5 Fakta Ular Bertanduk Ekor Laba-Laba, Punya Strategi Berburu Unik

Pernah dengar nama ular bertanduk ekor laba-laba (Pseudocerastes urarachnoides)? Ular ini masuk dalam keluarga beludak atau viper (famili Viperidae) yang memiliki panjang rata-rata sekitar 50—65 cm dengan bobot tak lebih dari 450 gram saja. Ada sejumlah ciri fisik menarik dari ular bertanduk ekor laba-laba.
Misalnya saja, mata hingga sisiknya ditutupi warna cokelat, ada sepasang tanduk di area kepala yang khas bagi keluarga beludak, serta keberadaan ekor unik yang berbentuk seperti laba-laba. Tentunya, ia tergolong sebagai ular berbisa sehingga dapat membahayakan manusia sekalipun. Tenang saja, kalau sudah sangat penasaran, yuk, kita bahas fakta lengkap dari ular yang satu ini!
1. Peta persebaran dan habitat alami

Ular bertanduk ekor laba-laba bisa dibilang merupakan spesies yang baru ditemukan karena peneliti pertama mengidentifikasinya pada 1968. Ular ini ditemukan di bagian barat Iran dan diperkirakan juga bisa ditemukan di kawasan timur Irak. Oleh sebab itu, salah satu sebutan lain bagi ular bertanduk ekor laba-laba adalah beludak tanduk persia.
Dilansir AZ Animals, dataran tinggi jadi tempat paling sesuai untuk ular yang satu ini. Ia sangat suka berada di kawasan berbatu ataupun berpasir karena sisiknya mampu memberikan ular ini kemampuan kamuflase yang sangat sempurna, terutama pada batu gipsum dan kapur. Sayangnya, saat ini habitat yang cocok untuk ular bertanduk ekor laba-laba mulai terbatas karena tergerus secara perlahan, baik secara alami maupun faktor manusia.
2. Makanan favorit dan cara berburu yang unik

Tentunya, ular bertanduk ekor laba-laba merupakan karnivor sejati. Menu makanan ular ini pun sangat beragam, mulai dari mamalia kecil, reptil, hingga artropoda yang melintas di sekitar rumahnya. Namun, ada satu jenis mangsa favorit ular bertanduk ekor laba-laba, yaitu burung. Berkat jenis mangsa ini, ular ini mengembangkan ekor berbentuk laba-laba yang jadi ciri khasnya.
Saat pertama kali ditemukan, ekor dari ular ini dikira sebagai bentuk mutasi genetik unik pada satu individu saja. Baru pada tahun 2006 diketahui kalau seluruh ular bertanduk ekor laba-laba memiliki bentuk ekor yang sama dengan satu tujuan yang sama pula, yakni berburu. Uniknya, burung yang jadi target buruan ular ini bukan burung lokal di sekitar haibtatnya, melainkan spesies burung yang sedang bermigrasi. Dilansir National Geographic, hal ini diperkirakan terjadi lantaran spesies burung lokal sudah beradaptasi dengan cara berburu ular ini sehingga sulit untuk terjebak.
Adapun, cara berburu ular ini mirip seperti proses manusia saat memancing. Mula-mula, ular bertanduk ekor laba-laba akan diam hingga berbaur dengan batuan di sekitar. Kemudian, ekor berbentuk laba-laba itu akan digerak-gerakkan hingga menyerupai laba-laba sungguhan. Jika ada burung yang tertarik menghampiri ekornya, maka ular bertanduk ekor laba-laba akan langsung menerkamnya dengan cepat.
Berdasarkan penelitian dalam jurnal Amphibia-Reptilia, diketahui kalau proses menerkam bagi ular ini hanya memerlukan waktu 0,2 detik saja! Meski jadi alat memancing burung yang penting, ekor laba-laba milik ular ini tidak permanen. Pada beberapa individu, ekornya bisa lepas karena burung yang menghampirinya terlanjur mematuk dengan keras. Kalau sudah begitu, biasanya ular bertanduk ekor laba-laba akan mengembangkan metode berburu lain dengan pilihan mangsa yang berbeda pula.
3. Bisa milik ular ini termasuk sangat berbahaya

Sebagai ular beludak, sudah pasti ular bertanduk ekor laba-laba memiliki bisa yang digunakan untuk melumpuhkan mangsanya. Forbes melansir kalau jenis racun pada bisa ular ini adalah cytotoxic. Bagi hewan seukuran mamalia kecil atau burung, racun milik ular ini dapat melumpuhkan mereka dalam kurun waktu 13 detik saja.
Hal yang lebih menyeramkan lagi, bisa milik ular bertanduk ekor laba-laba dapat membahayakan nyawa manusia. Sebab, kandungan cytotoxic pada bisanya bisa menyebabkan koagulasi pada darah, seperti efek gigitan beludak russell. Gejala yang diperkirakan bisa timbul antara lain muntah-muntah, demam, pusing, kejang, pembekuan darah, hingga gagal ginjal. Beruntungnya, tak pernah ada laporan gigitan ular bertanduk ekor laba-laba pada manusia. Dampak yang disebutkan sebelumnya merupakan hasil pengujian lab dan perkiraan yang dilakukan oleh peneliti.
4. Sistem reproduksi

Tak diketahui secara pasti soal kapan musim kawin bagi ular bertanduk ekor laba-laba. Hanya saja, sebelum mendekati calon pasangannya, biasanya pejantan akan mencoba menunjukkan gerakan agresif guna menarik perhatian betina. Barulah setelah itu keduanya akan kawin dan betina mencari tempat yang sesuai untuk meletakkan telurnya.
Dilansir AFJRD, ular bertanduk ekor laba-laba betina biasanya akan mencari lubang milik hewan lain ataupun celah bebatuan sebagai tempat untuk bertelur. Dalam satu kali kawin, biasanya ular ini akan menghasilkan 8—23 butir telur yang akan mengalami masa inkubasi selama 60—70 hari. Menariknya, saat baru menetas, anak ular bertanduk ekor laba-laba tidak langsung memiliki ekor khas spesies ini. Anak-anak ular ini baru akan mengembangkan ekor tersebut seiring penambahan usia.
5. Status konservasi

Meski mampu menarik perhatian karena cara berburunya yang unik, nyatanya ular bertanduk ekor laba-laba terbilang sangat sulit untuk dijumpai. Bukan karena ular ini sudah langka, tetapi karena kemampuan kamuflasenya yang sangat sempurna dan sulitnya akses peneliti untuk pergi ke habitatnya. Maka dari itu, IUCN Red List masih melabeli ular bertanduk ekor laba-laba dalam kategori data deficient.
Jika merujuk pada kerusakan habitat alaminya, banyak sumber yang menyebut kalau sebenarnya populasi ular ini mulai berkurang. Beruntungnya, pemerintah setempat mulai gencar melakukan perlindungan terhadap spesies ini. Misalnya saja dengan melarang perburuan, perdagangan illegal, serta memasukannya dalam daftar spesies CITES (Convention on International Trade in Endangered Species).
Melihat ular bertanduk ekor laba-laba rasanya memberikan satu bukti lagi tentang betapa menariknya alam. Berkat evolusi yang berlangsung selama ribuan atau bahkan jutaan tahun, spesies ini bisa mempelajari apa makanan kesukaan calon mangsanya dan menggunakan pengetahuan itu untuk menjebaknya dengan cara yang unik. Benar-benar pemancing yang ulung!