Tanda-tanda Kebijakan Tarif Trump Hanya Menyakiti Diri Sendiri

Intinya sih...
Coca-Cola, Apple, Amazon meninggalkan operasinya di AS akibat kebijakan tarif Trump.
Trump juga bertikai dengan Universitas Harvard. Harvard akhirnya membawa ke pengadilan dan berhasil membatalkan perintah larangan belajar mahasiswa asing.
Pertikaian antara Presiden Trump dengan Elon Musk dan Universitas Harvard menunjukkan ketidakstabilan politik di AS yang berdampak ekonomi, pendidikan, dan hubungan diplomatik.
Tampaknya semakin jelas adanya tanda bahwa kebijakan peningkatan tarif impor terhadap semua barang dan jasa yang masuk ke AS yang diambil Presiden Trump sebenarnya hanya merugikan perekonomian dan penduduk AS sendiri. Ini tampak dari perusahaan-perusahaan raksasa seperti Coca-Cola, Apple, Amazon dan beberapa lagi meninggalkan operasinya dari negeri Paman Sam ke negeri lain yang lebih bersahabat terhadap kegiatan usaha.
Selain itu perusahaan yang bersangkutan dengan kegiatan pariwisata juga mulai mengeluh karena sangat berkurangnya jumlah wisatawan berkunjung ke AS, tidak seperti biasanya. Kondisi ini terjadi karena tindakan boikot Kanada dan Mexico, serta beberapa negara lain yang biasanya membanjiri AS sebagai wisatawan di sejumlah kota dan objek wisata dengan kegiatan usaha yang terkait, dari transport, hotel, restoran dan sejenisnya. AS juga baru meningkatkan tarif impor minuman beralkohol dari Eropa sebanyak 200 persen yang berakibat fatal bagi usaha bar dan sejenisnya di AS. AS pun berencana meningkatkan tarif impor baja menjadi 50 persen yang tentu akan berakibat fatal buat industri otomotif.
Sementara itu pertikaian antara Presiden Trump dengan Universitas Harvard juga berkelanjutan dengan ketentuan larangan universitas terkenal ini menerima mahasiswa asing belajar di sana. Mereka yang sekarang belajar di universitas tersebut diminta pindah ke universitas lain, tetapi dengan ancaman bahwa universitas lain di kemudian hari juga mungkin tidak lagi diperbolehkan menerima mahasiswa asing. Artinya, Amerika di baah kepemimpinan Trump tidak mau menerima orang asing belajar di universitas-universitas AS.
Padahal banyak universitas yang boleh dikatakan hidupnya dengan mengandalkan kedatangan mahasiswa asing. Subsidi pemerintah buat penelitian kepada Harvard University sebesar US$2 miliar juga dihentikan. Universitas Harvard mengajukan kasus ini ke pengadilan, dan Hakim Federal Massachusetts Allison D. Borough mengeluarkan keputusan membatalkan perintah larangan penerimaan mahasiswa asing ini, dan Harvard kembali terbuka buat mahasiswa asing.
Setelah itu sejumlah alumni Harvard ternama, termasuk Professor Jeffrey Sachs dari Universitas Columbia dan mantan Presiden Barack Obama melancarkan protes dan kritik pedas kepada Presiden Trump dengan mengemukakan bahwa pemberian subsidi penelitian dengan ikatan merupakan perbuatan melawan hak berpendapat dan melakukan studi yang dilindungi sepenuhnya oleh konstitussi. Juga bahwa Universitas Harvard menggunakan jalur hukum dalam kasus ini karena menundukkan diri kepada hukum dan Konstitusi.
Setelah itu baik Presiden Harvard Professor Alan Garber maupun sejumlah tamu yang diundang untuk memberikan pidato Commencement, termasuk akror Tom Hank, Anhor CNN Emmy Christian Amanpour, menyuarakan kritik serupa untuk lebih memperkuat protes kapada tindakan semena-mena Presiden Trump.
Tentu saja seluruh civitas akademika Harvard, utamanya Angkatan lulusan 2025, menyambut gembira Keputusan Hakim Federal Allison Borough tersebut. Mereka semua menyambut kemenangan konstitusi dengan hangat. Suatu kejadian yang memalukan di negara adi kuasa AS. Apalagi sekiranya benar pemberitaan di media bahwa kemarahan Presiden Trump terhadap Harvard Universwity ini lantaran putera kesayangannya Barron Trump tidak diterima di universitas ini dan akhirnya masuk NYU (New York University). Saya tidak tahu tentang benar tidaknya berita ini, meskipun sekiranya benar saya harus berterus terang bahwa saya tidak heran kalau demikian, itu pendapat pribadi saya tentang beliau.
Buat orang kebanyakan di AS keluhan mereka menyangkut apa yang mereka rasakan dan alami, kalau pekerja Coca Cola lalu kehilangan pekerjaan ya tentu menderita, sama saja pekerja di pabrik otomotif yang kehilangan kerja tentu menderita. Dan, kehilangan kesempatan kerja ini sangat besar buat masyarakat Amerika dengan semua penderitaan yang menyertainya. Serupa halnya dengan turisme dan dunia pendidikan tentu semua berharap akan kembali normal seperti semula.
Kapan itu terjadi itu masalahnya. Ada suatu interview yang diberikan seorang Profesor Emeritus dari Harvard Law School Alan Dershowitz yang kurang jelas apa alasannya, tetapi ia mengatakan bahwa akhirnya Presiden Trump akan menang dalam pertikaian ini. Entah bagaimana argumennya, buat saya aneh saja.
Sebagai alumnus berbagai universitas AS, dari University of Wisconsin, Madison, Wis, Rice University, Huston, Texas, dan Boston University, Boston Massachusetts, saya juga ikut berharap agar dunia univeritas di AS Kembali normal seperi semula sehingga terus bisa menghasilkan kemajuan dalam semua cabang Ilmu Pengetahuan buat kesejahteraan bersama. Pada awal pemerintahannya Presiden Trum memutuskan untuk menyerahkan bidang pendidikan kepada pemerintah negara bagian, saya sudah curiga, apa akan jadinya nanti, tetapi tidak membayangkan ada hal-hal yang kemudian berkembang seperti yang saya narasikan di atas. Kembali, semoga cepat pulih seperti semua dan semakin maju lagi.
Akhirnya saya ingin menyinggung persoalan merenggangnya kedekatan Presiden Trump dengan orang terkaya di dunia, miliuner Elon Musk. Elon Musk, tidak jelas mengapa seperti meninggalkan Presiden Trump, sampai akan membeberkan hubungan Presiden dengan sex offender Jeffrey Epstein yang meninggal karena diduga bunuh diri yang sangat bikin malu Presiden Trump. Bahkan Elon Musk mengatakan bahwa Presiden Trump harusnya di-impeached. Ini jelas membuat Presiden Trump marah, meskipun hanya diberitakan ‘disappointed’. Tetapi pendukung dekatnya Ste Bannon menganjurkan agar Elon Musk dideportasi saja ke negara asalnya, Afrika Selatan.
Memang cerita tentang Presiden Trump tidak pernah ada habisnya. Saya tutup sampai di sini saja dengan suatu cerita yang tidak kalah anehnya, waktu menjamu Kanselir Frederich Merz dari Jerman. Kebetulan dilakukan pada hari peringatan yang dikenal sebagai D-Day, tanggal 6 Juni, di tahun 1942 lalu, di mana telah dilakukan pendaratan tentara sekutu di Pantai Normandy, Prances yang kemudian tentara sekutu terus menghalau tentara Jerman dan Nazi sampai akhir. Anehnya, Presiden Trump sepertinya tidak menganggap D-Day ini suatu hari yang penting, sampai pak Kanselir jadi bingung. Mengherankan ya? (Dradjad, 15/06/2025)
Guru Besar Ekonomi Emeritus, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (FEBUI), Jakarta.