Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Fakta Jugun Ianfu

kenh14.vn

Kabar atau informasi mengenai perbudakan terkait asusila di zaman Jepang mungkin sudah tidak asing lagi. Perbudakan terkait asusila ini disebut sebagai jugun ianfu, ialah wanita-wanita korban perbudakan terkait asusila koloni Jepang pada Perang Dunia II. Masalah jugun ianfu ini pun kembali mencuat tatkala para korbannya bersuara, menuntut permintaan maaf dari pemerintah Jepang.

Pada zamannya, Jepang memanfaatkan para budak wanita ini dengan berbagai iming-iming, mulai dari pekerjaan hingga kekayaan. Para wanita yang termakan bujuk rayu para koloni Jepang pun akhirnya berhasil masuk ke dalam sebuah kandang buaya yang tak hanya mengerikan, namun juga menyakitkan.

Ada banyak hal yang belum sempat tersampaikan ke masyarakat umum mengenai jugun ianfu ini. Namun beberapa fakta berikut di bawah, akan mencoba membuka lembaran tabu yang tak banyak diketahui orang. Ketika orang lain hanya mengetahui jika para korban adalah seorang wanita yang dipaksa menjadi perbudakan terkait asusila, bagi para jugun ianfu, keadaan mereka jauh lebih dari hanya sekedar kata "terpaksa".

1. Wanita Jepang menjadi perbudakan terkait asusila secara sukarela

pencuriviral.com

Kisah ini memiliki awal yang bisa dikatakan baik-baik saja untuk para wanita di tanah jajahan Jepang, sebab ada wanita-wanita yang rela menjadi pemuas nafsu para tentaranya. Wanita-wanita itu berasal dari negara Jepang sendiri. Mereka menawarkan jasa layanan kepada para prajurit negaranya sebagai wanita penghibur. Namun, ketika Jepang memperluas wilayah ekspansi mereka, di sinilah kisah sedih itu bermula.

Jepang mulai kekurangan wanita penghibur untuk memuaskan hasrat para prajuritnya. Alhasil, mereka pun memaksa para wanita di wilayah jajahannya sebagai perbudakan terkait asusila.

2. Tak hanya wanita Indonesia yang menjadi perbudakan terkait asusila Jepang pada PD II

t2conline.com

Ketika wanita penghibur tak sebanding dengan jumlah tentara yang menginginkan jasa layanan pemuas hasrat seksual, sebuah kisah dan catatan kelam pun mulai menjadi sejarah yang mengerikan. Jepang, akhirnya mempekerjakan perbudakan terkait asusila di wilayah jajahannya dengan iming-iming pekerjaan.

Para wanita tadi berpikir, jika mereka akan dipekerjakan sebagai perawat, buruh pabrik, sekolah ke luar negeri, atau menjadi pemain sandiwara. Tapi kenyataan yang mereka terima justru sebaliknya.

Berawal dari Korea, Taiwan, dan China, hingga akhirnya meluas ke wilayah Indonesia, Jepang menggunakan taktik yang sama untuk merekrut para jugun ianfu. Di Indonesia, tak hanya orang pribumi yang menjadi korban tapi juga para wanita berdarah Belanda, Portugis, dan Prancis turut menjadi penghuni rumah bordil.

3. Ianjo, saksi bisu kejamnya tentara Jepang pada Jugun Ianfu

mirageworldofwomen.wordpress.com

Ianjo atau rumah bordil adalah rumah yang digunakan sebagai tempat praktik prostitusi ini terjadi. Di rumah bordil, para wanita tak diizinkan keluar dari komplek pelacuran itu, kecuali dengan izin khusus. Ianjo juga menjadi tempat yang menyeramkan ketika sebuah rumah bordil dikelilingi oleh kawat berduri, seperti kamp pertahanan.

Para wanita yang menjadi perbudakan terkait asusila pun diperlakukan secara tak manusiawi oleh tentara Jepang. Tak hanya dipaksa untuk melayani nafsu bejat para prajurit, wanita yang menolak untuk berhubungan badan pun tak segan-segan diperlakukan kasar. Mereka akan dipukul, dilempar keluar bilik hingga menyebabkan tangan atau kaki mereka patah, atau ditikam dengan pisau belati.

Ada hukuman lain: Lari dipenggal, berontak dibunuh, dan jika hamil akan dibayonet sampai mati. Semua hukuman itu berlaku untuk para perbudakan terkait asusila yang menolak permintaan para prajurit. Hukuman pun tak berlaku itu saja. Semua kendali hukuman ada di tangan para prajurit yang tak terima penolakan. Bahkan, mereka bisa melakukan yang lebih parah dari pada itu kepada para jugun ianfu.

Mirisnya, meski terluka, para jugun ianfu tadi akan dirawat di rumah sakit setempat, lalu di kembalikan lagi ke dalam rumah bordil untuk melakukan pekerjaan mereka yang 'sempat tertunda' akibat pengobatan yang harus mereka jalani.

4. Jumlah korban dan tuntutan keadilan

http://rickyadrianphotography.blogspot.com

Hingga saat ini belum diketahui jumlah korban pasti dalam praktik perbudakan terkait asusila ini, karena tidak adanya dokumen yang menyebutkan perkiraan jumlah wanita yang dijadikan perbudakan terkait asusila dari berbagai wilayah jajahan Jepang saat Perang Dunia II berlangsung. Jumlah wanita yang menjadi perbudakan terkait asusila, saat ini diperkirakan mencapai 50 hingga 200 ribu orang.

Dengan demikian, tuntutan permintaan maaf kepada Jepang pun datang dari berbagai wanita di belahan dunia yang sempat menjadi korban perbudakan itu. Mulai dari Korea hingga Indonesia, para wanita mantan jugun ianfu itu berteriak meminta keadilan dan permintaan maaf dari pemerintah Jepang. Hal ini pun mendorong terselenggaranya pengadilan rakyat yang bertujuan mengumpulkan para korban agar bisa bersaksi soal praktik perbudakan terkait asusila tersebut.

Pengadilan rakyat oini adalah "Women's International War Crimes Tribunal on Japan's Military Sexual Slavery". Sebelumnya, pengadilan serupa juga pernah dilakukan oleh Jepang pada tahun 1946 terkait kejahatan perang yang dilakukan Jepang dan juga untuk menampung laporan kasus tindak kejahatan seksual oleh militer Jepang.

Tujuh dokumen yang dibawa oleh pemerintah Belanda, Prancis, dan China yang menyimpulkan bahwa militer Jepang secara langsung memaksa para perempuan untuk bekerja di ianjo, seperti di wilayah-wilayah Indonesia, China, Timor Leste, dan Vietnam. Namun, tujuh dokumen tersebut dianggap mempermalukan kabiet Shinzo Abe. Akibatnya, anggota kabinet menyatakan jika tidak adanya bukti bahwa militer Jepang terlibat langsung dalam pemaksaan tersebut.

Jepang selalu memposisikan dirinya sebagai "war victim" atau korban perang. Padahal, jelas jika mereka justru berada di posisi sebaliknya. Jepang bahkan pernah mencoba menghancurkan catatan perang ketika tahu negaranya akan kalah dalam Perang Dunia II.

Penghancuran catatan perang tersebut tak lain bertujuan agar Jepang bisa terhindar dari konsekuensi hukum di mata dunia. Penghancuran dokumen tersebut sangatlah efektif untuk bangsa Jepang karena dapat menutupi kebengisan pemerintahannya sendiri dari masyarakatnya. Mungkin itu juga jadi penyebab, mengapa tak ada dokumen atau catatan pasti jumlah korban wanita yang menjadi perbudakan terkait asusila.

Jepang pun menjadi sangat denial ketika menyangkut masalah comfort women, yang mereka anggap sebagai akal-akalan negara bekas jajahan Jepang untuk mendapatkan ganti rugi. Mereka juga berprasangka, jika negara bekas jajahannya itu sengaja melakukan hal tersebut agar bisa mempermalukan negara Jepang di hadapan publik atas apa yang telah mereka lakukan di masa lalu.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Mohamad Aria
Ernia Karina
Mohamad Aria
EditorMohamad Aria
Follow Us