4 Fakta Ngeri Desa Nagoro, Arwah Warganya Diabadikan Jadi Boneka

- Jumlah boneka 10 kali lipat lebih banyak dari warga desa yang masih hidup
- Berawal dari satu orang, kini semua warga digantikan oleh boneka
- Setiap boneka adalah arwah dari warga yang telah tiada
Pernahkah kamu membayangkan sebuah desa hantu? Mungkin yang terlintas adalah bangunan kosong dan jalanan yang sunyi. Namun, di sebuah lembah terpencil di Jepang, ada sebuah desa yang justru terasa penuh sesak, meski penghuni aslinya nyaris tidak ada lagi.
Desa bernama Nagoro ini dipenuhi oleh ratusan boneka seukuran manusia yang diam-diam menjalani kehidupan sehari-hari. Dilansir All That's Interesting, fenomena unik sekaligus menyeramkan ini adalah karya seorang seniman lokal untuk melawan rasa sepi. Namun, di balik niat tulus itu, tersimpan empat fakta mengerikan yang membuat desa ini terasa seperti panggung dari sebuah film horor.
1. Jumlah boneka 10 kali lipat lebih banyak dari warga desa yang masih hidup

Fakta paling mencengangkan tentang Nagoro adalah perbandingan jumlah penduduknya. Dahulu, desa ini adalah rumah bagi sekitar 300 penduduk yang hidup dari industri kehutanan dan pembangunan bendungan. Kini, populasi manusia yang tersisa di Nagoro bahkan tidak lebih dari 30 orang, dan sebagian besar sudah lansia.
Sementara populasi manusia menyusut drastis, populasi boneka justru meledak hingga mencapai lebih dari 350 buah. Angka ini menciptakan sebuah realitas yang ganjil dan tidak seimbang. Di setiap sudut desa, kemungkinan besar kamu akan bertemu dengan 'penduduk' boneka, bukan manusia sungguhan.
Bagi pengunjung, sensasi ini bisa sangat meresahkan. Bayangkan berjalan di sepanjang jalan desa, di mana kamu merasa terus-menerus diawasi oleh puluhan pasang mata kancing yang tak berkedip. Kehadiran mereka yang statis dan senyap membuat kesunyian desa terasa semakin pekat dan menghantui.
2. Berawal dari satu orang, kini semua warga digantikan oleh boneka

Proyek menyeramkan ini tidak dimulai dengan niat untuk menciptakan desa boneka. Semuanya adalah karya seorang wanita bernama Tsukimi Ayano, yang kembali ke Nagoro pada awal tahun 2000-an setelah merantau. Ia merasa kesepian karena banyak tetangga dan teman masa kecilnya yang telah pindah atau meninggal dunia.
Boneka pertamanya adalah orang-orangan sawah yang ia buat agar mirip dengan mendiang ayahnya, dengan tujuan untuk menakut-nakuti burung di ladangnya. Namun, ia segera menyadari bahwa membuat boneka yang mewakili orang-orang yang dikenalnya bisa membantunya mengatasi rasa sepi. Dari situlah proyek ini mulai berkembang pesat.
Apa yang berawal dari satu boneka untuk mengenang sang ayah, kini telah menjadi sebuah misi seumur hidup. Tsukimi Ayano terus menciptakan boneka baru untuk menggantikan setiap warga yang meninggalkan Nagoro, baik karena pindah maupun meninggal. Secara perlahan tapi pasti, ia mengubah desanya menjadi sebuah monumen hidup yang diisi oleh boneka.
3. Setiap boneka adalah arwah dari warga yang telah tiada

Hal yang membuat boneka-boneka di Nagoro benar-benar terasa mengerikan adalah identitas di baliknya. Mereka bukanlah boneka generik tanpa nama. Setiap boneka dibuat secara spesifik untuk mewakili seorang warga Nagoro yang sesungguhnya, lengkap dengan kepribadian dan kenangannya.
Tsukimi Ayano dengan cermat membuat setiap boneka agar memiliki ciri khas orang yang diwakilinya, mulai dari postur tubuh hingga gaya berpakaian. Lebih dari itu, banyak boneka yang mengenakan pakaian asli milik almarhum warga, yang disumbangkan oleh keluarga mereka. Hal ini menciptakan hubungan yang sangat personal dan kuat antara boneka dengan arwah yang diwakilinya.
Dengan begitu, boneka-boneka ini bukan lagi sekadar pajangan, melainkan sebuah medium untuk mengenang. Mereka adalah representasi fisik dari jiwa-jiwa yang pernah meramaikan desa. Kehadiran mereka mengubah lanskap Nagoro menjadi sebuah pemakaman terbuka yang aneh, di mana para "arwah" tetap beraktivitas di tempat terakhir mereka
4. Satu desa menjadi panggung bisu yang dipenuhi kenangan

Boneka-boneka di Nagoro tidak hanya diletakkan sembarangan, tetapi diposisikan dalam adegan-adegan yang menggambarkan kehidupan sehari-hari. Tsukimi Ayano menempatkan mereka di lokasi-lokasi yang paling bermakna bagi orang yang mereka wakili. Ini menciptakan diorama raksasa yang membekukan waktu.
Kamu bisa menemukan sebuah ruang kelas yang penuh dengan murid-murid boneka dan seorang guru boneka, selamanya terjebak dalam pelajaran yang tak pernah usai. Di tempat lain, sekelompok boneka terlihat menunggu di halte bus, seolah menanti perjalanan yang tidak akan pernah datang. Ada pula yang sedang memancing di sungai, berkebun, atau sekadar duduk santai di teras rumah.
Seluruh desa pun berubah menjadi sebuah panggung bisu, tempat adegan-adegan kehidupan masa lalu dipentaskan oleh aktor-aktor yang tak bernyawa. Pemandangan ini menciptakan suasana yang sangat melankolis sekaligus menyeramkan. Nagoro bukan lagi desa yang hidup, melainkan sebuah museum kenangan yang abadi.
Nagoro adalah potret nyata dari fenomena depopulasi di pedesaan Jepang, yang dibalut dalam sebuah karya seni yang menyentuh sekaligus membuat bulu kuduk berdiri. Desa ini menjadi monumen bagi komunitas yang hilang dan perlawanan unik seorang wanita terhadap kesepian. Kira-kira, kamu bakal berani gak mengunjungi desa sunyi yang dihuni oleh ratusan pasang mata boneka ini?