Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pemberontakan Taiping, Perang Sipil Paling Mematikan dalam Sejarah

ilustrasi pasukan Qing merebut kembali Nanking (commons.wikimedia.org/Unknown)

Perang Dunia II digadang-gadang sebagai perang mematikan dalam sejarah, karena menewaskan hampir 60 juta jiwa di seluruh dunia, melansir laporan National World War II Museum. Lalu, apa konflik mematikan di posisi kedua?

Kamu salah jika menebak Perang Dunia I atau Penaklukan Mongol. Perang di posisi kedua dengan korban terbanyak terjadi di Tiongkok, yaitu Pemberontakan Taiping, yang merenggut 20 juta hingga 70 juta nyawa, ungkap History.

Menjadi perang saudara paling mematikan dalam sejarah manusia, Pemberontakan Taiping pecah pada pertengahan abad ke-19. Perang ini dimulai oleh sekte penganut Kristen skala kecil yang berubah menjadi tentara kejam berjumlah lebih dari 2 juta orang.

Pada puncaknya, Kerajaan Surgawi Taiping menguasai sebagian besar Cina selatan dari ibu kota Nanjing. Lalu, seperti apa sejarah lengkapnya?

1. Latar belakang tercetusnya Pemberontakan Taiping

Potret Hong Xiuquan di Markas Besar Pemberontakan Taiping tahun 1850-1864. (commons.wikimedia.org/Gary Todd)

Pada tahun 1814, pemimpin agama paling mematikan dalam sejarah lahir. Hong Xiuquan adalah orang yang mengilhami Taiping untuk memberontak dan menjerumuskan Tiongkok ke dalam kekacauan yang begitu besar.

Seperti yang dijelaskan Britannica, pada tahun 1814 Tiongkok berada di bawah Dinasti Qing, sekelompok etnis Manchu yang telah menaklukkan Cina Han pada abad ke-17. Di bawah Dinasti Qing, tidak ada perbaikan infrastruktur selama 100 tahun, bahkan ketika populasinya meningkat tiga kali lipat.

Selain itu, kode Konfusianisme yang kaku mengelompokan masyarakat ke dalam kelas yang tidak mereka inginkan. Hasilnya, sejumlah besar masyarakatnya terperangkap dalam kemiskinan yang menyedihkan.

Hong Xiuquan sendiri adalah anggota kelas Hakka. Sekelompok migran internal yang melarikan diri dari invasi Mongol pada abad ke-13, Hakka awalnya diperlakukan sebagai orang luar.

2. Ujian Kekaisaran yang sangat sulit

Ilustrasi Ujian Kekaisaran di Istana di Kaifeng, Dinasti Song, Cina. (commons.wikimedia.org/Ming Dynasty Painting)

Melansir kabar BBC's In Our Time, Ujian Kekaisaran menjadi persyaratan wajib bagi siapapun yang ingin bekerja dalam birokrasi. Akan tetapi, sistem itu juga dibenci secara luas. Banyak orang yang gagal dan terus mencoba ujian ini, salah satunya Hong Xiuquan.

Komunitas Hong bahkan mengorbankan dan mempertaruhkan tabungan hidup mereka agar Hakka dapat lulus dalam Ujian Kekaisaran ini, yang justru berubah menjadi sesuatu yang mengerikan. 

3. Pemberontak Taiping bermula dari sebuah mimpi misterius

ilustrasi awan (unsplash.com/Daniele Franchi)

Pada tahun 1837, Hong Xiuquan gagal tiga kali dalam Ujian Kekaisaran. Seperti Hitler yang ditolak dari sekolah seni, Hong tidak menganggap enteng kegagalan ini.

Setelah gagal dalam ujian ketiganya, Hong mengurung dirinya dan mengalami penglihatan tidak biasa. Hong mengaku pergi ke langit dan bertemu dengan seorang lelaki tua dan laki-laki paruh baya yang menyuruhnya untuk membunuh semua setan di Bumi.

Lima tahun kemudian, Hong kembali gagal dalam Ujian Kekaisaran untuk keempat kalinya. Lalu, ia membaca sebuah pamflet tentang Kekristenan.

Hong menyadari bahwa lelaki tua dalam penglihatannya adalah Tuhan dan lelaki paruh baya itu adalah Yesus. Hong juga menyadari bahwa dia adalah saudara Yesus yang berasal dari Tiongkok.

4. Perang Candu Pertama mengacaukan segalanya

Lukisan Kapal Inggris HMS 'Nemesis' yang menyerang kapal Cina pada 23 Februari 1841 (Perang Candu Pertama). (commons.wikimedia.org/William Adolphus Knell)

Tepat setelah Hong mulai bermimpi tentang Yesus, terjadilah Perang Candu Pertama, yaitu perang antara para pedagang Inggris (terutama Perusahaan India Timur) yang kesal karena Tiongkok tidak mau membeli barang-barang mereka dan mulai menyelundupkan opium ke Kerajaan Tengah.

Dinasti Qing yang mengetahuinya, menyita dan membakar opium. Akibatnya, Kerajaan Inggris yang kesal, mulai mencaplok wilayah Tiongkok.

Seperti yang dikatakan National Army Museum, selain menjaring Hong Kong, Inggris memenangkan hak untuk membanjiri negara itu dengan opium, membuat krisis kecanduan opium semakin parah. Akan tetapi, perjanjian damai tahun 1842 memudahkan misionaris Protestan untuk memasuki negara tersebut.

5. Pemberontakakan Taiping dimulai dengan jutaan pengikut

ilustrasi Pemberontakan Taiping, 1850-1864 (commons.wikimedia.org/Wu Youru)

Terlepas dari masuknya agama Kristen, banyak orang yang mulai mengikuti ajaran Hong dan menganggapnya sebagai saudara Yesus. Para pengikut Hong kebanyakan adalah masyarakat miskin yang tertindas dan muak dengan pemerintahan pada saat itu. Mereka akhirnya membentuk milisi yang setia kepada Hong dan dikenal sebagai Penyembah Dewa.

Seperti yang dijelaskan oleh Facing History, pada tahun 1850, Hong mengkhotbahkan pesan tentang peluang ekonomi yang selaras dengan kaum miskin dan tertindas oleh Imperial China.

Hong menjanjikan wilayah kepada pengikutnya, dan semacam proto-Komunisme di bawah kepemimpinannya. Akhirnya, Qing menyadari hal ini dan mengirim tentara untuk memburu para Penyembah Dewa ini.

Ketika tentara Qing menghadapi milisi ini, mereka hancur berantakan. Hong dan anak buahnya menekan tentara Qing sampai ke Sungai Yangtze.

Hong berhasil mengumpulkan lebih banyak pengikut sampai berjumlah sekitar 2 juta orang. Pada tahun 1853, pasukan raksasa ini mencapai bekas ibu kota kekaisaran Nanjing dan menyerbunya. Hong pun berkuasa atas Tiongkok selatan.

6. Sistem yang dibangun Hong sangat kejam dan ketat

ilustrasi model kota kekaisaran Taiping (commons.wikimedia.org/Caitriana Nicholson)

Begitu tiba di Nanjing, Hong mendeklarasikan pembentukan "Taiping Tianguo", alias Kerajaan Damai Agung Surgawi, yang dibangun di atas prinsip-prinsip Kristen yang ketat.

The New York Times menggambarkan bagaimana Hong dan para letnannya memutuskan kebijakan negara dalam trans agama, kemudian proklamasi mereka dikeluarkan sebagai puisi untuk dihafal dan dinyanyikan oleh perempuan-perempuan di depan umum.

Penyiksaan dan eksekusi publik adalah bagian dari kehidupan sehari-hari di ibukota Surgawi ini, dan terjadi pembersihan rutin terlepas dari semua alasan yang ada. Hong membiarkan seluruh keluarga besarnya dibantai dan kepalanya diarak di atas sebuah tiang.

7. Negara Barat dalam menanggapi Pemberontakan Taiping

Karikatur politik Prancis dari tahun 1898, yang menggambarkan ketidakberdayaan Kaisar King dan representasi figuratif dari kecenderungan Imperialis negara-negara Barat terhadap China selama abad ke-19. (commons.wikimedia.org/Henri Meyer)

Buku "Autumn in the Heavenly Kingdom" menjelaskan bagaimana masyarakat Kristen di Amerika mulai mendesak pemerintah untuk mendukung Taiping, bahkan menulis editorial untuk mendukung Hong.

Di Eropa, Karl Marx dan kaum liberal garis keras di benua itu melihat tragedi tersebut sebagai pengabdian Hong pada hak atas wilayah dan kesetaraan ekonomi masyarakat, sesuatu yang telah mereka anggap normal selama beberapa dekade.

Bahkan, Inggris yang mengandalkan China untuk terus membeli opium mereka, pada dasarnya tidak peduli dan membiarkan Hong melanjutkan misinya.

8. Perang Candu Kedua membuat segala hal jauh lebih buruk

Masuknya Inggris dan Prancis di Pekin, 22 Oktober 1860 dalam Perang Candu Kedua. (commons.wikimedia.org/Henri Jannin)

Perang Candu Kedua dimulai pada tahun 1856, sementara Pemberontakan Taiping masih terjadi di Cina selatan dan membantai ribuan orang. Namun, tentara Kekaisaran Qing tidak diterjunkan langsung untuk melawan Hong dan pasukannya, mereka justru berjuang memerangi Prancis dan Inggris Raya.

Akibat kekacauan ini, London memiliki kesempatan untuk menguasai beberapa real estate utama di Cina. ThoughtCo. menjelaskan bahwa pembunuh seorang pendeta Prancis meyakinkan Paris untuk bergabung dengan keributan, yang mengarah ke wilayah Cina yang besar di Eropa.

Pada akhirnya, Perang Candu Kedua baru berakhir pada tahun 1860, setelah menewaskan puluhan ribu orang dan membuat China tertatih-tatih ketika membutuhkan semua sumber dayanya untuk menghadapi Pemberontakan Taiping.

9. Inggris terlibat dalam Pemberontakan Taiping karena masalah sumber pemasukan negaranya dari penjualan kapas

ilustrasi bendera Inggris (unsplash.com/Jon Tyson)

Pada abad ke-19, Inggris bagian utara memegang kendali kuat di pusat perdagangan tekstil yang dimulai di perkebunan kapas di Ujung Selatan dan ekspor kain dari Inggris ke Tiongkok. Namun, Pemberontakan Taiping merusak perdagangan tersebut.

Ketika Perang Saudara AS juga meledak, London menghadapi masalah yang serius, khususnya di kota-kota utara Inggris yang ditimpa permasalahan ekonomi dan kemiskinan.

Tidak ingin mengalami pemberontakan di negerinya sendiri, Inggris hanya memiliki dua pilihan: ikut campur dalam Perang Saudara AS atau ikut campur di Tiongkok.

Setelah secara singkat terlibat dengan Konfederasi, Inggris menyadari betapa bodohnya gagasan itu, dan mereka malah memutuskan untuk campur tangan di Tiongkok.

10. Perlawanan Qing terhadap pemberontak Taiping

Qing mengepung kota Wangjiakou yang dikuasai Taiping selama sekitar satu bulan (9 Februari hingga 7 Maret 1854. (commons.wikimedia.org/Unknown)

Inggris secara sembunyi-sembunyi mulai melatih dan mempersenjatai prajurit Qing. Pada awal 1860-an, Dinasti Qing membuat aturan perang paling kotor dalam sejarah.

Pertama, Beijing mengizinkan panglima perang untuk mengumpulkan pasukan besar-besaran asalkan mereka menggunakannya untuk melawan pemberontak Taiping. "Pasukan baru" ini sama efisien dan brutalnya dengan para panglima perang.

Pendekatan kedua adalah menggunakan teknik perang Inggris untuk memusnahkan pemberontak Taiping secara sistematis. Blog Cambridge Research menceritakan bahwa Qing mengatur pengepungan kota-kota besar di seluruh 18 provinsi dengan adanya pemberontak Taiping dengan sangat efektif dan begitu lama sehingga penduduknya terpaksa melakukan kanibalisme.

Tapi itu baru permulaan. Begitu kota-kota yang kelaparan menyerah, prajurit Qing mengeksekusi semua orang di dalamnya.

Pembantaian paling terkenal adalah di Anqing. Setelah pengepungan dua tahun, pemberontak Taiping menyerah, dan Qing memenggal kepala mereka.

Sementara itu, sekitar 10.000 perempuan dibawa pergi sebagai "barang rampasan perang", dan hal-hal seperti ini terjadi lagi dan lagi. Totalnya, 600 kota seluruhnya dimusnahkan selama perang.

11. Kejatuhan kota Nanjing menjadi tragedi paling berdarah

Qing mengepung kota Wangjiakou yang dikuasai Taiping selama sekitar satu bulan (9 Februari hingga 7 Maret 1854. (commons.wikimedia.org/Unknown)

Pada tahun 1864, Qing telah mengejar pemberontak Taiping sampai kembali ke ibukota Surgawi mereka dan mengepung Nanjing. Ketika kota itu akhirnya jatuh, itu menjadi akhir dari Hong dan Kerajaan Surgawinya. Semua itu mungkin menjelaskan mengapa penaklukan Nanjing sangat berdarah. 

Hong Xiuquan sendiri meninggal di tengah pengepungan. Akan tetapi, kebrutalan sebenarnya terjadi ketika Qing berhasil menembus tembok kota.

Selama tiga hari berikutnya, mereka secara efektif meruntuhkan Nanjing hingga rata dengan tanah. Diperkirakan 100.000 orang telah tewas.

Pengikut fanatik Hong berkumpul di jam-jam terakhir sebelum kedatangan Qing dan membakar diri mereka daripada ditangkap. Sangat mungkin bahwa ini adalah pertempuran paling mematikan dalam sejarah sebelum Perang Dunia I.

12. Total kematian karena Pemberontakan Taiping

ilustrasi pasukan Qing merebut kembali Nanking (commons.wikimedia.org/Unknown)

Meskipun masih terjadi perlawanan selama dua tahun kedepannya, jatuhnya Nanjing dan kematian Hong secara efektif mengakhiri Pemberontakan Taiping. Qing mendapatkan kembali kendali atas Tiongkok, dan Kerajaan Tengah menikmati stabilitasnya sebelum abad ke-20 menghancurkannya kembali.

Perang saudara yang paling terlupakan ini diperkirakan telah menewaskan antara 20 sampai 30 juta orang. Angka itu, 30 kali lebih besar dari jumlah yang tewas dalam Perang Saudara AS. Perang Dunia I — perang yang menggunakan senapan mesin, artileri berat, tank, dan gas beracun, hanya menewaskan sekitar 20 juta.

History bahkan mencatat bahwa 70 juta mungkin telah tewas dalam Pemberontakan Taiping. Di tahun 1860 (dengan jumlah penduduk sekitar 1,2 miliar), itu sudah lebih dari lima persen.

 

Pergeseran kekuasaan sering kali terjadi karena pemberontakan skala besar, itu mengapa Pemberontakan Taiping dianggap sebagai pemberontakan paling berdarah dalam perang sipil di Tiongkok.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Albin Sayyid Agnar
EditorAlbin Sayyid Agnar
Follow Us