Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apa Saja Negara yang Pernah Ganti Nama? Ini Alasannya!

Kamboja
Kamboja (pexels.com/allPhoto Bangkok)
Intinya sih...
  • Myanmar mengganti nama untuk menghapus jejak kolonial Inggris dan mencerminkan identitas etnis yang lebih beragam.
  • Sri Lanka menegaskan identitas negaranya pasca kolonial dengan pergantian nama menjadi Sri Lanka.
  • Iran meninggalkan nama Persia untuk rebranding dengan citra baru yang sesuai dengan terminologi lokal dan realitas politik saat itu.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Perubahan nama sebuah negara bukan hal asing dalam sejarah global. Beberapa negara mengganti namanya karena alasan politik, budaya, atau demi menghapus jejak masa lalu yang dianggap tidak lagi relevan. Di balik keputusan mengganti nama, tersimpan cerita panjang yang menyangkut relasi kekuasaan, kemerdekaan, hingga simbolisasi nilai baru yang ingin dibangun.

Setiap pergantian nama membawa dampak, baik secara simbolik maupun administratif. Berikut lima negara yang pernah mengganti nama beserta alasan di balik keputusan penting tersebut.

1. Myanmar mengganti nama karena ingin menghapus jejak kolonial Inggris

Myanmar
Myanmar (pexels.com/Boris Ulzibat)

Sebelum 1989, Myanmar dikenal dengan nama Burma. Nama tersebut digunakan secara luas sejak era kolonial Inggris dan tetap dipertahankan setelah negara ini merdeka. Namun, pemerintah militer yang berkuasa kala itu memilih memutuskan untuk mengganti nama menjadi Myanmar. Tujuannya bukan hanya untuk menghapus simbol warisan kolonial, tetapi juga untuk mengakomodasi identitas etnis yang lebih beragam di negara tersebut, bukan sekadar mencerminkan dominasi etnis Bamar.

Perubahan ini mendapat berbagai reaksi di tingkat internasional. Beberapa negara menolak untuk menggunakan nama Myanmar sebagai bentuk kritik terhadap pemerintahan militer. Meski begitu, secara bertahap, nama baru Myanmar ini diterima oleh banyak organisasi dan negara, terutama setelah Myanmar mulai membuka diri. Nama Myanmar kini digunakan dalam forum-forum internasional sebagai representasi resmi negara, sekaligus menunjukkan langkah politik menuju kemandirian identitas nasional.

2. Sri Lanka menegaskan identitas negaranya pascakolonial

Sri Lanka
Sri Lanka (pexels.com/Tomáš Malík)

Hingga 1972, Sri Lanka dikenal dengan nama Ceylon, peninggalan dari masa kolonial Portugis dan Inggris. Ketika negara ini memutuskan memilih bentuk negara sebagai republik, pemerintah mengganti nama resmi menjadi Sri Lanka. Nama baru ini berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti “Pulau Cemerlang,” dan dirasa lebih mencerminkan nilai-nilai budaya lokal yang telah ada sebelum era kolonialisme.

Langkah ini menjadi bagian dari proses dekolonisasi identitas. Pemerintah ingin menghapus simbol-simbol asing dan menegaskan kedaulatan nasional dalam berbagai aspek, termasuk dalam penamaan negara. Meskipun masih dihadapkan pada konflik etnis dan persoalan sosial lainnya, pergantian nama ini dianggap sebagai simbol penting dari tekad untuk membangun negara yang mandiri dan berakar kuat pada sejarah dan kebudayaan lokal sendiri.

3. Iran meninggalkan nama Persia untuk rebranding dengan citra baru

Iran
Iran (pexels.com/muaz semih güven)

Pada 1935, pemerintahan Reza Shah meminta komunitas internasional untuk mulai menggunakan nama “Iran” alih-alih menyebut negara mereka sebagai “Persia”. Tujuan utama perubahan ini adalah memperkuat citra nasional yang lebih sesuai dengan terminologi lokal dan realitas politik saat itu. Nama "Iran" sendiri berasal dari kata “Aryānām” yang bermakna tanah bangsa Arya dan nama tersebut juga telah digunakan oleh masyarakat Iran sendiri jauh sebelum dikenal dunia sebagai Persia.

Di sisi lain, “Persia” lebih banyak digunakan oleh dunia Barat, yang identik dengan sejarah kekaisaran kuno dan romantisasi orientalis. Perubahan ini tidak hanya bersifat simbolis, tetapi juga politis, karena menjadi bagian dari upaya modernisasi yang dilakukan pemerintah. Meskipun hingga kini nama Persia masih sering digunakan dalam konteks budaya, secara resmi dan diplomatik, Iran menjadi nama yang sah dan diakui secara internasional.

4. Kamboja mengalami beberapa kali pergantian nama

Kamboja
Kamboja (pexels.com/Julia Volk)

Sejarah Kamboja diwarnai oleh berbagai pergantian nama negara yang merefleksikan dinamika politik dalam negeri. Pada masa rezim Khmer Merah, nama negara diubah menjadi Kampuchea Demokratik. Setelah kejatuhan rezim tersebut, nama berubah lagi menjadi Republik Rakyat Kampuchea, lalu pada akhirnya kembali ke nama Kamboja setelah restorasi monarki pada 1993.

Setiap pergantian nama memiliki makna yang tidak sekadar administratif. Nama-nama tersebut mencerminkan ideologi yang menguasai pemerintahan saat itu, dari komunisme revolusioner hingga restorasi sistem kerajaan. Masyarakat internasional pun harus mengikuti perubahan tersebut, meskipun sering kali disertai dengan kekhawatiran atas stabilitas politik. Hal ini menunjukkan bahwa nama negara tidak bisa dilepaskan dari konteks kekuasaan dan arah kebijakan nasional.

5. Eswatini melepaskan nama kolonial Swaziland

Eswatini
Eswatini (pexels.com/Khaya Motsa)

Pada 2018, Raja Mswati III mendeklarasikan bahwa Swaziland resmi berganti nama menjadi Eswatini. Momen ini bertepatan dengan perayaan 50 tahun kemerdekaan dari Inggris dan ulang tahun sang raja ke-50. Nama baru “Eswatini” berasal dari bahasa Swazi yang punya  arti “tanah orang Swazi,” yang dianggap lebih sesuai dengan identitas budaya bangsa tersebut.

Selain menjadi bentuk penghormatan terhadap bahasa lokal, pergantian ini juga bertujuan untuk menghindari kebingungan dengan Swiss (Switzerland). Namun lebih dari itu, keputusan ini mencerminkan semangat untuk menghapus jejak kolonial yang masih melekat pada nama negara. Eswatini ingin menunjukkan pada dunia bahwa mereka memiliki kendali penuh atas identitas nasionalnya tanpa perlu bergantung pada istilah peninggalan kolonial.

Ganti nama sebuah negara bukan sekadar persoalan administratif, tetapi mencerminkan dinamika sejarah, politik, dan identitas nasional yang kompleks. Melalui berbagai alasan dan latar belakang, perubahan ini memperlihatkan bagaimana negara-negara ingin menentukan sendiri narasi tentang siapa mereka. Dari Myanmar hingga Eswatini, semua menunjukkan bahwa nama negara bukan hanya simbol, tapi juga pernyataan sikap terhadap masa lalu dan masa depan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Hella Pristiwa
EditorHella Pristiwa
Follow Us

Latest in Science

See More

5 Ikan yang Sering Melompat ke Permukaan Air, Apa Saja?

28 Sep 2025, 13:05 WIBScience