Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Contoh Praktik Feodalisme yang Sering Tidak Disadari

ilustrasi contoh praktik feodalisme
ilustrasi contoh praktik feodalisme (unsplash.com/Hasdi Putra)
Intinya sih...
  • Atasan di kantor menganggap dirinya selalu benar dan tidak bisa dikritik
  • Hubungan guru dan murid yang terlalu hierarkis, membuat murid takut mengajukan pertanyaan atau kritik
  • Ketimpangan perlakuan berdasarkan status sosial, di mana orang diperlakukan berbeda berdasarkan penampilan atau jabatan
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Feodalisme sering dianggap sebagai konsep sejarah yang sudah tertinggal di masa lampau, padahal pola pikir dan perilakunya masih bisa ditemui di kehidupan modern. Secara sederhana, feodalisme adalah sistem sosial yang menempatkan seseorang pada posisi lebih tinggi dan orang lain di bawahnya, bukan karena kemampuan, tetapi karena status atau kekuasaan.

Di Indonesia sendiri, feodalisme sering muncul secara halus melalui rasa sungkan berlebihan terhadap figur yang dianggap lebih tinggi. Kehidupan modern membuat batas antara rasa hormat dan pola pikir feodal menjadi semakin tipis. Banyak orang menilai bahwa tunduk pada figur berkuasa adalah bentuk sopan santun, padahal bisa jadi itu merupakan cerminan dari budaya hierarkis yang tidak sehat. Berikut beberapa contoh praktik feodalisme yang sering tidak disadari dalam kehidupan sehari-hari.

1. Pimpinan menganggap dirinya selalu benar dalam lingkungan kerja

ilustrasi contoh praktik feodalisme
ilustrasi contoh praktik feodalisme (pexels.com/Yan Krukau)

Dalam dunia kerja, feodalisme muncul ketika atasan memosisikan diri sebagai sosok yang tidak bisa dikritik. Ketika bawahan menyampaikan pendapat berbeda, mereka dianggap tidak sopan atau tidak tahu diri. Padahal, ruang diskusi seharusnya terbuka agar ide berkembang lebih sehat. Pola seperti ini menciptakan ketimpangan komunikasi yang membuat bawahan takut berpendapat karena khawatir dinilai melawan. Akibatnya, inovasi dalam perusahaan terhambat dan budaya kerja menjadi stagnan.

Feodalisme di kantor juga bisa tampak dari perilaku kecil, seperti bawahan yang harus selalu memuji atau setuju dengan setiap keputusan atasan meski tidak relevan. Situasi ini menumbuhkan budaya kerja yang lebih fokus pada pencitraan daripada kinerja. Lama-kelamaan, keadilan pun kabur karena penilaian kerja lebih didasarkan pada siapa yang disukai atasan, bukan siapa yang benar-benar berprestasi.

2. Hubungan guru dan murid yang terlalu hierarkis

ilustrasi murid
ilustrasi murid (pexels.com/Muhaimin Abdul Aziz)

Dalam dunia pendidikan, rasa hormat kepada guru tentu penting, tetapi kadang berubah menjadi bentuk feodalisme terselubung. Ketika murid tidak berani mengajukan pertanyaan atau mengkritisi materi karena takut dianggap tidak sopan, di situlah praktik feodalisme mulai terasa. Guru ditempatkan pada posisi mutlak yang tidak boleh dipertanyakan, sehingga proses belajar kehilangan sifat dialogisnya.

Fenomena ini bahkan masih sering ditemukan di beberapa lembaga pendidikan tradisional. Penghormatan kepada sosok guru memang bagian dari adab, tapi jika penghormatan itu membuat murid menjadi kehilangan ruang berpikir kritis, maka nilai-nilai pendidikan bisa tergeser oleh budaya tunduk. Feodalisme jenis ini berpotensi menumbuhkan generasi yang patuh tanpa berpikir, bukan yang taat karena memahami nilai-nilai yang diajarkan.

3. Ketimpangan perlakuan berdasarkan status sosial

ilustrasi pejabat
ilustrasi pejabat (unsplash.com/Jorge Maya

Feodalisme modern juga terlihat dari bagaimana masyarakat memperlakukan seseorang berdasarkan status sosial. Orang yang berpenampilan mewah atau memiliki jabatan tinggi sering diperlakukan lebih baik dibanding mereka yang dianggap biasa saja. Misalnya, di acara-acara resmi, tamu penting selalu didahulukan, sementara yang lain harus menunggu meski datang lebih dulu. Perilaku ini sering dianggap wajar, padahal mencerminkan pola pikir yang masih menilai manusia dari posisi sosialnya.

Kebiasaan seperti ini membentuk budaya yang diskriminatif dan menormalisasi ketimpangan sosial. Tanpa disadari, banyak orang tumbuh dengan anggapan bahwa penghormatan hanya layak diberikan kepada mereka yang berkuasa. Sementara itu, yang berada di bawah merasa tidak berhak menyuarakan pendapatnya. Feodalisme semacam ini memperkuat sekat sosial dan memperlambat proses menuju masyarakat yang setara dan terbuka.

4. Pengaruh keluarga elite dalam kehidupan sosial

ilustrasi kumpul keluarga
ilustrasi kumpul keluarga (commons.wikimedia.org/Sham Hardy)

Beberapa keluarga besar di Indonesia masih mempertahankan pola hubungan sosial yang meniru sistem feodal, di mana status keluarga menjadi faktor penentu penghormatan. Anak dari keluarga terpandang sering mendapat perlakuan istimewa, bahkan dalam hal pendidikan, karier, atau pergaulan. Mereka dianggap memiliki otoritas sosial sejak lahir, bukan karena kemampuan, tetapi karena nama keluarga.

Kondisi ini menciptakan ketimpangan kesempatan bagi individu lain yang tidak memiliki privilese serupa. Dalam masyarakat seperti ini, koneksi lebih penting daripada kompetensi, dan usaha keras tidak selalu menjamin pengakuan. Pola semacam ini menanamkan keyakinan bahwa posisi sosial adalah warisan, bukan hasil perjuangan, yang pada akhirnya menghambat nilai keadilan dan meritokrasi dalam kehidupan sosial.

5. Sikap patuh berlebihan terhadap figur publik atau tokoh agama

ilustrasi ustaz
ilustrasi ustaz (pexels.com/Alena Darmel)

Di era media sosial, banyak orang menempatkan figur publik, pemimpin, atau tokoh agama di posisi yang nyaris tak tersentuh kritik. Segala ucapan mereka diterima mentah-mentah tanpa verifikasi, seolah kebenaran hanya milik mereka. Padahal, pemujaan berlebihan terhadap seseorang adalah bentuk feodalisme baru yang bersembunyi di balik rasa kagum. Hal ini bisa membentuk masyarakat yang mudah diarahkan tanpa berpikir panjang.

Sikap seperti ini juga berbahaya karena menutup ruang dialog. Ketika kritik dianggap penghinaan, masyarakat kehilangan kemampuan untuk menilai secara objektif. Rasa hormat memang penting, tetapi harus dibarengi dengan kemampuan menimbang. Feodalisme yang lahir dari ketundukan emosional seperti ini sering membuat seseorang kehilangan cara berpikir secara independen, bahkan dalam hal-hal yang menyangkut kebenaran dan keadilan.

Feodalisme tidak selalu tampak dalam bentuk ekstrem seperti pada masa kerajaan, tetapi bisa hidup dalam perilaku kecil yang kita anggap biasa. Budaya hierarkis yang berlebihan membuat hubungan antarindividu kehilangan keseimbangan. Mungkin kini saatnya kamu bertanya, apakah tanpa sadar kamu juga pernah mempertahankan pola pikir feodal dalam kehidupan sehari-hari?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Hella Pristiwa
EditorHella Pristiwa
Follow Us

Latest in Opinion

See More

5 Contoh Praktik Feodalisme yang Sering Tidak Disadari

01 Nov 2025, 12:01 WIBOpinion
potret umat peziarah yang berziarah ke Gua Lourdes, Prancis (commons.wikimedia.org/Fabio Alessandro Locati)

Keajaiban Baru di Lourdes

24 Sep 2025, 10:34 WIBOpinion