Gratifikasi dapat menjadi tindak pidana korupsi jika berkaitan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas penyelenggara negara. Namun, jika dilaporkan dalam waktu 30 hari kepada KPK/UPG, penerima dapat dibebaskan dari ancaman pidana.
Hadiah untuk Guru: Ucapan Terima Kasih atau Bentuk Gratifikasi?

Setiap tahun ajaran baru, suasana sekolah selalu penuh euforia dimana anak naik kelas, rapor dibagikan, dan tak jarang orang tua ingin menunjukkan apresiasi kepada guru. Di hari guru pun demikian. Suasana ruang kelas sering ramai dengan hampers, makanan hingga bunga. Kalau dilihat-lihat semua terlihat wajar, bahkan manis.
Namun, tebersit sebuah tanda tanya, apakah memberi hadiah kepada guru termasuk gratifikasi? Bagi sebagian besar orang tua, hadiah hanyalah ungkapan terima kasih. Namun, jika ditelisik, praktik ini ternyata bersinggungan dengan isu hukum dan integritas profesi. Kenapa bisa begitu?
1. Apa itu gratifikasi? Mengapa diatur undang-undang?

Gratifikasi adalah semua pemberian yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara. Pemberian ini bisa berupa uang, barang, fasilitas, diskon, parsel, hingga tiket perjalanan. Secara makna, gratifikasi bersifat netral, tidak selalu salah. Namun ia menjadi masalah ketika pemberian tersebut terkait jabatan, bertentangan dengan tugas, menimbulkan konflik kepentingan, atau tidak wajar secara etika. Gratifikasi diatur dalam Pasal 12B dan 12C Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Inti pasalnya adalah:
Mengapa perlu dibatasi? Karena gratifikasi kerap disebut sebagai "suap tertunda" yakni hadiah hari ini bisa menjadi timbal-balik besok. Subtil, tidak selalu terasa, namun berpotensi merusak profesionalitas dan mendorong ketidakadilan dalam pelayanan publik.
2. Jika hadiah ditujukan pada guru, apakah termasuk gratifikasi?

Guru terutama di sekolah negeri adalah ASN yang berarti termasuk dalam kategori penerima yang harus tunduk pada aturan gratifikasi. Di sisi inilah pemberian hadiah berpotensi masuk zona abu-abu. Seringkali hadiah diberikan karena guru memiliki jabatan, bukan karena relasi pribadi. Di titik itulah gratifikasi dapat dianggap tidak patut.
Bayangkan bila hanya wali kelas yang menerima hadiah, sementara guru lain penjaga sekolah hingga petugas kebersihan terabaikan. Ketimpangan pun mungkin terjadi dan menimbulkan kecemburuan. Terlebih lagi, pemberian sifatnya tidak lagi murni, karena bisa memengaruhi perlakuan terhadap murid. Apakah hadiah = salah? Tidak selalu. Tapi hadiah berupa uang, atau yang diberi dengan harapan timbal balik, jelas masuk kategori gratifikasi.
3. Muncul adanya polemik baru di kalangan orangtua

Memberi kado ke guru kadang juga jadi polemik bagi orangtua yang mungkin kurang dari segi finansial. Dalam banyak kasus, pemberian hadiah bukan lagi dikarenakan datang dari hati atau keinginan pribadi, tetapi karena merasa harus mengikuti wali murid lain agar tidak dianggap berbeda. Ketika satu orang wali murid memberi, yang lain ikut merasa wajib, dan muncul tekanan sosial yang sebenarnya tidak perlu.
Hal seperti ini tidak sedikit terjadi di lingkungan sekolah, khususnya ketika momentum kenaikan kelas atau hari guru tiba. Orangtua yang tidak mampu bisa merasa malu, bahkan khawatir anaknya dianggap kurang menghargai guru. Padahal, apresiasi tidak semestinya menjadi ajang kompetisi antar wali murid. Justru di sinilah pentingnya pemahaman bersama bahwa hadiah bukan kewajiban, dan penghargaan terbesar tetap terletak pada proses belajar dan dukungan orangtua terhadap anak.
4. Lalu, apa pilihan kado yang lebih etis dan berkesan?

Kalau orangtua tetap ingin memberikan apresiasi, pilihlah bentuk hadiah yang tidak memposisikan guru dalam potensi konflik kepentingan dan bukan berupa uang atau pemberian material bernilai tinggi. Hadiah yang paling tepat justru adalah yang memiliki nilai pendidikan dan emosional, seperti karya handmade yang dibuat sendiri oleh anak berupa lukisan, puisi, scrapbook, atau kerajinan tangan yang dibuat bersama orangtua. Tanaman kecil untuk meja kelas, buku bacaan, dan bahan edukasi juga bisa menjadi alternatif yang sederhana namun bermakna.
Surat ucapan terima kasih pun tidak kalah mengesankan, karena menunjukkan penghargaan tulus tanpa adanya nilai transaksional. Pemberian semacam ini lebih aman secara etika sekaligus menjadi simbol apresiasi yang hangat dan personal bagi guru. Lebih dari sekadar benda, guru biasanya lebih mengingat perhatian dan usaha dibanding nominal. Jika ada keinginan membantu guru yang memang membutuhkan secara ekonomi, hal tersebut lebih baik dilakukan melalui jalur resmi seperti komite sekolah agar tetap transparan dan bermartabat.
Apresiasi pada guru itu wajib kita jaga, karena mereka bekerja untuk mendidik anak kita bukan semata untuk dihadiahi. Menghargai guru bukan soal besarnya kado, tapi bagaimana kita tetap mendukung mereka tanpa menabrak etika dan aturan. Tidak perlu amplop tebal untuk menunjukkan rasa hormat. Hadiah sederhana, jujur, dan tidak menimbulkan kepentingan apa pun justru lebih tepat sasaran. Intinya memberi apresiasi boleh, tapi jangan sampai berubah arah menjadi gratifikasi yang merusak marwah bagi seorang pendidik.


















