Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Planet di Luar Angkasa Berbentuk Bulat?

ilustrasi urutan planet dalam tata surya (commons.wikimedia.org/PlanetUser)
ilustrasi urutan planet dalam tata surya (commons.wikimedia.org/PlanetUser)

Luar angkasa sampai saat ini masih menyimpan berbagai misteri yang seolah menunggu kita untuk mengungkapkannya. Faktanya, rasa penasaran manusia soal ilmu astronomi sudah dimulai jauh sebelum roket pertama diluncurkan ke luar angkasa. Dilansir European Space Agency, observasi terhadap luar angkasa setidaknya sudah dilakukan oleh orang-orang Asyur-Babilonia sekitar tahun 1000 SM. Sejak saat itu, kita terus menambah pengetahuan tentang ilmu astronomi secara bertahap.

Nah, pada era yang modern ini, rasanya pertanyaan-pertanyaan seputar ilmu astronomi itu sudah mulai terungkap lebih mendalam. Dulu, ada begitu banyak pertanyaan yang sangat misterius. Namun, kini, hal tersebut sudah bisa dijawab berkat pendekatan sains yang lebih matang, salah satunya terkait dengan bentuk-bentuk planet yang ada di luar angkasa.

Kamu pasti sadar, kan, kalau planet yang selama ini berhasil diobservasi, baik yang ada di dalam ataupun luar tata surya, itu punya bentuk yang sama, yakni cenderung bulat. Tentunya, bentuk ini bukan kebetulan belaka karena para ahli astronomi sudah berhasil mengungkap alasan di balik bentuk planet yang sama ini. Ingin tahu jawabannya? Yuk, simak pembahasan berikut ini sampai tuntas!

1. Ada peran gravitasi di balik bentuk bulat pada planet

potret badai yang diambil dari International Space Station (commons.wikimedia.org/NASA/Goddard Space Flight Center)
potret badai yang diambil dari International Space Station (commons.wikimedia.org/NASA/Goddard Space Flight Center)

Sebelum menjawab soal penyebab bentuk bulat pada planet, perlu kita ketahui dulu soal apa yang membentuk planet. Sebenarnya, planet yang ada di luar angkasa muncul saat adanya berbagai material yang melayang, saling berbenturan, sampai akhirnya tertarik hingga membentuk gumpalan. Saat material itu sudah terkumpul cukup banyak, muncul gaya gravitasi yang menahan material-material tersebut supaya tetap ada di tempat yang sama.

Nah, artinya, jawaban singkat soal apa yang bertanggung jawab di balik bentuk planet adalah gravitasi. Ya, planet secara alami memiliki gaya gravitasinya sendiri yang menyelimuti seluruh bagiannya. NASA melansir kalau gravitasi pada planet itu menarik semua bagian yang masuk dalam lingkupnya dari pusat sampai ke sisi, layaknya jari-jari pada roda sepeda.

Nah, gravitasi pada planet terus melontarkan energi yang tarikan yang besar ke arah pusat dan menyebar secara merata ke segala arah permukaan planet. Alhasil, material yang berkumpul itu menghasilkan bentuk bulat jika diobservasi. Ini terjadi bahkan di permukaan yang sebenarnya bisa saja ada bagian yang lebih tinggi, seperti gunung, ataupun rendah, semisal palung. Kasus tarikan itu memang mudah dipahami jika planet yang kita bahas itu tercipta dari mayoritas batuan, semisal Bumi dan Mars. Akan tetapi, bagaimana jika planet itu lebih banyak tersusun oleh material gas, seperti Jupiter dan Saturnus?

Dilansir Carnegie Science, planet gas seperti Jupiter ataupun Saturnus sebenarnya tetap menarik material padat pada fase awal pembentukan mereka. Setelah semakin besar, gravitasi planet gas mampu untuk memerangkap gas hidrogen dan helium yang dapat melemparkan atau menyapu kerikil kecil yang mengandung es di sekitar atmosfer. Uniknya, atmosfer di planet gas itu punya dua bagian berbeda. Adapun, bagian luar cenderung tipis dan bagian dalam jadi lebih tebal.

Tak ada air yang bisa masuk ke dalam permukaan mengingat atmosfer yang tebal itu jauh lebih panas. Alhasil, air yang ada di sekitar planet gas itu hanya ada pada ketinggian tertentu (biasanya di tengah-tengah lapisan permukaan dan atmosfer luar). Sementara, bagian permukaan terus menghasilkan gas dari penguapan air. Hebatnya, gravitasi planet gas, seperti Jupiter dan Saturnus, sangat kuat sampai-sampai gas yang dihasilkan tidak terbang keluar dari lapisan atmosfer luar.

2. Planet memang berbentuk bulat, tetapi bukan bulat sempurna

foto Bumi yang diambil dari permukaan Bulan dalam misi Apollo 11 (commons.wikimedia.org/NASA /Apollo 11)
foto Bumi yang diambil dari permukaan Bulan dalam misi Apollo 11 (commons.wikimedia.org/NASA /Apollo 11)

Dari awal, kita membahas kalau bentuk planet itu bulat. Akan tetapi, perlu diingat kalau definisi "bulat" pada planet itu bukan berarti bulat sempurna. Memang, bagian permukaan planet itu ada tekstur berbeda-beda, baik itu tonjolan dari gunung atau lubang dari lautan. Namun, bukan itu alasan yang menyebabkan bentuk planet jadi tidak bulat sempurna. Sebab, sekalipun ada berbagai tekstur di permukaan suatu planet, ukurannya tak cukup signifikan sampai mengubah rupa planet jika diamati dari luar angkasa.

Ada satu alasan mengapa planet itu hampir mustahil untuk memiliki bentuk bulat sempurna, yaitu rotasi. Seluruh planet di luar angkasa itu pasti akan berotasi, tetapi kecepatannya berbeda-beda. Gerak rotasi planet ini berbeda kalau dibandingkan dengan tarikan gravitasi karena sifat perputarannya itu dibagi atas bagian yang tetap di kutub dan bagian yang berputar di ekuator atau khatulistiwa.

Dilansir The Conversation, perputaran yang terjadi secara konstan di sepanjang khatulistiwa ini menyebabkan tarikan gravitasi dari inti planet jadi sedikit berkurang kalau dibandingkan dengan bagian kutub yang cenderung stabil. Karena itu, bagian khatulistiwa agak sedikit melebar ke arah luar sehingga bentuk bulat pada planet lebih tepat disebut sebagai sferoid pepat (oblate spheroid).

Akan tetapi, jangan bayangkan kalau tonjolan di khatulistiwa itu benar-benar sangat signifikan sampai-sampai mudah diamati dengan mata telanjang. Dilansir BBC Sky at Night Magazine, tonjolan di Bumi itu hanya sebesar 0,3 persen. Jika kita berkeliling secara diagonal atau melewati garis khatulistiwa saja, diameter Bumi itu sekitar 12.756 km. Sementara, kalau kita berkeliling secara vertikal atau dari kutub utara ke selatan, diameternya jadi 12.712 km. "Hanya" ada selisih sekitar 44 km yang pastinya sulit terlihat dari luar angkasa sekalipun.

Nah, menariknya, semakin cepat rotasi yang dilakukan planet, tonjolan itu akan semakin besar. Jupiter yang berotasi penuh selama 10 jam punya tonjolan sebesar 0,7 persen dari keseluruhan permukaannya. Sementara, Saturnus yang punya kecepatan rotasi relatif sama dengan Jupiter punya tonjolan sebesar 10 persen. Sebab, diameter pada bagian khatulistiwanya sekitar 120.500 km, sementara diameter polar (dari kutub ke kutub) 108.600 km, dilansir The Conversation. Hal ini membuat Saturnus jadi planet paling lonjong di tata surya kita.

3. Sebenarnya, bukan planet saja yang berbentuk bulat

ilustrasi bentuk objek luar angkasa yang lebih kecil dari Bumi, yakni satelit alami dan planet kerdil (commons.wikimedia.org/Canis987*&)
ilustrasi bentuk objek luar angkasa yang lebih kecil dari Bumi, yakni satelit alami dan planet kerdil (commons.wikimedia.org/Canis987*&)

Tentunya, bentuk bulat itu tak hanya dimiliki oleh planet-planet di luar angkasa. Nyatanya, kebanyakan objek luar angkasa itu berbentuk bulat, sebut saja bintang, satelit alami, nebula (awan debu/gas raksasa), sampai asteroid. Sama seperti planet, alasan mengapa objek-objek tersebut punya bentuk yang cenderung bulat disebabkan kehadiran gravitasi kuat yang dapat memerangkap objek di sekitar dalam lingkup tertentu.

Kita sudah membahas kalau gerak rotasi dari planet dapat memengaruhi bentuknya jadi agak sferoid pepat. Namun, hal tersebut bukan jadi satu-satunya alasan mengapa bentuk objek luar angkasa tidak bulat sempurna. Malahan, beberapa objek punya bentuk yang agak acak. Asteroid yang berbentuk sangat lonjong ataupun planet WASP-103, misalnya, disebut lebih mirip berbentuk seperti air mata.

Live Science melansir kalau pada kasus tersebut, biasanya ada faktor eksternal yang memengaruhi perbedaan bentuk objek luar angkasa. WASP-103, misalnya, lokasi yang sangat dekat dengan bintang yang di orbit jadi dalang di balik bentuk anehnya. Gravitasi bintang yang diorbit WASP-103 itu sangat kuat sampai-sampai mampu menarik bagian permukaan planet tersebut. Selain itu, gerak rotasi WASP-103 juga sangat cepat sehingga membuat bagian kutub menjadi sangat pipih. Dari dua faktor itu, bentuk planet ini pun jadi cenderung pipih seperti air mata. Sementara, pada asteroid, gaya gravitasi yang lemah dan ukuran yang kecil menyebabkan objek ini sulit untuk menciptakan bentuk bulat seperti planet. 

Misteri di balik bentuk bulat pada planet hanya satu dari begitu banyak misteri luar angkasa lain yang sudah berhasil kita ungkap. Meski begitu, kumpulan ilmu astronomi yang sudah diteliti sejak ribuan tahun sejarah manusia pun sebenarnya masih belum cukup untuk menjelaskan soal luar angkasa secara menyeluruh. Kalimat itu bukan untuk diterima dengan nada pesimis, tetapi justru jadi penyemangat sekaligus pengingat kalau potensi umat manusia untuk mengembangkan ilmu astronomi itu masih sangat terbuka lebar.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yudha ‎
EditorYudha ‎
Follow Us