4 Fakta Menarik Bakteri Pemakan Logam, Bisa Menghasilkan Emas

- Bakteri pemakan logam, seperti Cupriavidus metallidurans, mengubah logam beracun menjadi emas murni dengan enzim khusus.
- Leptospirillum ferriphilum di gurun Atacama, Chile, menggunakan teknik bioleaching untuk ekstraksi tembaga secara ramah lingkungan.
- Halomonas titanicae memakan besi dari bangkai kapal Titanic dan dimanfaatkan untuk daur ulang logam serta penelitian anti-korosi masa depan.
Bayangkan ada bakteri yang mampu "memakan" besi, mengubah logam beracun menjadi emas, atau bahkan merusak kapal legendaris Titanic! Mereka bukan makhluk fiksi, melainkan bakteri pemakan logam yang nyata. Organisme mikroskopis ini mengandalkan reaksi kimia dari logam seperti besi dan mangan sebagai sumber energi, menggantikan peran makanan atau sinar matahari.
Ditemukan di lingkungan ekstrem seperti tambang, dasar laut, hingga bangkai kapal, bakteri ini memiliki peran vital dalam ekosistem. Tidak hanya menjadi penyebab korosi, mereka juga menjadi harapan baru untuk membersihkan limbah tambang dan menciptakan teknologi ramah lingkungan. Penasaran? Simak empat faktanya!
1. Bakteri Ini dapat menghasilkan emas dari logam beracun

Cupriavidus metallidurans merupakan "ahli kimia" alami yang hidup di tanah terkontaminasi logam berat. Bakteri ini mengonsumsi tembaga dan emas beracun, lalu mengubahnya menjadi butiran emas murni berukuran mikroskopis. Proses ini mirip detoksifikasi: mereka menetralkan racun logam dengan enzim khusus, lalu mengeluarkan emas sebagai produk sampingan.
Penemuan ini menjadi solusi potensial untuk mengurangi polusi logam berat di area pertambangan. Bayangkan, bakteri ini ibarat pembersih yang mampu menyulap limbah beracun menjadi harta karun! Peneliti Jerman bahkan menemukan strain yang dapat menghasilkan partikel emas sepuluh kali lebih cepat. Meski belum diproduksi secara massal, teknologi ini membuka peluang untuk pertambangan emas berkelanjutan.
2. Mampu membersihkan limbah tambang hanya dalam tiga hari

Di gurun Atacama, Chile, bakteri Leptospirillum ferriphilum menjadi pahlawan lingkungan. Dengan "lapar" akan besi, mereka mampu melarutkan paku logam hanya dalam tiga hari! Caranya? Bakteri ini mengeluarkan cairan asam yang mengikis logam, menyisakan larutan kaya mineral. Larutan ini kemudian digunakan untuk ekstraksi tembaga tanpa merusak alam.
Teknik bernama bioleaching ini 100% ramah lingkungan dibandingkan metode tambang konvensional. Para ilmuwan sengaja membuat bakteri "kelaparan" agar lebih agresif menguraikan logam. Hasilnya? Limbah tambang yang membutuhkan dua bulan untuk terurai kini dapat dibersihkan secepat pemesanan makanan daring!
3. Ditemukan di bangkai kapal Titanic yang membentuk lapisan lendir

Halomonas titanicae adalah "siluman" yang diam-diam menggerogoti bangkai Titanic sejak 1912. Bakteri ini menempel di permukaan besi, membentuk lapisan lendir yang mempercepat pengaratan. Setiap hari, mereka melahap 0,1-0,15 gram besi dari kapal—setara dengan berat dua klip kertas.
Namun, jangan salah sangka, kemampuan ini justru dimanfaatkan untuk daur ulang kapal tua. Dengan menempatkan bakteri di kapal yang akan dibongkar, proses penguraian logam bisa lebih efisien. Ilmuwan Kanada bahkan meneliti DNA-nya untuk menciptakan bahan anti-korosi masa depan.
4. Bakteri pemakan mangan ditemukan secara tidak sengaja

Kisah penemuan bakteri pemakan mangan di Caltech mirip cerita film. Saat meneliti bakteri lain, Dr. Jared Leadbetter lupa membersihkan peralatan gelas laboratorium yang terendam air keran. Dua bulan kemudian, gelas itu dipenuhi noda hitam—bukti bakteri telah mengoksidasi mangan sebagai sumber energi!
Penemuan ini mengubah pemahaman tentang siklus mangan di alam. Bakteri ini ternyata berperan sebagai "daur ulang alami" yang mengembalikan mineral ke tanah. Kini, para ahli sedang meneliti kemampuannya untuk menyaring mangan berlebih di air minum—solusi murah untuk daerah dengan air tercemar.
Dari penghasil emas hingga pembersih limbah, bakteri pemakan logam membuktikan bahwa hal kecil bisa memberi dampak besar. Penelitian terus dikembangkan untuk memanfaatkan mereka dalam industri dan konservasi. Siapa sangka, solusi masalah lingkungan justru datang dari makhluk tak kasatmata?