5 Budaya Patriarki di Rumah yang Sering Dianggap Biasa, Sadar Gak?

- Anak perempuan diajarkan mengurus rumah, anak laki-laki tidak. Pola pikir setara sejak kecil akan membentuk hubungan yang lebih sehat di masa depan.
- Urusan rumah diberatkan ke anak perempuan, padahal melibatkan anak laki-laki dalam urusan domestik bisa membentuk generasi yang tidak patriarki.
- Anak perempuan wajib bisa masak, sementara anak laki-laki jarang diajarkan hal serupa. Memasak haruslah genderless agar semua orang bisa mandiri tanpa bergantung pada siapa pun.
Istilah patriarki sering terdengar ketika orang membahas soal kesetaraan gender, tapi banyak yang belum sadar kalau sistem ini sebenarnya hidup di lingkup paling dekat yakni rumah sendiri. Patriarki bukan cuma soal laki-laki yang berkuasa atas perempuan, tapi juga pola pikir dan kebiasaan turun-temurun yang menempatkan satu gender lebih utama dari yang lain. Bentuknya bisa halus dan tak terlihat, bahkan tampak seperti kebiasaan normal yang dianggap wajar sejak kecil.
Padahal, tanpa sadar, budaya seperti ini bisa membentuk cara pandang kita terhadap peran laki-laki dan perempuan di kehidupan sehari-hari. Berikut beberapa budaya patriarki di rumah yang sering dianggap biasa, tapi sebenarnya perlu kita hentikan.
1. Anak perempuan diajarkan mengurus rumah, anak laki-laki tidak

Sejak kecil, anak perempuan sering diberi pesan untuk bisa mengurus rumah termasuk orang lain terutama suaminya nanti. Mereka diajarkan harus sabar, telaten, dan bisa melayani mereka dengan sebaik-baiknya. Sementara anak laki-laki jarang ditanamkan hal serupa. Seolah, tugas mereka hanya menjadi pencari nafkah tanpa perlu terlibat dalam hal-hal yang berkaitan dengan tugas domestik rumah tangga.
Padahal, pernikahan atau hubungan apa pun seharusnya dibangun atas kerja sama dari dua individu yang menghuni di dalamnya. Mengurus pasangan bukan kewajiban satu pihak, tapi bentuk empati dua arah. Anak laki-laki juga perlu diajarkan cara merawat, memperhatikan, dan menghargai anak perempuan atau pasangannya kelak. Kalau sejak kecil pola pikirnya sudah setara, hubungan saat mereka dewasa nanti pun akan lebih sehat.
2. Urusan rumah diberatkan ke anak perempuan

Di banyak rumah tangga, kalimat “bantu Mama beres-beres” hampir selalu ditujukan ke anak perempuan. Anak laki-laki? Biasanya dibiarkan istirahat dengan alasan “biarin, lah orang dia sudah capek sekolah.” Kebiasaan semacam ini memang tampak sepele, tapi pelan-pelan menanamkan anggapan bahwa urusan domestik rumah tangga adalah tanggung jawab perempuan sepenuhnya.
Padahal, pekerjaan rumah bukanlah beban, tapi bagian dari proses belajar tanggung jawab sebagai penghuni itu sendiri. Saat anak laki-laki juga mulai ikut dilibatkan, mereka belajar menghargai usaha orang lain dan memahami bahwa kebersihan rumah adalah urusan bersama mulai dari cuci baju, cuci piring, menyapu atau mengepel lantai. Melibatkan anak laki-laki dalam urusan domestik sejak kecil bisa jadi langkah awal membentuk generasi yang tidak patriarki ke depannya.
3. Anak perempuan wajib bisa masak, sementara anak laki-laki...?

Bagi masyarakat yang masih menjujung tinggi patriarki, kemampuan memasak sering dijadikan ukuran value bagi seorang perempuan. Banyak yang bilang, “masa calon istri gak bisa masak?” tapi jarang ada yang menuntut hal serupa pada laki-laki. Akibatnya, memasak dilihat bukan sebagai keterampilan dasar, tapi simbol kesiapan perempuan untuk melayani suami kelak.
Padahal, memasak itu basic life skill, sama seperti mandi atau bersih-bersih. Laki-laki juga butuh bisa menyiapkan makanan untuk dirinya sendiri sebagai contoh saat dia harus kuliah atau kerja di luar kota atau luar negeri. Kalau masak dianggap hal genderless, semua orang bisa tumbuh mandiri tanpa bergantung pada siapa pun. Bayangkan kalau sejak kecil anak laki-laki juga diajarkan hal ini, betapa naturalnya kesetaraan gender itu akan tumbuh.
4. Anak laki-laki biasa dilayani, sementara anak perempuan dibiasakan untuk melayani

Pemandangan ini rasanya sangat umum sekali dan masih sering dijumpai dimana ada anak laki-laki duduk santai, sementara saudarinya sibuk menyiapkan makanan dan membereskan meja. Dari situ, muncul pola pikir bahwa perempuan memang seharusnya melayani. Lama-lama, hal ini dianggap lumrah dan tak lagi dipertanyakan.
Padahal, sikap saling melayani itu bukan soal gender, tapi soal menghargai. Anak laki-laki yang terbiasa membantu justru tumbuh lebih empatik dan punya kesadaran sosial yang baik. Dari hal kecil seperti membantu di dapur atau menuang air minum, anak belajar bahwa melayani bukan tanda bahwa ia adalah sosok yang lemah melainkan sebagai salah satu wujud kepedulian.
5. Anak laki-laki dibiarkan, anak perempuan diajarkan diam menahan diri

Ketika perempuan disakiti, diselingkuhi jadi korban KDRT dan banyak lagi nasihat yang muncul sering kali tak jauh-jauh dari “sabar aja ini ujian pernikahan dari Tuhan, nanti juga seiring waktu dia bakal berubah.” Sementara laki-laki jarang sekali diajarkan untuk bertanggung jawab atas tindakannya. Akhirnya, perempuan tumbuh dengan kebiasaan menahan diri dan diam sementara laki-laki dengan kebiasaan buruk apapun itu bentuknya selalu dimaklumi.
Padahal, keduanya sama-sama perlu belajar hal yang seimbang. Anak perempuan perlu tahu bahwa ia punya hak untuk bersuara, dan anak laki-laki perlu paham bahwa kesetiaan serta rasa hormat pada perempuan adalah bagian dari kedewasaan. Kalau sejak dini tak pernah diajarkan seperti keberanian untuk bicara dan menghargai, lingkaran setan patriarki akan terus terbentuk hingga ke keturunan-keturunan selanjutnya.
Budaya patriarki sering kali bersembunyi di balik hal-hal dan kebiasaan yang terlihat wajar di rumah. Namun dari situlah nilai tidak setara mulai tumbuh dan diwariskan dari generasi ke generasi. Menyadari adanya praktik patriarki di rumah bukan berarti melawan orangtua, melainkan berani memutus rantai kebiasaan lama yang tidak lagi relevan di zaman sekarang. Kalau kesetaraan gender bisa dimulai dari lingkup sekecil rumah, kenapa tidak untuk terus menularkannya ke rumah-rumah yang lain?



















