Mengapa Orang Bisa Tertarik pada Pemimpin Diktator?

Beberapa tahun belakangan, spektrum politik sayap kanan menuai popularitas di berbagai penjuru dunia. Spektrum politik sayap kanan sendiri merujuk pada ide-ide konservatif yang berarti memercayai pentingnya otoritas, tradisi, dan individualisme. Itu yang menjelaskan bagaimana simpatisan sayap kanan punya kecenderungan mendukung militerisme, kapitalisme, patriarki, serta legitimasi pemimpin dengan otoritas besar alias diktator.
Pernah jadi tren pada 1930-an dan bertahan setelah Perang Dunia II. Sempat juga ditinggalkan setelah Perang Dingin, diktatorisme kini bangkit perlahan. Mengapa manusia bisa tertarik pada pemimpin diktator seolah melupakan masa lalu? Cari tahu penjelasannya di bawah ini!
1. Sifat alamiah manusia yang mengkhawatirkan kebebasan dalam level tertentu

Ada beberapa poin menarik yang dibahas Newman dalam jurnal Frontiers in Social Psychology berjudul ‘Of course people can reject democracy: psychological perspectives’. Dari 3 studi yang ia pakai untuk menjelaskan mengapa manusia bisa menolak demokrasi — yakni dari Erich Fromm, Roy F. Baumeister, dan Barry Schwartz — Newman menyimpulkan kalau manusia punya ketakutan atau kekhawatiran terhadap kebebasan dalam level tertentu.
Fromm berargumen bahwa manusia kesulitan untuk melihat dirinya sebagai individu yang terpisah dari manusia lain. Keinginan untuk jadi bagian dari satu komunitas senasib sepenanggungan ini mendorong manusia untuk tertarik pada ide bahwa ada kekuasaan yang lebih besar dari mereka. Fromm melihat pola yang menarik sebelum manusia mencapai titik ini. Yakni, terpaan situasi sulit seperti krisis ekonomi atau keamanan. Sebagai mekanisme pertahanan diri, manusia tergerak menyerahkan nasib pada pemegang kuasa yang lebih besar.
Ini diamini Baumeister yang berargumen bahwa manusia, meski pada umumnya mendambakan kontrol terhadap hidup mereka, terkadang merasa lelah atau takut jadi objek evaluasi (bertanggung jawab atas risiko pilihan hidup mereka). Dalam konteks lebih luas, itu bisa menjelaskan mengapa mengapa ide tentang batas atau kekuasaan yang tidak bisa ditembus atau menghalangi kebebasan jadi semacam pelipur bahkan sumber kenyamanan untuk sebagian orang. Ini poin yang menarik mengingat pengikut politik sayap kanan umumnya mendukung individualisme (kompetisi dan kepemilikan pribadi). Namun, kebebasan dan kapitalisme tingkat akhir justru membuat manusia kewalahan hingga memotivasi mereka mencari cara untuk kabur dari dirinya sendiri.
Studi lain yang gak kalah menarik datang dari Barry Schwartz pada 2001 yang menemukan paradoks dari pilihan. Semakin banyak opsi, semakin sulit bagi manusia untuk menentukan pilihan. Dalam kasus ekstrem, manusia akhirnya tak memilih apapun. Itulah mengapa sistem satu partai yang identik dengan sistem pemerintah otoriter/diktator bisa terlihat menarik untuk sebagian populasi.
2. Kurangnya kepekaan sosial dan politik

Salah satu faktor lain yang mengancam demokrasi dan menguntungkan diktator adalah minimnya kepekaan sosial dan politik. Ilmu-ilmu sosio-humaniora sering diremehkan, dianggap tak sekrusial sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM). Padahal, mereka berperan penting dalam melatih daya pikir kritis dan kesadaran politik.
Mirisnya, opini negatif dan kecenderungan meremehkan pentingnya edukasi sosial dan politik adalah masalah global. Setidaknya ini yang digarisbawahi Karolčík, dkk lewat studi yang berjudul ‘Politics and political literacy in education from the perspective of the public’ dalam jurnal Cogent Education. Alasan yang biasanya dilontarkan adalah kekhawatiran bahwa politik terlalu kompleks untuk anak-anak usia sekolah. Padahal literasi sosial dan politik punya peran penting dalam keberlangsungan demokrasi. Ia bisa membentuk kebiasaan untuk berpartisipasi, melatih kemampuan toleransi, dan mengasah kapasitas memilah informasi dengan cermat.
3. Gaya asuh orangtua turut berpengaruh

Faktor lain yang tak kalah prominen dari alasan seseorang bisa tertarik pada pemimpin diktator adalah gaya asuh orangtua alias parenting. Studi terhadap 708 responden di Amerika Serikat pernah dilakukan sejumlah periset dari University of Illinois at Urbana-Champaign dan dikutip Education Week pada 2012. Temuannya cukup penting, yakni fakta bahwa anak-anak yang besar bersama orangtua otoriter punya kecenderungan untuk tumbuh jadi simpatisan nilai-nilai konservatif. Ini dilihat dari perspektif mereka ketika ditanya isu-isu sensitif seperti anggaran militer, hukuman mati, sampai regulasi tentang aborsi.
Pola serupa diyakini pula oleh beberapa periset terjadi di Jerman sebelum Nazi berkuasa. Salah satunya dipublikasikan Willem Koomen dengan judul ‘Note on the Authoritarian German Family’ dalam Journal of Marriage and Family. Menurut temuannya, benar bahwa orangtua Jerman pada era itu lebih mudah memberikan hukuman untuk mendisiplinkan anak. Mereka tak segan berlaku keras dalam aspek-aspek tertentu seperti adab makan dan tugas sekolah. Ini diyakini mendorong anak-anak Jerman jadi orang dewasa yang submisif alias patuh.
Kenaikan popularitas diktatorisme beberapa tahun belakangan membuktikan kalau manusia memang makhluk yang kompleks. Perilaku kita tidak tertebak, mengonfirmasi keyakinan kalau kepuasan itu hanya mitos bagi manusia. Bagaimana menurutmu?