali muncul dalam wujud baru.
Dalam pidato kemenangannya Mamdani berkata:
Kalimat sederhana itu mengangkat lagi pertanyaan lama yang sudah bergema sejak masa kolonial:
Memangnya Islam dan sosialisme bisa jalan bareng?
Dan di sinilah Indonesia sebenarnya punya memori yang lebih kaya dari Amerika. Di negara ini, lebih dari seabad lalu, dua tokoh Sarekat Islam, H.O.S. Tjokroaminoto dan Haji Misbach, sudah lebih dulu berjibaku di wilayah ide yang sama. Mereka sama-sama taat beragama, sama-sama anti-penindasan, sama-sama anak zaman yang beruang untuk keadilan sosial. Tapi jalannya berbelok ke arah yang sangat berbeda.
Mari kita mundur sebentar.
- Tjokroaminoto: Menemukan Sosialisme di Dalam Islam
Bagi banyak orang, Tjokro adalah “guru bangsa”, dari kos-kosan miliknya, lahir Soekarno sampai Kartosoewirjo. Tapi di luar itu, Tjokro juga seorang pemikir sosial yang mencoba merumuskan apa yang ia sebut “sosialisme sejati”, dan bagi dia, sosialisme itu tidak datang dari Eropa, melainkan lahir dari inti ajaran Islam.
Dalam bukunya "Islam dan Sosialisme", ia menulis:
“Ummat Islam adalah tiada sekali-kali akan melanggar kehendak Socialisme jang adil dan sedjati itu.”
Di mata Tjokro, sosialisme bukanlah ide ateistik seperti yang berkembang di Eropa. Ia lebih dekat dengan etika Islam tentang keadilan, semacam “amar ma’ruf nahi munkar” dalam pemahaman masyarakat umum. Termasuk soal kapitalisme. Ia tidak melihat kapitalisme hanya sebagai sistem ekonomi, tapi penyakit moral yang berlawanan dengan tauhid:
“Agama Islam memerangi Kapitalisme sampai pada akarnja…”
Karena itu Tjokro menolak sosialisme-Marxis yang menurutnya anti-agama. Baginya, sosialisme baru sah dipakai bila berakar pada nilai-nilai Islam. Ia melihat sosialisme sebagai alat, bukan tujuan. Islam tetap fondasi utama. Ini membuat Tjokro mengambil jalur politik yang lebih moderat. Setelah perpecahan internal SI, ia tetap bertahan di SI Putih dan bahkan masuk Volksraad, mencoba memperjuangkan hak-hak rakyat lewat jalur parlementer, meskipun dengan segala keterbatasannya.
Tjokro adalah tipe pemimpin yang percaya bahwa perubahan bisa datang lewat institusi, lewat jalan kooperatif atau bekerja sama dengan Pemerintah Kolonial Belanda. Tapi ada juga tokoh lain yang melihat dunia dengan cara yang jauh lebih keras.
- Haji Misbach: Ketika Islam Berwarna Merah
Masuklah Haji Misbach, sosok yang sering dijuluki “Si Merah dari Surakarta”.
Kalau Tjokro adalah jalan selatan yang teduh, Misbach adalah utara yang badai. Keduanya sama-sama berangkat dari pengalaman melihat kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan sosial, tapi Misbach meresponsnya dengan intensitas yang jauh lebih radikal. Bagi Misbach, tidak ada jarak antara Islam dan sosialisme, bahkan dengan komunisme sekalipun, selama tujuannya membela kaum tertindas.
Ia pernah menulis:
“Islam anti-kapitalisme.”
Dan lebih pedas lagi:
“Orang yang mengaku Islam tetapi tidak setuju adanya komunisme… saya berani mengatakan bahwa ia bukan Islam yang sejati.”
Misbach mungkin bukan Marxis ortodoks, tapi ia melihat semangat komunisme, pembebasan, kesetaraan, perlawanan terhadap kelas penindas, sejalan dengan misi kenabian.
Ia juga menulis bagaimana kapitalisme merusak iman kaum pekerja:
“Mereka dipaksa meninggalkan salat dan puasa… waktu salat mereka habis dieksploitasi oleh tuannya.”
Dengan logika itu, kapitalisme tak hanya jahat secara ekonomi, tapi juga merusak agama. Maka, berjuang melawan kapitalisme berarti berjuang menjaga Islam. Tidak heran ia kemudian memilih jalur non-kooperatif, atau menolak bekerja sama dengan Pemerintah Kolonial Belanda. Dari SI Merah, ia masuk PKI, ditangkap berkali-kali, dan akhirnya dibuang ke Manokwari hingga meninggal pada 1926.
Misbach adalah contoh Muslim yang percaya pada perlawanan struktural, bukan kompromi.
- Pertemuan Dua Jalan: Islam, Keadilan, dan Perjuangan
Meski berbeda pendekatan, Tjokro dan Misbach punya titik temu yang kuat: keduanya sama-sama percaya bahwa Islam menolak penindasan. Tjokro memilih jalur reformis, memadukan tauhid dengan sosialisme moral. Misbach memilih jalur revolusioner, menjadikan Islam sebagai gerakan pembebasan kelas tertindas. Perbedaan ini bukan sekadar pilihan ideologis, tapi juga strategi politik. Indonesia kolonial adalah ruang penuh represi; jalan yang kooperatif maupun yang radikal sama-sama memiliki risiko dan batas. Dan di sinilah relevansi Zohran Mamdani terasa.
- Kembali ke New York: Ketika Debat Lama Mendapat Wajah Baru
Dalam pidato kemenangannya, Mamdani menjanjikan: pembekuan sewa, bus cepat dan gratis, childcare universal.
Kebijakan-kebijakan itu jelas menampar logika kapitalisme, apalagi di kota yang terkenal dengan biaya hidup gila-gilaan. Ia ingin negara hadir lebih kuat, terutama untuk kelas pekerja. Ia ingin membangun kota yang lebih setara. Dan semua itu ia lakukan sambil berdiri sebagai seorang Muslim. Di sini, Mamdani nyambung dengan jejak Tjokro dan Misbach, meski dalam konteks yang berbeda, bahasa yang berbeda, dan medan perjuangan yang lain.
Pertanyaannya kembali sama:
Apakah Islam dan sosialisme kompatibel?
Jawabannya bergantung pada konteks, strategi, dan tafsir. Tapi kalau dilihat dari nilai dasarnya; keadilan, kesetaraan, perlindungan yang lemah, keduanya punya irisan yang sangat kuat. Yang membedakan adalah cara mempraktikkannya: lewat institusi, seperti Tjokro, lewat perlawanan radikal, seperti Misbach, atau lewat kebijakan publik progresif dalam demokrasi modern, seperti Mamdani.
Yang dilakukan Mamdani hari ini bukanlah hal baru; ia hanya menghidupkan kembali debat lama dengan cara yang lebih konkret. Apakah ia akan berhasil? Kita belum tahu. Tapi kalau ia mampu membekukan sewa, memperluas layanan publik, dan mengurangi tekanan hidup kelas pekerja di New York, itu bisa menjadi contoh kecil bagaimana perpaduan Islam dan sosialisme melahirkan kebijakan yang benar-benar membela rakyat.
Dan, seperti Tjokro dan Misbach, ia membuktikan bahwa cara mencapai keadilan bisa berbeda, tapi idealnya tetap sama: membebaskan manusia dari penindasan sistem kapitalisme, yang tidak adil.
Referensi:
- Tjokroaminoto, H.O.S. 1954. Islam dan Sosialisme. Jakarta: Bulan Bintang.
- Ricklefs, M.C. 2008. A History of Modern Indonesia Since c. 1200. 4th Edition. London: Palgrave Macmillan.
- Kurniawan, Hasan. 2023. “Riwayat Haji Misbach, Pergulatan Seorang Islam Komunis (II)”. Sindonews.com. Diakses 17 November 2025.
- Subarkah, Muhammad. 2023. “H Misbach Propagandis PKI: Islam dan Politik tak Bisa Dipisah.” Analisis.Republika.id. Diakses 17 November 2025.
- “Islamisme dan Komunisme,” tulisan Haji Misbach dalam arsip Marxists.org. Diakses 17 November 2025.
- The Guardian. 2025. “Zohran Mamdani’s Victory Speech – Full Transcript.” Diakses 17 November 2025.


















